Sontak aku membekap mulutku dan menatap horor ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Seharusnya aku nggak teriak. Aku yakin Bu Murni yang mengetuk pintu kamarku. Palingan ibu kosku itu butuh teman ngobrol untuk membicarakan keburukan semua orang di dunia. Plis lah, aku lagi nggak mood ngobrol dengan siapa pun sekarang. Kepalaku pusing dan aku masih ingin tidur lagi.

"Monik?" Terdengar suara yang familier. Nah kan, benar itu Bu Murni. "Monik udah bangun? Ibu masak sayur asem. Kamu nggak mau beli sarapan?"

Aku ingin nggak peduli. Aku sungguh-sungguh nggak peduli. Tapi perutku langsung berbunyi mendengar kata sayur asem. Mimpi tadi benar-benar menguras tenagaku. Aku butuh asupan gizi yang baru, caranya dengan mengabaikan bahwa ibu kosku itu menyebalkan. Jadi, kututup jurnal mimpiku.

"Monik ...."

"Ya, Bu! Ini lagi bangun."

Kusambar kaos oblong besar di belakang pintu. Sembari mengikat rambutku yang mengembang seperti surai singa, aku memikirkan mimpiku semalam. Sekarang detailnya sudah mulai buyar. Tapi aku mengingat apa yang kucatat di jurnal mimpiku tadi. Aku bisa melihat wajahnya, tetapi ... apa-apaan ini? Aku tetap nggak punya bayangan siapa pria yang mendatangi mimpiku berminggu-minggu ini.

"Haaahh ... seolah-olah bisa baca pikiran orang lewat mimpi belum cukup aneh ...  Sekarang gue malah mimpiin orang yang gue nggak tahu itu siapa terus-terusan dan ... Halo, Bu Murni! Lama nggak ketemu ... Apa kabar?"

Sebenarnya aku kaget karena saat aku membuka pintu, Bu Murni masih berdiri di sana. Tapi aku lebih kaget karena Bu Murni terlihat sama kagetnya denganku.

"Monik, kamu habis nangis?!"

***

Apa yang terjadi di mimpi kadang-kadang terjadi di dunia nyata. Itulah sebabnya aku tidur sambil menangis sesenggukan hanya karena di mimpiku aku juga menangis. Kadang aku mengompol saat di mimpiku aku merasa begitu takut dan terancam. Jadi, itulah jawaban atas pertanyaan Bu Murni tadi. Apakah aku menangis? Ya. Tapi dalam mimpi. Rasanya aku ingat aku menangis saat aku merasa tak berdaya untuk menyelamatkannya.

Aku lupa sejak kapan hal ini terjadi, tapi, kurasa semuanya berawal sejak setahun meninggalnya Mama, yaitu empat tahun yanh lalu. Mimpi nggak lagi jadi bunga tidur belaka bagiku. Mimpi selalu berarti sesuatu yang penuh tuntutan. Mimpi menjadi sinyal bahwa ada seseorang yang sedang kesulitan, dan aku harus membantunya.

Aku pernah membaca tentang kemampuan spiritual yang mungkin dimiliki oleh orang-orang khusus. Salah satunya adalah empath. Mereka adalah orang yang bisa membaca dan memahami emosi orang lain, tanpa harus melakukan percakapan mendalam. Bahkan tanpa kontak, si empath bisa mengetahui rasa marah, sedih, kecewa, senang, dari orang-orang di sekitarnya. Dalam kasus ini, aku melakukannya lewat mimpi. Aku memimpikan orang-orang spesifik yang dekat denganku, kukenal, kuketahui namanya, ataupun orang-orang yang kukenali wajahnya walau aku tak tahu siapa namanya. Mimpi-mimpi itu seperti gedung bioskop, dan aku menonton kehidupan orang lain di sana.

Well, sebenarnya aku nggak yakin apakah kemampuanku ini termasuk kategori empath atau bukan. Namun, aku sudah berusaha mencari tahu ke sana kemari, dan hanya ini satu-satunya penjelasan yang paling masuk akal tentang kemampuanku.

Aku pernah memimpikan tentang Arga, teman sekampusku yang oleh orang-orang dilabeli sosiopat dengan semena-mena. Namun, sikap Arga memang demikian. Dia selalu menghindari orang lain. Saat yang lain asyik bercerita, Arga akan memasang headset dan mendengarkan musik dengan ekspresi terganggu. Saat ada tugas kelompok, Arga lebih suka mengerjakannya sendiri. Tak seorang pun yang bersusah payah mengajak Arga ke kantin, karena wajahnya sudah menyiratkan penolakan, apa pun ajakannya. Dalam mimpiku, Arga duduk di sudut kelas menatap keramaian di sekitarnya, berharap seseorang menanyakan pendapatnya. Ia ingin ikut ngobrol, tapi tak tahu caranya. Dia juga ingin disapa seseorang saat kebetulan bertemu.

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now