22. At Night

67 14 1
                                    


Kai berdiri di sebuah tempat yang sepi. Ia mendongak, menatap langit oren senja yang semakin membias dan bergantikan warna yang gelap. Jantung kai berdegup kencang, karena sesuatu yang sangat ia benci, kini menjadi latar waktunya.

Keringat mulai bercucuran, menyusuri kulit Kai yang berwarna putih. Perasaannya tak tenang, ia menoleh kanan-kiri, seperti mencari seseorang.

Kaki Kai mulai melangkah lebar dan cepat, yang kemudian berubah menjadi berlari. Ia hendak menuju jalan yang melintang di depan sana. Namun ntah mengapa ia tak pernah sampai ke jalan tersebut.

Setelah beberapa lama ia berusaha agar sampai ke jalan sana, satu demi satu orang muncul di jalanan itu. Dari dua arah yang berlawanan, sekerumunan orang itu saling melemparkan tinjuan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang membawa senjata. Semua orang yang berada di sana saling memukuli hingga babak belur. Kemudian, disusul oleh orang-orang yang mulai tumbang dan tak sadarkan diri karena terluka.

"Nggak, nggak, nggak. Jangan," Kai merapal kalimat tersebut berulang kali. Ia menggelengkan kepalanya cepat. Air matanya mulai jatuh dengan deras.

"NGGAK! JANGAN!" Kai berteriak histeris. Kakinya semakin laju berlari menuju jalanan tersebut. Tangan kanannya terulur, seakan orang yang hendak meraih sesuatu.

Ia semakin panik di saat manik matanya menangkap sosok pemuda yang tengah dipukuli oleh seseorang berpostur tubuh besar. Pemuda itu meringkuk dan meringis, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa sakit yang luar biasa. Perbandingan tubuh mereka cukup jauh, hingga pemuda yang tengah dipukuli saat ini dengan mudah kalah dan ambruk tak berdaya.

Kaki pemuda tersebut kini diinjak berulang kali, sehingga pemuda itu berteriak kesakitan. Tak sampai situ, kini orang yang memukuli itu mengambil sebuah tongkat baseball yang tak jauh dari kakinya, lalu memukuli pemuda tersebut tanpa ampun.

"JANGAN!" Kai meneriaki semua sumpah serapah yang ia tau. Panic dan amarah kini melanda, bergabung jadi satu. Sesekali ia memukul pahanya karena sang kaki tak membawanya mendekat ke jalan tersebut. "BUMI!" Teriak Kai memanggil nama pemuda yang dipukuli itu. "BUMI. BANGUN, BUMI! LARI!"

Kai memukuli pahanya karena sang kaki tak membawanya mendekat ke jalan tersebut. Ia frustasi. Ditambah melihat pemuda yang tengah dipukuli itu semakin melemah.

Dada Kai terasa ketika melihat pemuda yang bernama Bumi itu mengejang, lalu melemas begitu sajaa saat ia sampai sana. Dengan cepat, Kai duduk di sisi Bumi. Ia memeluk Bumi erat, menggoyangkan tubuh Bumi yang terkulai lemah dengan teriakan frustasi, memanggil nama Bumi berulang kali agar pemuda itu terbangun.

"NGGAK! BUMI! JANGAN PEJAMIN MATA LO, BUMI!" Kai menggoyang tubuh Bumi, tapi tak ada respon yang diberikan oleh Bumi kepadanya. "BUMI, MAAFIN GUE. GUE JANJI GAK BAKAL EGOIS LAGI! MAAFIN, MAAFIN, MAAFIN GUE."

"BUMI."

"BUMI."

Kai tersentak hingga terbangun dari tidurnya. Dengan cepat ia mendudukkan dirinya. Nafasnya memburu. Seakan tadi tak mendapatkan asupan oksigen, kini ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya agar kembali bernafas lega dan dadanya tak sesak.

Kai mengusap keringat dan air mata yang ada di wajahnya. Tangannya mengulur ke arah nakas untuk mengambil sebuah botol minum yang siap ia teguk habis.

Mimpi.

Walaupun rekaan tersebut sama seperti insiden setahun yang lalu, ia beruntung karena itu hanya mimpi.

Ntah kali keberapa Kai terus-terusan memimpikan hal tersebut. Masa lalu yang sangat sulit ia lupai karena telah berubah menjadi momok menakutkan bagi dirinya satu tahun belakangan ini. Ia takut, ingin lari, dan menyesal. Rasa penyesalan yang kian membesar, kini mulai mengkikis dirinya sendiri.

BOSOM FRIENDs (02 L) - CHAPTER 1 : such a bad dreamWhere stories live. Discover now