08. Pagiku Cerahku

330 70 56
                                    

°voment juseyoooo°

"JISUNG, LO MATI ATO GIMANA SIH, HA?!" Teriak seorang lelaki di depan pintu kamar Jisung. Tangannya masih setia menggedor pintu yang berbahan kayu itu. "BANGUN ATO GUE SIRAM PAKE MINYAK TANAH!"

Lelaki putih dengan perawakan kurus yang baru saja keluar dari kamar sebelah, tertawa geli. "Tinggal bakar aja, ya, hyung?" Tanyanya sambil terus terkekeh.

Seseorang yang dipanggil 'hyung' itu mendecak sebal. Dengan malas ia meninggalkan kamar yang sudah ia gedor kurang lebih sepuluh menit lamanya. Dengan perasaan kesal, ia menuruni anak tangga dan mengarahkan kakinya ke arah dapur.

Ia duduk di salah satu kursi meja makan dan menarik piring mendekat ke arahnya.

"Gimana?" Tanya wanita paruh baya yang baru saja selesai mencuci tangannya. Umurnya sudah empat puluh tahun lebih, tapi ia masih kelihatan awet muda dan segar.

"Gak mau peduli, Ma," lelaki itu menjawab ketus.

Ia mengambil tiga centong nasi goreng sekaligus. Lalu melahapnya dengan gusar.

Sang mama hanya tersenyum saja. Ia meletakkan dua gelas susu putih low fat di depan dua anak lelakinya.

Pertama, ia meletakkan di dekat anak keduanya. Lalu barulah ia meletakkan gelas di depan anak pertama. Ia mengusap pucuk kepala sang anak pertama dengan senyum sabar.

"Sabar. Adekmu yang satu itukan memang susah dibangunkan. Jangan marah mulu sama dia. Kasian." Tangannya masih terus mengusap rambut sang anak pertama, menyisirnya dengan jemari tangan. Membuat sang anak tenang karena terbuai.

Sang mama memang sangat hebat jika disuruh menangani anak-anaknya.

"Jun." Mama Jisung menoleh ke arah anak kedua. Membuat anak kedua yang hendak memasukkan sesendok nasi, terhenti seketika.

"Ya, Ma?" Tanyanya dengan tangan yang ikut menurunkan sendok ke piring.

"Tolong bangunkan Jisung, ya. Buka aja pintu kamarnya pakai kunci serep di laci meja ruang tengah. Tau, kan?" Tanya sang mama memastikan.

Si anak kedua hanya mengangguk saja.

Bisa dibilang ia adalah anak yang paling penurut dan tenang daripada kedua saudaranya itu. Ia tak pernah neko-neko, tak berbicara kasar, selalu sabar, dan pengertian terhadap orang lain.

Setelah mengambil kunci cadangan di laci meja, ia membuka kamar sang bungsu. Memperlihatkan si adik yang masih tertidur pulas dengan headset yang menyumpal telinganya.

Ia mendekat dengan menggelengkan kepala pelan. Kebiasaan buruk adiknya ini masih saja dilakukan terus menerus, menggunakan headset saat tidur. Padahal ia sudah menasehati beberapa kali, mengatakan bahwa itu tak baik bagi kesehatan telinga.

Tapi Jisung tetaplah Jisung, bebal.

"Sung." Lelaki itu, Renjun, menggoyang tubuh Jisung pelan setelah melepaskan headset dari kepala Jisung.

Dan karena goyangan di lengan itu pula, perlahan Jisung bergerak kecil. Lalu Jisung meregangkan tubuhnya.

Jisung duduk dengan mata yang masih terpejam, Renjun yang melihat itu hanya tertawa geli. Adiknya yang satu ini akan selalu menajadi anak kecil di matanya.

Sebelum beranjak pergi, Renjun menepuk kepala adiknya yang masih terduduk dengan mata terpejam di atas ranjang. "Mandi, trus bersiap ke sekolah. Sudah hampir jam setengah tujuh, ntar kamu telat. Araseo? " (mengerti?)

"Hng." Jisung hanya mengangguk lemas. Ia masih dalam mode mengumpulkan nyawa setelah tertidur pulas.

Daripada si kakak pertama, Doyoung, Jisung lebih sering menuruti omongan Renjun tanpa ada bantahan. Karena Jisung itu tipe orang yang tak bisa dikeraskan. Ia akan memberontak dan marah jika ada orang yang menasehatinya dengan nada yang tinggi.

BOSOM FRIENDs (02 L) - CHAPTER 1 : such a bad dreamNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ