Kenangan & Harapan

6 2 0
                                    

Karawang, 28 April 1946

Pukul 10:00

Sejak pagi kami berjalan-jalan di sawah yang bertebaran luas di sekeliling kampungku. Kutuntun dia melewati beberapa pematang sawah yang terputus, menyebrangi jembatan kecil, hingga melewati aliran deras pengairan yang malang melintang di Karawang.

Tapi Purbasari wajahnya terlihat sangat muram. Ia tampak begitu sedih dan tertekan. Semua ini terjadi sejak cerita mengenaskan tadi malam.

Ketika aku terbangun jam empat kurang shubuh tadi. Aku terkejut ketika melihatnya sudah bangun dengan tatapan kosong menatap langit-langit. Matanya merah dan pipinya sembab. Aku tahu dia masih sedih mendengar cerita itu. Sehingga aku lebih memilih untuk tidak membahasnya. Cepat atau lambat, kesedihannya pun akan berlalu. Aku pun sedih dan sangat iba melihat Eha yang tak pernah kusangka bernasib semalang itu. Tragedi itu sama sekali tak pernah terlintas dalam benak siapapun.

Matahari telah bersinar semakin terik. Kami berteduh di bawah sebuah saung kosong di tengah sawah. Kami menatap sekeliling kami yang hampir seluruhnya sawah tak bertepi. Terlihat kampungku jauh disana, tampak seperti hutan kecil yang menyempil di tengah sawah. Begitu juga kampung-kampung lainnya yang masing-masing dipisahkan sawah. Terhubung hanya melalui jalan setapak kecil yang kadang kala hanya bisa dilalui pejalan kaki saja.

Disini sawah langsung bertemu langit. Tak ada gunung atau bukit. Hanya persawahan datar yang ujungnya kabur di batas pandangan mata, lalu langsung disambung langit. Hampir tidak ada batas di antara keduanya.

"Jangan terus sedih begini, sayang," rayuku kepadanya yang bersandar dalam rangkulanku.

Sementara Purbasari hanya menatap cakrawala, tak menjawab sepatah kata.

"Aku tak berdaya melihatmu seperti ini."

Tangan Purbasari bergerak ke wajahnya, lalu ia basuh kedua pipinya. Ia menangis lagi.

"Separah itukah cerita itu menghantuimu? Kau kan tahu ada banyak yang lebih tragis di luar sana?"

"Jangan pikirkan aku Kang. Aku baik-baik saja," balas Purbasari tiba-tiba.

"Aku tidak bisa tidak memikirkan wanita yang menangis di dekatku. Apalagi jika kau itu istriku," sanggahku sambil membasuh air mata dipipinya dengan jemariku.

Purbasari berjuang tampak menahan isak tangisnya.

"Besok kita ke Jakarta pagi-pagi. Kita butuh waktu untuk mencari tempat tujuanku disana karena kita belum kenal Jakarta kan. Dan sekalian agar kau cepat melupakan semua ini."

Purbasari mengangguk.

Sering kali aku tak mengerti, isi pikiran dan hati wanita. Purbasari yang kukenal sebulan yang lalu itu begitu gagah berani dan seorang pejuang yang sangat tangguh. Dia berdiri di atas jeep lalu mengokang senjata, dan menembak kuda bapaknya. Dia berlari dikegelapan malam. Dia seorang pejuang. Saat itu aku tak mengerti apa yang ada di hati dan pikirannya hingga dia bisa sedahsyat itu. Tapi sekarang? Secara drastis dia telah berubah menjadi seorang istri yang tak berdaya di samping dada suaminya. Yang karena satu kisah sedih, dia tak berhenti berurai air mata.

Dengar cerita Eha, aku jadi ingat kisah Ujang, yang senasib seperti itu. Kedua orang tuanya dibunuh hanya karena menolak memberikan beras. Tragedi-tragedi ini terjadi di kampung-kampung. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi di kota-kota. Besok di Jakarta aku mungkin akan tahu, penderitaan apa yang dirasakan oleh rakyat kecil yang berada dibawah naungan pemerintah penjajah. Inilah nasib rakyat dari bangsa yang tak merdeka. Dan sekarang kemerdekaan itu sedang diperjuangkan. Aku tak boleh mengabaikan tugas ini, meski itu berarti aku harus meninggalkan Purbasari sementara waktu.

Selamat Tinggal TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang