I

31.2K 4.7K 362
                                    

"AWAAAASSS!"

Aku berteriak sekuat tenaga. Ada suara keras yang terdengar seperti alarm tanda bahaya. Melengking dan mengerikan. Apakah pria itu benar-benar jatuh ke jurang?

Sontak aku membuka mata. Ada gambar bintang-bintang yang langsung tertangkap mata. Cahayanya hijau pudar, menunjukkan berapa harga hiasan kamar yang memang murahan. Tak ada jalanan beraspal, hanya poster band rock X Japan yang terpasang miring di atas meja belajar. Tak ada jurang lebar, hanya ada kamar kos yang superberantakan. Dan suara yang tadi kukira sirene bahaya, ternyata suara alarm dari ponselku.

Ah, mimpi lagi ternyata.

"Hhh ... Capek ...." keluhku, sembari menggerakkan tubuhku yang terasa kaku.

Tulang-tulangku terasa linu. Persendianku berderik-derik seperti engsel tua yang dipaksa berfungsi normal. Kepalaku pusing sekali. Rasanya nyaris mual. Keringat dingin mengucur deras, walau ada kipas angin tua yang cukup ampuh mendinginkan hawa kamar kosku yang sempit. Aku seperti sedang demam. Namun, begitulah rasanya setiap kali aku terbangun dari mimpi-mimpi yang aneh.

Mimpi? Tunggu!

Aku bangkit dengan terburu-buru. Kunyalakan lampu kamar yang hanya semakin menegaskan betapa berantakannya kamar berukuran 3 x 3 ini. Sayangnya, aku tak punya waktu untuk memikirkan apalagi membersihkannya. Dengan buru-buru sekaligus ceroboh, sampai aku nyaris terpeleset selimutku sendiri, kuraih buku kecil yang selalu kutaruh di meja samping kasur.

Kubuka buku itu dengan kasar sampai halaman terakhir yang kutulisi tiga hari yang lalu. Aku harus segera menuliskan mimpi tadi malam di jurnal mimpi sebelum aku lupa.

26 Agustus 2016
Cowok itu pake kaos hitam, celana jeans, sandal jepit. Duduk di pinggir jalan gelap, menundukkan kepala. Lalu dia berjalan jauuuuuh, sampe puluhan kilometer. Aku ngikutin dia di belakang sebagai pohon (?). Awalnya dia jalan biasa, terus lama-lama lari seolah ngejar sesuatu. Lalu kami sampai di retakan jalan. Ya, jalan itu ternyata terputus. Mungkin habis ada bencana. Putusnya jalan itu jadi jurang lebar yang curam dan dalam. Cowok itu harusnya berhenti lari kalo nggak mau jatuh ke jurang. Aku berusaha memanggil dia dan memperingatkan soal jurang itu. Tapi dia nggak dengar. Suaraku nggak mau keluar. Dia terus lari, lari, lariiiii dan akhirnya berhenti. Dia menoleh, menatapku dengan wajah matinya. Dan dia bilang "Tolong. Di sini. Dingin. Sakit sekali.". Intinya, sama kayak mimpi sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Nggak ada kemajuan.

Aku menghela napas lega. Berhasil menulis mimpiku di jurnal mimpi sebelum aku melupakannya, rasanya seperti berhasil menyelesaikan tugas tepat sebelum deadline berakhir. Berangsur-angsur lelah dan letih yang tadi kurasakan berkurang. Yaah ... walaupun mimpi ini masih sama seperti sebelum-sebelumnya.

Entah ini sudah yang ke berapa kalinya aku memimpikan orang yang sama. Pria putus asa yang diliputi rasa sedih, lelah, marah, dan bingung. Kubaca lagi ulasan mimpiku semalam yang kutulis dengan tulisan cakar ayam. Bahkan membacanya sendiri membuatku pusing. Mimpi itu sangat surealis dan membingungkan. Jadi aku adalah pohon? Tapi bagaimana mungkin pohon bisa berjalan sampai puluhan kilometer? Lalu kenapa ada retakan jalan sebesar itu? Apa jalan itu menghubungkan dua gunung? Jurang itu jelas terlalu dalam untuk sekadar jadi retakan. Lagipula kenapa ....

"Tunggu. Ada yang aneh ...."

Kubaca ulang catatan mimpiku sebanyak dua kali. Hasilnya tidak berubah. Dua kalimat terakhir paragraf itu menggangguku. Dia menoleh, menatapku dengan wajah matinya. Dan dia bilang "Tolong. Di sini. Dingin. Sakit sekali."

"WUAAAAH KEMAJUAN LAGI!" decakku sedikit heboh. "Dia nggak cuma bilang tolong!"

Tok tok tok ...

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now