Melati yang Pemberani

5 3 0
                                    

Purwakarta, 26 Maret 1946

Pukul 03:00


Kuminum segelas air yang baru saja diambilkan Asep, sementara mereka Endang dan Asep masih menatapku dengan penuh tanya.

"Kau berteriak-teriak tadi. Ada apa?" Endang menyelidik.

Tak kujawab pertanyaan itu. Aku baru sadar bahwa semua itu ternyata mimpi. Mimpi yang aneh. Memimpikan Belanda padahal sedang menghadapi Inggris. Dibenakku masih terbayang apa yang baru saja kumimpikan. Keluargaku dan Eha. Tapi sebuah tembakan tank Belanda menghancurkan segala kebahagiaan itu. Tapi aku tidak mau dihantui, Karawang jauh dari petaka yang sedang menimpa Bandung sekarang ini. Tapi yang kulihat bukanlah Inggris, melainkan Belanda. Justru itu tidak boleh diambil peduli. Karena Belanda belum kelihatan sebanyak itu dan sekuat itu sekarang ini. Mereka pasti masih terseok-seok usai perang dunia kedua di Eropa.

Aku masih menatap langit-langit dan terus menerawang.

"Jam berapa sekarang Ndang?" tanyaku.

"Jam tiga pagi. Aku belum tidur," balas Endang lengkap tanpa ditanya. "Asep juga."

"Kenapa begitu? Bukankah disini lebih nyaman dibanding hamparan rumput atau apapun yang pernah kita lalui sebelumnya?"

"Iya... tapi seperti ada yang tidak beres. Aku pribadi tidak tenang, dan setelah kuungkapkan itu ke Asep, rupanya dia juga merasakan hal yang sama."

Aku tak mengerti dan hanya memberikan tatapan heran kepada mereka.

"Ayo kita keluar dari sini," ajakku sambil perlahan bangkit dari balai bambu itu.

Kami pun mulai berkemas. Saat itulah ajudan yang mengantar kami tadi malam tiba-tiba masuk ke dalam ruangan kami.

"Ayo cepat keluar. Kalian ditunggu Kapten," kata Ajudan dengan sedikit tergesa-gesa.

Kami antara yakin dan bingung diperasaan kami yang campur aduk ini.

"Sudah kuduga, ada yang tidak beres," gumam Endang.

Kami pun segera keluar dan menghadap kapten yang sedang menutup kedua wajahnya karena kebingungan yang sedang melanda.

"Lapor Pak, kami siap menerima tugas selanjutnya," seruku dihadapannya.

"Oh ya! Kalian," nuansa senang sedikit kelihatan dari wajah sang kapten walaupun kebingungannya masih tetap terasa. "Kalian bilang tugas kalian selanjutnya adalah dari kami, benarkan?"

"Siap, benar Pak," jawabku.

"Itu artinya kalian sudah dilepas oleh kesatuan kalian sebelumnya. Ya tentu, karena dalam situasi seperti ini keorganisasian memang sedang sangat rumit dan diluar kendali. Baiklah, saya akan memberi tugas kepada kalian, yang dengan tugas ini berarti kalian juga akan lepas kontak dari kami."

Dari penjelasan itu aku segera menangkap adanya tanggung jawab besar dan tugas yang berat yang akan kami dapatkan selanjutnya. Bahkan Kapten sudah menganggap bahwa tak apa jika seandainya kami tidak lagi menghadap kepadanya.

"Lewat mana kalian bisa sampai kesini?" tanya kapten itu kemudian.

"Dari Plered Kapten."

"Bagus. Sekarang kalian kembali kesana dengan membawa surat perintah penyerangan ini. Setiap kali kalian bertemu kesatuan apapun, bacalah surat perintah ini. Arahkan mereka semua ke barat atau utara Bandung. Jika kalian sudah tidak menemukan kesatuan apapun lagi, kalian ikutlah berperang, jadilah inisiasi agar seluruh barisan pejuang di Bandung barat ini merapat ke Padalarang atau Lembang dan jepitlah Inggris disana."

Selamat Tinggal Terakhirحيث تعيش القصص. اكتشف الآن