Kita

4 2 0
                                    

Purwakarta, 18 April 1946

Pukul 06:00


Udara pagi yang dingin dan segar menyerbu masuk ke dalam kamarku usai kubuka jendela kayu ini. Tidur malam yang luar biasa nyenyak dan memuaskan, dengan perut kenyang dan hati senang. Hari-hari yang sangat indah bagiku. Dengan semua ini rasanya segera tertutup segala kengerian perang yang kualami beberapa waktu lalu.

Indah sekali rasanya karunia hidup ini. Sangat beruntung aku bisa mengenal Purbasari disini. Suatu kebetulan yang sangat indah. Melalui luka tendangan Endang di dahiku, yang menjadi alasan bagi Purbasari untuk membersihkan wajahku ketika baru pertama kali bertemu. Dan itu membuat kami lebih mudah akrab beberapa waktu ke depannya.

Lalu insiden di malam itu yang dihiasi oleh tembakan Purbasari, yang memicu pada spontanitasku mengajukan janji untuk membawanya kembali. Lalu aku tertembak dan tak sadarkan diri. Kapten Anwarsani meminta perawatan maksimal untuk diriku dan itu Purbasari yang melakukannya. Lalu aku sadar dan sembuh tepat pada hari dimana Purbasari dipulangkan ke rumahnya. Entah apa yang terjadi jika tidak pas begitu. Belum lagi ketika aku mengejar Purbasari dan terjadilah apa yang terjadi selama di sado. Semuanya adalah kebetulan yang telah disusun secara indah oleh Allah. Apakah Purbasari memang jodohku? Apakah aku harus meminta izin kepada Pak Lurah untuk menikahinya? Apakah ini tidak terlalu cepat? Apakah segala yang terjadi sudah cukup untuk meyakinkan mereka?

Dalam harapan yang penuh, pikiranku dikacaukan oleh rasa cinta yang membuncah ke segala arah. Meski begitu aku sadar, bahwa jika aku menikah dalam waktu dekat ini, dua minggu lagi pun aku akan kembali bertugas dan aku harus meninggalkan Purbasari. Membayangkan tugas itu rasanya sedih sekali. Rasanya perpisahan dengan Purbasari sudah ada di depan mata. Aku tak mau membayangkannya. Aku harus memaksimal setiap detik dan menit disini dalam kebersamaan bersamanya. Itu saja.

Lalu sekarang apa yang bisa kulakukan? Aku hanya melamun di depan jendela sambil menikmati udara segar. Dari sisi ini, jendela langsung menghadap ke arah kebun. Tampak pepohonan yang hijau dan rimbun. Sinar matahari belum bisa masuk seluruhnya ke dalam sana.

"Assalamu'alaikum," salam Purbasari di depan pintu. Mengejutkanku tapi juga membahagiakan. Satu-satunya suara yang kunantikan pagi ini. Bukan kicau burung atau apapun.

"Wa'alaikumsalam," balasku dari dalam. Aku segera merapikan pakaian dan lalu kubuka pintu.

Dalam ketergesa-gesaan, aku tak sempat membayangkan seperti apa Purbasari yang berdiri di depan pintu ini. Hingga akhirnya kenyataan yang membungkam mata dan hatiku. Tampaklah disana Purbasari yang tersenyum teramat manis dalam balutan kebaya coklat yang dikenakannya.

"Ayo ke depan Kang. Kalau pagi biasanya kami duduk-duduk di depan sambil minum teh," ajak Purbasari yang membuatku semakin luluh dengan istilah baru yang ia gunakan untuk memanggilku.

Kami pun berjalan beriringan, melintasi rumah panggungnya yang panjang dan luas.

"Nyenyak tidurmu semalam, Sari?" tanyaku sebelum terlalu hening.

"Sangat nyenyak Kang. Melepas segala lelah. Kang Surya sendiri bagaimana?"

Ya Allah, tolong pertahankan jiwaku yang hampir terbang dibuai oleh suara lembutnya itu. Suaranya tetap lembut sedari kemarin. Tapi istilah baru itu, yang membuatku hampir hilang kesadaran.

"Oh aku juga," aku tenggelam di matanya dan sangat bersyukur masih bisa sadar untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan balik kepadaku. "Terimakasih banyak atas segala jamuan yang luar biasa ini."

"Justru aku juga berterimakasih Kang Surya sudi kemari lagi," kini aku tahu bahwa peluru tak selamanya tajam dan menyakitkan. Ada juga yang lembut dan pelan tapi tetap juga mampu melumpuhkan. Dan pagi ini aku sudah tertembak berkali-kali.

Selamat Tinggal TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang