"Memang, dia terlalu baik! Padaku pun juga baik! Makanya ... makanya aku mau membantunya!"

Leana mendekat meski merasa jeri. "Tunggu. Kamu siapa? Memangnya aku kenal kamu?"

"Kamu tahu aku siapa. Kamu menyebut namaku pas pertama aku memakai ragamu ... pas kita ketemu di sini ...."

Leana merinding. Zleth itu fiktif. Kalau begitu ... ini pasti ada hubungannya sama Fuma! Leana benar-benar bertekad untuk menemukan jejak anak itu.

"Ah!"

Leana yang sempat oleng tersentak. Ia melihat darah. Ia memelotot, merasakan kecemasan yang luar biasa. "Anya ...?"

"Kubilang, aku enggak niat mencelakaimu. Tapi, kalau kamu begini ... aku terpaksa!"

Leana sudah ketakutan membayangkan Anya terkapar bersimbah darah. Satu pikiran yang sepertinya berlebihan, melihat Anya hanya terjajar mundur sambil memegangi lengan kirinya. Warna merah merembes di sana. Meski begitu, Leana tersulut.

"Aku enggak bakal melukai Anya!" Leana mengamuk. Ia seolah ia bicara di hadapan cermin karena melihat wajahnya sendiri. "Keluar dari ragaku ... sekarang!"

"Sudah kubilang, belum saatnya." Sosok itu berbalik dan memindai sekitar. "Dia hilang, tapi aku tahu dia ada di mana. Aku akan menyusulnya."

"Berhenti!" seru Leana. Ia tak bisa menahan apa-apa. Apa pun yang ia coba sentuh selalu gagal. Ia tak ada. Ia menembus belaka. Percuma. Sosok yang memakai raganya itu pergi secepat kilat.

Barulah Leana menyadari kondisi Anya. Anak itu sudah tampak pucat sejak Leana lihat ketika baru bangun tidur. Mengaku lemas dan sakit kepala. Lalu sekarang, ditambah tiba-tiba terluka.

Pikiran buruk menghantui Leana. Ia melihat Anya duduk bersandar pohon. Wajahnya yang kuyu tambah pucat, kali ini ditambah bulir-bulir keringat dingin di dahinya. Dan telapak tangannya ....

"Anya, lukamu parah?" tanya Leana panik. "Haruskah aku panggil bantuan? Ya? Apa kamu kuat jalan?"

"Len ... maaf."

Kalimat itu membekukan Leana.

"Gara-gara aku, kamu ... jadi melihatnya ...."

Leana mendongak. Ia tak melihat apa-apa sekarang. Tentu ia langsung menganggap dirinya tadi berhalusinasi. "Lihat apa?"

"Oh, cuma sesaat, ya," gumam Anya. Suaranya makin memelan. "Dia, yang Roy bilang."

"Nya, kamu sungguhan ... ada yang mengikuti? Atau malah penjaga?" Leana hampir menjerit.

"Aku enggak mau ... aku enggak pernah mau." Kali ini, wajah pucat itu tambah semrawut dengan air mata. "Ini semua di luar kemauanku ... Len, tolong ...."

Tolong. Telinga Leana bagai menegak. Kalau ada kesempatan menolong Anya, Leana akan langsung mengambilnya.

Hening.

Leana baru sadar. Anya pingsan. Kalimat itu menggantung di ujungnya. Kali ini, Leana amat kebingungan. Bagaimana caranya membawa Anya kembali? Ia tak bisa menyentuh apa-apa. Ia menoleh, mencari-cari, tetapi tak melihat apa-apa.

Leana pikir, ia gila.

"Halo ... penjaganya Anyelir?" Leana berkicau sendiri seperti orang aneh. "Tolong, dia terluka, enggak bisakah kamu membawanya?"

Tentu saja tak ada balasan. Leana mengeluh. Ia tak mau meninggalkan Anya, tetapi apa boleh buat? Harapannya sekarang satu.

Leana berbalik sambil menahan air matanya. Ia sudah ingin menangis sejak tadi. Ia pastikan posisi Anya sebelum benar-benar menjauh.

The WIPWhere stories live. Discover now