Special Chapter: D-Day

701 147 19
                                    

Sebelum melanjutkan chapter cerita ini aku mau membagikan dulu sudut pandang lain, yaitu Joshua. Barangkali ada yang penasaran sebenernya Joshua itu ngapain dan kenapa gabung sama kelompok itu~


Happy reading!^^



~°~°~



Joshua menatap pistol di tangannya. Benda itu terasa lebih berat hari ini. Padahal ia sudah biasa memegang berbagai macam senjata api. Entah sudah berapa orang yang telah merasakan betapa panas dan sakitnya peluru yang meluncur dari pistolnya. Namun kali ini ia merasa takut, berat, dan enggan melakukannya.

"Tolol," umpat Jun yang memperhatikan dari ambang pintu. "Sudah kuperingati kau untuk tetap menjaga jarak. Sekarang bagaimana? Kau mau menyerah? Mau meloloskan orang yang telah kau buru selama belasan tahun karena kau jatuh cinta pada anaknya?"

"Berisik," balas Joshua sinis. Pria itu mengantongi senjatanya. "Tidak ada kata menyerah di kamusku."

Joshua akhirnya beranjak untuk meninggalkan ruangan itu.

"Sudah belasan tahun kau dilatih untuk menjadi profesional," ucap Jun ketika Joshua melewatinya. "Jangan menggagalkan rencana hanya karena ketidakprofesionalan hatimu."

Joshua mendecak. Pria itu bergegas pergi, meninggalkan Jun begitu saja untuk menemui Woozi di ruangannya.

"Woozi," panggil Joshua begitu memasuki ruangannya.

Pria yang dipanggil itu memutar kursi untuk menghadap Joshua. Sebuah roti tergantung di mulutnya. "Ohh ... Joshua. Sudah siap?"

Woozi melepaskan roti dan menyimpannya di meja. Pria itu langsung mengotak-atik keyboard. Membuat tampilan lima komputer di depannya berubah menjadi pemandangan sebuah rumah yang sangat familier bagi Joshua.

"Target ada di ruang kerja," ucap Woozi sambil menunjuk sebuah gambar yang terekam melalui kamera tersembunyi yang dipasang Joshua sejak dua bulan lalu. "Kekasihmu pergi dengan supir lima belas menit yang lalu. Wonwoo bilang dia akan menemui teman lamanya di Itaewon. Kau punya waktu satu jam untuk beraksi. Ya, lebih baik sekarang daripada tengah malam. Moon (Y/n) bisa menemukanmu."

"Hmm," deham Joshua tak bersemangat.

Woozi menangkap hal tersebut dan menolehkan kepala. Dilihatnya wajah Joshua yang tampak kesal. "Jun mengancam lagi ya?"

"Stupid," umpat Joshua, "dia kira aku akan menyerah. Dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja hanya karena aku jatuh cinta pada anaknya?"

Woozi menghela napas sambil menyandarkan tubuh di kursi. "Kau harus mengerti, Joshua. Dia khawatir padamu, juga pada dendamnya. Kau tidak ingat? Jun juga kehilangan keluarganya karena Moon Junghwa. Harusnya ini target operasi Jun. Tapi, karena kau ingin menghabisi Moon Junghwa dengan tanganmu sendiri, Jun menyerahkannya padamu. Dia tidak ingin kau gagal dan menyesal kemudian karena tidak membiarkan Jun bergerak."

Joshua mengembuskan napas berat. Jantungnya berdebar-debar. Luka lamanya kembali terangkat. Ia ingat kejadian tiga belas tahun lalu, saat usianya masih lima belas tahun. Saat itu ia baru pulang dari perlombaan, membawa piala tertinggi yang berhasil ia dapatkan. Dengan senyuman lebar ia berniat memamerkan itu pada kedua orang tuanya. Namun, suara tembakan terdengar ketika ia memasuki pekarangan. Ia menjatuhkan piala dan tasnya kemudian berlari masuk.

Suara tembakan kedua terdengar. Ia ingat betapa mengerikannya situasi saat itu. Ketika ia membuka pintu dan masuk, rumahnya sudah porak-poranda. Barang-barang berserakan di lantai. Ada pecahan kaca, darah, dan robekan-robekan kertas. Titik-titik darah berceceran di lantai, mengarah ke kamar utama di rumah itu seolah seseorang yang sedang terluka terseret-seret ke sana. Ia bergegas menuju kamar utama dan membuka pintu. Naas, kedua orang tuanya sudah tergeletak di kamar mereka. Sang ibu sudah lebih dulu meregang nyawa sementara ayahnya masih bernapas, menangis kesakitan penuh luka.

Under the Light [Seventeen and Stray Kids Imagine Series]Where stories live. Discover now