Klik

"Fiuh. Akhirnya." Dengan berhati-hati, Abar membuka pintu dan menyundulkan kepalanya. Netra Abar memonitori ruangan, tidak ada manusia satu pun. Hanya ada sofa yang tertata rapih. "Aman."

Abar menutup pintunya kembali dan berjalan mendekati Gera yang masih menangis. Abar duduk di samping gadis itu. "Hapus air mata lo."

Gera tidak merespon, dia masih terus menangis. Abar berdecak pelan. Cewek ini sangat keras kepala. "Dengerin gue!" Nada bicaranya sedikit naik setengah oktaf, membuat Gera terkejut.

"Kita gak punya banyak waktu lagi. Kalau lo terus-terusan nangis gini, kita bisa ketahuan. Nanti gagal kabur. Jangan emosi, tenang!" Abar mengusap air mata yang ada di pipi Gera. Tangisannya berhenti.

"Bagus. Kepala lo udah mendingan 'kan? Masih kuat buat jalan?" Abar bertanya, nada bicaranya melembut kembali.

Gera mengangguk. Kakinya menyentuh lantai yang terbuat dari granit. Kepalanya sudah mendingan, hanya tubuhnya yang masih sedikit lemas.

"Ayo." Abar berjalan terlebih dahulu.

"Gak ada kepekaan buat gandeng tangan gue apa? Badan gue masih lemes. Nanti kalau pingsan gimana?" ujar Gera, suaranya masih serak. Tangannya merapikan rok plisket selutut yang ia kenakan. Gera tidak tahu, siapa pemilik pakaian ini.

Abar yang bersiap membuka gagang pintu, membalikkan tubuhnya mendekati Gera. Abar tersenyum manis dan mengenggam tangan Gera. Buru-buru Gera menundukkan wajahnya, ia ingat kejadian saat terhipnotis di bis karena senyuman Abar.

Abar membuka pintu yang berhasil ia buka. Kepalanya menyundul, aman. "Jangan sampai ada suara langkah kaki ya?" peringatnya pada Gera. Tak lupa Abar kembali menutup pintu.

Mereka berdua berjalan mengendap-endap. Beberapa pelayan melintas. "Cepat, antar ini ke lantai atas."

Abar menarik tangan Gera untuk bersembunyi di balik sofa.

Setelah pelayan itu pergi, mereka berdua kembali berjalan secepat mungkin menuju pintu keluar. Untung saja, gerombolan preman itu mengurungnya di lantai satu. Bukan lantai yang harus menaiki tangga atau lift.

"Yash! Dikit lagi!" Abar berseru senang. Gera di belakangnya hanya diam mengikuti langkah Abar.

Namun, saat mereka berdua akan keluar melalui pintu, seorang remaja yang masih mengenakan pakaian putih abu-abu masuk melalui pintu yang sama. Malid.

Abar menggertakan giginya kesal. Dia jelas tahu siapa sosok ini. Benar apa yang dikatakan Gera waktu di bis. Tanpa aba-aba Abar segera menghajar tubuh Malid. Memukul rahangnya bertubi-tubi hingga pelipis serta ujung bibir Malid sobek. Malid berusaha membalas serangan Abar, namun tenaganya kalah kuat. Abar begitu brutal menyerangnya.

"Lo nyulik kita dengan alasan apa, hah?! Karena gue ngebongkar kebusukkan lo?!" Abar mengambil vas bunga yang berada di dekatnya. "Rasain ini, bangsat!" Abar memukulkan vas tersebut ke atas kepala Malid.

Setelah merasa puas, Abar kembali menarik tangan Gera untuk segera keluar dari rumah ini sebelum gerombolan preman turut bertarung.

Namun, Gera justru menghempaskan tangan Abar. Gera mendekati Malid yang mengerang kesakitan dan menuntun kakak kelasnya agar duduk di sofa. "Kak Malid gak apa-apa?"

Abar merasa emosi. Mereka tidak akan punya banyak waktu lagi untuk meladeni atau mengasihani. "GERA!"

"Kasih tahu gue, Kak. Di mana kotak P3K-nya." Gera bertanya pada Malid.

"Di lantai dua," jawab Malid. Gera mengangguk, bersiap berjalan mendekati lift.

"GERA, STOP! JANGAN CARI MATI DENGAN NOLONGIN COWOK BRENGSEK INI!" Abar berlari, mencegah Gera yang akan memasuki lift.

Namun, Gera mendorong tubuh Abar sekuat mungkin. Abar terhenyak beberapa langkah dari Gera.

Gera memasuki lift. Sebelum pintu itu tertutup, Gera berkata, "Lo lebih brengsek, Abar. Ngambil apa yang selama ini gue jaga. Mending lo pergi. Gue mau nolongin Kak Malid. Dia kakak kelas gue dan lo adalah musuh dari VHS." Setelah mengatakan semua itu, pintu lift tertutup. Abar mengusap wajahnya, frustasi.

"Hahaha. Ck, kasian."

Abar menoleh, memandang Malid dengan tatapan tajam. Bersiap menyerangnya lagi. "Udah gue duga, lo bakal berusaha menghancurkan kehidupan seseorang yang tahu tentang kebusukkan lo."

Meskipun kondisi Malid sudah dipenuhi luka. Dia masih bisa menghindari serangan Abar. "Eits, gak kena."

Abar mengepalkan tinjunya. Dirinya sudah diselimuti oleh perasaan kesal. "Banci. Diserang malah ngehindar!"

"Mendingan lo pergi, sebelum gue panggil abang driver alias preman yang pernah tobat tapi jadi preman lagi. Nanti lo nangis, gak bisa ngapa-ngapain. Gak usah cemasin Gera. Dia itu cewek gue. Sudah jelas dia bakal khawatir sama gue."

•••

Jangan lupa vote + coment, mrentymrn

See u next chapter♥

Aljabar Kde žijí příběhy. Začni objevovat