Gasta menjotos bahu sang sahabat. "Gila lo. Sampe segitunya ngerjain adek."

Jiwa kembali tertawa. "Lo liat tadi wajah si Zee? Kusut amat."

"Gue gak ikutan ghibah, ya. Lo ghibah aja sama angin. Gue cabut dulu!" Gasta menyampirkan ransel di sebelah bahu, lalu beranjak menuju motornya yang terparkir di luar gerbang.

Jiwa menyeka air yang sedikit keluar dari ujung matanya akibat tertawa. "Si Zee kemana? Gawat ini mah. Pasti nanti di rumah dia bakalan ngamuk." Dengan tergesa memakai topi kemudian berlari untuk mencari adik perempuannya.

***

Angkasa sudah berangsur mengabu. Burung-burung terbang sesuai fraksi, melintasi awan menuju tanaman berbatang dan bercabang nan memiliki akar membumi yang mereka sebut sebagai rumah. Suaranya berkicauan saling sahut-menyahut. Namun, gadis dengan rambut sedikit berantakan itu masih tidak ingin pulang ke naungannya. Iris matanya terpusat pada aliran air sungai yang bergerak tenang, guna mencari ketenangan. Hari ini hatinya benar-benar galau.

Jadi, seperti inikah jatuh cinta? Pikirnya. Sebelumnya, ketika bertemu dengan cogan, ia hanya akan merekam wajah mereka di memori otaknya untuk bahan halu-an ketika malam. Meskipun banyak cogan yang telah di klaim sebagai miliknya. Dan dari sekian banyak cogan tersebut sempat menyatakan cinta kepadanya, Zee hanya akan bersikap biasa saja. Menolak dengan alasan;

Maaf kapasitas hati gue terbatas. Mana bisa, udah di pake menampung cogan Wattpad sama 23 budjank. Tapi, berhubung lo juga cogan, jadi otomatis lo udah tertampung di hati gue. But to be a girlfriend, I can't.

Tetapi, lain halnya dengan Gasta, sepertinya pemuda itu telah berhasil mencuri hati kecilnya. Jika biasanya Zee galau karena membaca cerita sad ending, berbeda dengan saat ini.

"Sialan!"

Telapak tangannya berayun, melempar kerikil ke dasar sungai hingga membuat airnya sedikit beriak. Gadis itu duduk bertengger di pembatas jembatan. Suara hiruk-pikuk kendaraan tak sedikitpun mengusik ketenangannya.

Ganta menghentikan motornya tepat dibelakang tubuh Zee. Namun, gadis itu tidak menyadari lantaran atensinya tengah dikuasai oleh aliran air.

Havika ikut turun. Ganta kemudian menggeplak bahu Zee sembari berseru, "Duar!"

Zee yang kaget, otomatis tubuhnya terpelonjak dan terjerembab. Belum sempat raganya tercebur ke bawah sungai, Ganta segera mencengkeram lengan gadis itu. Hingga saat ini, posisi Zee tengah menggelantung. "Lo kalo mau bunuh gue gak gini caranya, tolol!" teriak Zee sambil naik di bantu oleh cowok itu.

"Gue gak sengaja, Zee. Lagian, ini udah malem kenapa lo masih kelayapan?"

Zee menatap gadis yang berdiri di samping Ganta. Havika menatap sinis dengan dua buah keresek menggantung di tangannya. Sepertinya mereka habis pulang dari Supermarket.

Ah, andai saja Ganta datang sendiri, pasti Zee akan meminta untuk di antarkan pulang. Jarak rumahnya masih terpantau cukup jauh. Sementara tadi dirinya tak sempat membawa uang sepeserpun. "Bukan urusan lo!" Zee berlalu dengan langkah kaki yang dihentakan. Tak tinggal diam, Ganta segera menarik pergelangan tangan Zee.

"Ini udah malem. Bahaya kalo lo pulang sendiri. Gue anterin, ya?"

Zee menatap Havika. Gadis itu memperlihatkan seringai kecil. "Terus Havika gimana?"

Ganta menggaruk kepala bagian belakangnya, kebingungan. "Lah, iya. Gimana kalo rempet tiga aja?"

Zee tersenyum lebar. "Oke. Gue duduk di jok belakang. Dan Havika duduk di knalpot."

"Kak!" Havika menarik ujung jaket Ganta. Tak terima dengan usul Zee. Yakali dia akan duduk di knalpot? Mana bisa lah.

Ganta menarik lengan Havika dan Zee. "Havi, berhubungan tubuh Zee gendut kayak sumo, jadi dia duduk di belakang. Kamu di depan dan kakak di tengah, oke? Jangan nolak."

"Kak, aku nggak mau. Kalo di depan nanti tubuh aku kejepit," protes gadis itu.

"Ayo!" Tanpa mengindahkan protesan dari Havika, Ganta lekas menaiki motor. Zee menjulurkan lidah. "Gue menang," bisiknya lalu naik ke atas motor dan memeluk pinggang Ganta.

Havika hanya bisa mengepalkan tangan. Untuk kali ini ia tak kuasa membalas, hanya bisa pasrah mengikuti instruksi dari kakaknya. "Pegangan, ya. Kakak bakalan ngebut. Di depan sana banyak polisi yang lagi patroli," beritahu pemuda itu, menyuruh adiknya untuk berpegang pada body motor.

***

Di lain tempat, Jiwa sudah terkena bom omelan dari sang mama karena meninggalkan adiknya sendirian. Tadi sore, Jiwa lekas pulang. Ia kira Zee sudah ada di rumah, tetapi nyatanya gadis itu sama sekali tidak ditemukan batang hidungnya. Entah pergi kemana adik perempuannya itu? Jiwa kira candaannya tadi sore tidak akan berefek sefatal ini.

"Sekarang mau bagaimana lagi? Ini sudah malam dan adikmu belum pulang! Gimana kalo dia tersesat? Atau bisa saja di culik? Kamu gak sayang adikmu apa? Sampai tega ninggalin dia?" Suara Xeanzi terdengar kembali memenuhi ruang keluarga. Wanita setengah baya itu semakin risau lantaran hari sudah semakin larut.

"Maaf." Hanya kata itu yang dapat Jiwa ucapkan. Memang, Jiwa mengakui semua ini adalah salahnya. Mungkin saja candaannya tadi sore terlalu berlebihan dan sukses menorehkan luka di hati adiknya.

Sesaat terdengar suara bel rumah. Xeanzi lekas membuka pintu, lalu memekik bahagia ketika mendapati Zee tengah berdiri sambil tersenyum lebar. Wanita setengah baya itu menutup pintu kemudian berkacak pinggang. "Kamu dari mana? Kenapa se-larut ini baru pulang?"

"Anu, Ma ... tadi Zee gak bawa uang. Jarak dari Dojo ke sini itu jauh. Tapi untungnya Zee dapet tumpangan. Mana dapet makanan gratis pula," celetuk gadis itu, lantas berlari menuju sofa dan segera membuka martabak hasil jerih payahnya; memaksa Ganta untuk membelikannya di pinggir jalan.

"Lo di anterin sama siapa?" tanya Jiwa, ikut duduk di samping adik sematawayangnya.

"Ada deh." Zee mengedipkan sebelah mata yang kemudian langsung melahap martabak kacang tersebut.

To be continue ....

RECOGNIZED(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang