Prolog

164 29 20
                                    

Pluk!

Sesuatu yang dingin mengenai kepala Leana. Ia berbalik, mendapati sebutir es batu yang mulai mencair di lantai. Ia abaikan. Untuk apa dipungut?

Leana kembali ke kelas. Siapa pun yang melempar es batu ke kepalanya, entah sengaja atau tidak, telah merusak mood-nya. Lagipula, siapa yang sengaja? Leana kan tidak melakukan apa-apa.

Benarkah?

Satu prasangka muncul. Hati Leana dingin seketika. Ia menggeleng kuat-kuat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa hal itu mustahil terjadi.

"Leana."

"Y-ya?" Kentara sekali Leana gugup. Ia menoleh kaku, melihat Roy sang ketua angkatan menatapnya dingin.

"Untung sudah mau lulus. Aku yakin, kamu bakal jadi bulan-bulanan satu angkatan selama sisa sekolah."

Leana menelan ludah. "Aku ngapain?"

"Enggak buka grup kelas? Jangan pura-pura enggak tahu. Sikap sok anak emasmu itu ngeselin."

"Kamu enggak tahu, Roy?" Suara lain menimpali. "Leana kerjaannya cuma gambar atau caper ke guru. Mana peduli sama kita. Emang dia yang bikin susah solid."

"Hahaha, berisik kamu, Yan." Gerald tiba-tiba muncul dan mengguncang Piyan yang baru bicara. "Kalau dia enggak peduli kita, tinggal kacangin saja dia. Mata dibalas mata. Ngerti?"

Leana sama sekali tak berminat mengetahui ada apa di grup kelas. Namun, Gerald justru menghampirinya. Wajahnya ceria, seperti biasa. Ia mengacungkan ponselnya. "Len! Aku baru tahu sesuatu. Kamu bakat bikin cerita, ya?"

Leana menatap Gerald waspada.

"Ger, katanya mau ngacangin?" dengkus Roy. "Anak kayak gitu enggak perlu ditemenin."

Leana kian gemetar. Ia yakin prasangkanya benar.

"Halah, itu kan kalian. Len kan peduli aku," sahut Gerald.

"Apa, sih?!" Leana terpantik.

"Ini." Gerald mengabaikan Roy dan menghampiri bangku Leana. "Ada yang nge-share di grup kelas. Tulisanmu, kan? Cerpenmu bagus. Pernah ngirim ke penerbit?"

Leana melonjak. Ia bangkit, menggebrak meja, dan merebut ponsel Gerald. "Ini apa?! Siapa yang kirim?!"

"Lihat, ada yang baru terekspos." Suara melengking khas Nelly terdengar. "Akhirnya kami tahu, siapa satu anak yang harus dibuang dari angkatan ini."

Tangan Leana gemetar. "Siapa ... yang ...."

Satu kelas itu diam, hanya menatap Leana dingin.

"Siapa yang bikin sekelas ulangan ulang, siapa yang diam-diam mengingatkan guru buat ulangan?" ujar Roy. "Memang enggak ada yang dihukum, tapi ... kamu cepu, Len! Enggak solid! Mau apa sih ngelapor ke guru? Mau dianggap anak emas?"

Bukan. Sama sekali bukan keinginan untuk dianggap. Leana hanya melakukan apa yang ia anggap benar. Sampai saat ini, hatinya berontak melihat kecurangan. Sontekan yang disepakati teman-temannya membuat Leana gamang. Ia tak bisa melarang. Ia hanya bisa melapor diam-diam. Setelah guru berjanji akan merahasiakannya, Leana akan curhat panjang lebar ke blog pribadinya.

Blog yang tiba-tiba diretas.

"Pinter kaga, peringkat kaga, cuma bisa pamer gambar?" Piyan kembali menyahut. "Sombong pula. Nuntut orang yang enggak salah buat minta maaf!"

Lidah Leana kelu. Apa yang terjadi hari ini? Ia tak bisa berpikir. Semuanya terlalu tiba-tiba. Kehidupan damainya selama SMP begitu saja terempas. Ia ingin menuding dan berteriak-teriak ke arah Piyan. Hampir saja ia mengamuk kalau Gerald tidak melambaikan tangan tepat di hadapan wajahnya.

"Hapeku, nanti layarnya retak kamu tekan begitu."

"A-ah, maaf!" Hampir saja Leana membanting ponsel yang ada di tangannya kalau lupa itu milik siapa. "I-ini. Aku mau keluar. Dah!"

Bahu Leana bergerak naik-turun. Ia syok. Di balkon yang sepi, ia mencengkeram pagar erat-erat.

Blogku diretas? Kenapa? Rahasiaku, semuanya ....

Ujian kelulusan hanya sebentar lagi. Tuntutan orang tua untuk memasuki sekolah unggulan berputar di benak Leana. Ia bukan orang pintar. Kemampuannya pas-pasan. Leana bisa melihat sisa masa SMP-nya akan suram. Bagaimana mungkin ia bisa fokus ujian? Sedangkan, nilai itu penentu masa depannya. Andai ia gagal, Bapak yang temperamen bisa jadi mengusirnya dari rumah.

Leana merogoh sakunya. Ia mengambil ponsel yang hampir selalu dalam mode hening. Tak ia pedulikan obrolan dari grup kelas. Ah, mungkin melihat-lihat inspiration art bisa memperbaiki suasana hatinya.

Leana berjengit. Ada pesan masuk tiba-tiba, dari seorang mutual artist yang dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Mata Leana melebar. Satu kalimat ajakan melambungkan perasaannya.

Kak, kolab yuk.

Leana pikir, ia akan bisa mengalihkan sakit hatinya.

*****

[Prolog: selesai]
Selanjutnya -> Fuma

****
.
.
.
.
.
.
.

Sebelum lanjuutt ....

Saya kasih peringatan dulu.

Ide masih mentok, mood masih anjlok, dan ada banyak fokus di duta yang tumben-tumbenan ga bikin aku pengin melarikan diri ke Hayalan, eh, fiksi maksudnya. Tapi saya teteup berusaha ngetik tiap hari dan up secepatnya, karena ya tahulah apa jadinya kalau saya malas.

Saya persilakan buat yang mau komen, sambat, atau kasih saran apa pun. Tangan saya terbuka, ada yang mau ribut juga hayuk saya suka baku hantam.

Semoga bisa sesuai target.

Jkt, 1/5/21
AL. TARE

Tambahan:
Maaf kalau bab-bab awal masih rada gaje. Ini semua demi memenuhi target jumlah kata :')

Ohiya, Piyan tuh cowok ya HAHAHA

Dan saya baru sadar cerita ini aneh banget TT tolong koreksi kalau ada keanehan yang terlalu mengerikan

Lalu ... saya bikin cerita ini buat event kebut jumlah kata, saya mulai ngetik pas outline belum kelar, bahkan ending belum kebayang, dan saya misuh-misuh sepanjang jalan, alias author note-nya panjang-panjang dan bikin sakit mata, jadi abaikan saja :"")))

The WIPWhere stories live. Discover now