Janji

4 3 0
                                    

Padalarang, 1 April 1946

Pukul 08:00


Aku pikir aku telah mati. Dan segala mimpi yang kulihat adalah alam akhirat. Tapi ternyata tidak. Aku masih hidup, dengan tubuh yang kaku tak bisa bergerak, di atas sebuah ranjang kayu dalam sebuah tenda yang pengap.

Ketika kucoba bangun dari tidur ini, rasa sakit di dadaku menyerang dengan cepat dan menggila. Tak pernah kurasakan rasa sakit seperti itu sebelumnya. Ku urungkan niatku dan kembali diam telentang lagi. Sebagai gantinya, kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri memeriksa dimana aku berada sekarang ini.

Seperti dugaanku, ini adalah tenda medis untuk prajurit-prajurit yang terluka. Rupanya aku tak mati. Peluru mungkin telah menembus tubuhku, tapi aku tak mati. Masih ditangguhkan rupanya umurku ini.

Di kanan kiriku tampak pasien-pasien lainnya dengan beragam macam luka. Ada yang putus kakinya, tangannya, ada yang tertembak pada berbagai bagian tubuhnya. Tenda yang pengap dikuasai oleh bau darah dan bau busuk. Sepertinya indra penciumanku sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Sudah bangun kau rupanya Pak," suara seorang gadis tiba-tiba memecah keheningan jiwaku. Sekuat tenaga aku mencoba menoleh ke asal suara itu.

Tampaklah Purbasari membawa jolang air hangat seperti dulu, berjalan mendekat dan semakin dekat.

Aku mencoba tersenyum semampuku.

"Syukurlah bapak akhirnya selamat. Kalau tidak, nanti siapa yang akan menepati janji untuk membawaku pulang," hibur gadis itu. Membuatku mendadak malu seketika. Sebenarnya itu spontanitas saja, aku tak tahu apa yang sebenarnya kukatakan. Kan rasanya tak mungkin bila aku berjanji selamat dan menyelamatkan orang lain juga. Padahal perang tak pandang umur, tak pandang pria atau wanita.

Aku mencoba membuka suara. Tapi yang terdengar hanya desis dan nafasku yang kasar. Meski begitu tetap kucoba sekuat tenaga.

"Terimakasih telah menyelamatkanku," ucapku nyaris berbisik dan terputus-putus menahan sakit.

"Aku tak tahu siapa yang mengambil tubuhmu. Aku hanya menemukanmu dalam sebuah tenda, lalu merawatmu. Sesuai tugasku," jelas Purbasari.

"Bagaimana pertempuran?" sesuatu yang sangat ingin kuketahui di atas segala hal.

"Gencatan senjata Pak. Perdana Menteri Syahrir tak mengizinkan ada konflik. Katanya mereka sedang berusaha menggunakan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Dan kita butuh hubungan baik dengan Inggris."

"Tapi Inggris sudah menembakku dan menembak prajurit yang lainnya."

"Begitu juga kita Pak. Kita juga telah menembak mereka," Purbasari mulai membersihkan sekitar lukaku lagi. Kami tak punya stok perban yang cukup. Banyak luka hanya dibalut kain dari pakaian prajurit itu sendiri.

"Bagaimana dengan rekan-rekan yang lain, apakah kau tahu?"

Purbasari balas menatapku. Beberapa detik. Lalu ia menggeleng, dari raut wajahnya ada duka.

"Tidak tahu Pak. Aku tak pernah bertemu dengan siapapun lagi."

Aku tertegun sejenak mendengarnya. Teringat Endang dan Asep.

"Lalu bagaimana dengan Drajat?" tanyaku lagi. "Dia bersamaku hingga penyerbuan terakhir."

"Tidak tahu juga Pak. Bukan aku yang menemukanmu. Tapi jika dia masih hidup, seharusnya dia juga dimasukkan ke tenda yang sama atau tak jauh dari tenda ini."

"Bisakah kau mencarinya?"

"Aku sudah masuk ke semua tenda Pak. Tapi tak ada yang kukenal."

Purbasari mengangkat jolang air hangatnya dan berdiri.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now