Di Penghujung Tugas

6 3 0
                                    

Cipeundeuy, 25 Maret 1946

Pukul 01:00


Kami sudah bangun pukul satu dini hari dan langsung berkemas. Wilayah Cipeundeuy cukup luas, tak mungkin rasanya mereka bisa menemukan kami jika kami berjalan melalui pelosok dan dalam kondisi segelap ini. Dan sepertinya lima jam perjalanan sudah cukup untuk menyampaikan kami ke Plered. Mudah-mudahan kami bisa tiba di Plered sebelum fajar menyingsing.

Misi ini sudah hampir selesai. Tak terasa. Masih kuingat apa yang terpikirkan olehku semalam. Kenapa aku tidak rindu?

Kedua orang tuaku masih lengkap dan sehat. Keduanya baru berumur kira-kira empat puluh tahun. Mereka tidak tahu persisnya kapan mereka lahir. Apalagi aku? Tapi mereka ingat betul kapan aku dilahirkan. Aku masih punya dua orang adik lelaki yang cukup dewasa untuk membantu pekerjaan kedua orangtuaku. Kondisi yang demikian membuatku tidak perlu mengkhawatirkan mereka, sehingga aku bisa fokus berjuang disini dan meniti karir sebagai seorang prajurit.

Sudah ku tekadkan, usai peperangan inipun aku akan tetap melanjutkan jenjang karir ini, yang sepertinya cocok denganku. Tapi itu jika Indonesia menang. Bagaimana jika kami kalah? Jelas sekali kondisi belakangan ini begitu mengejutkan untuk seluruh rakyat republik muda ini. Belum setahun lalu kami merdeka, yang itupun secara tiba-tiba. Berita tersiar begitu saja, orang-orang bersorak-sorai penuh kegembiraan dalam kemerdekaan, yang sebenarnya belum kami tahu persis itu apa dan apa efeknya.

Lalu dalam bulan-bulan awal kemerdekaan, tingkat keaktifan masyarakat sangat tinggi. Kelompok-kelompok pejuang muncul dimana-mana. Dari pusat pun terus rutin memobilisasi masyarakat dan mengumpulkan pemuda-pemuda desa sepertiku untuk menjadi pejuang. Saat itu sibuk sekali. Dan tak lama kemudian, Inggris tiba. Terjadi pertempuran besar yang belum pernah kami alami sebelumnya di zaman penjajahan Belanda ataupun Jepang. Pada 10 november tahun lalu di Surabaya. Puluhan ribu korban dan satu kota hancur luluh lantak. Aku tak mampu membayangkannya. Sedahsyat apa pasukan Inggris itu? Katanya mereka menyerang Surabaya dari darat, laut, dan udara. Sementara para pejuang hanya dilengkapi oleh senjata hasil rampasan Jepang. Kabarnya para santri pun ikut diturunkan ke medan laga. Hingga ratusan ribu orang, dan mereka semua menggunakan senjata tajam atau bambu runcing. Sangat tidak imbang. Mendengar kisah itu, pikiranku tak mampu membayangkan apapun.

Hanya saja dalam gelap dini hari ini. Yang terlintas di benakku adalah, apakah Bandung akan segera menghadapi kejadian serupa? Kota yang dibumihanguskan itu, sudah terjadi kemarin. Tapi pertempuran bahkan belum dimulai.

Aku tak mau memikirkan kemungkinan itu. Sekarang yang teringat olehku justru dia, Juleha. Dalam penyebutan Bahasa Arab yang benar harusnya Zulaikha, tapi menjadi Juleha dengan lidah Sunda. Lalu menjadi Eha, untuk panggilan sehari-hari.

Ia adalah seorang gadis yang cantik dan lucu. Teman dekatku sedari kecil. Rumah kami yang bertetangga membuat kami selalu bermain bersama selama bertahun-tahun lamanya. Mungkin tepatnya enam sampai tujuh tahun kami selalu bersama. Hingga terbesit keinginan dalam diriku untuk menikahinya suatu hari nanti. Namun ketika kedua orang tuaku tahu keinginanku itu, mereka tak lantas menyetujuinya. Karena saat itu aku masih terlalu kecil. Umurku baru empat belas tahun. Sementara orang tuaku menginginkan aku untuk bisa tumbuh menjadi sesuatu terlebih dahulu.

"Anak laki harus punya mimpi dan mampu memperjuangkannya. Terkadang perjuangan itu bukan hanya melawan rasa malas, takut, atau semacamnya. Tapi berjuang juga harus bisa mengetahui mana mimpi, mana keinginan, dan yang mana yang harus diutamakan," kata ibuku.

"Jika kau menikahinya sekarang, maka keinginanmu mengejar mimpi akan terhalang oleh kewajibanmu memberi nafkah. Dan jika itu terjadi, kau mungkin akan berakhir menjadi petani seumur hidupmu. Seperti Bapak," kata bapakku.

Selamat Tinggal TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang