Genangan Darah & Air Mata

11 3 0
                                    

Saguling, 24 Maret 1946

Pukul 02:00


Udara dingin membangunkanku yang tak pulas tertidur di atas rumput padang itu. Harapanku luruh ketika kubuka mataku dan ternyata masih malam. Sampai kapan ketegangan ini mengalir?

Kami sudah mencoba segala yang kami bisa. Kami berlari sekencang dan sejauh yang kami sanggup. Hingga alam digerogoti malam dan dingin merangkak menangkap kaki-kaki kami. Lalu kami tak kuasa, dan satu persatu terjatuh di padang rumput itu. Tak sadarkan diri.

Di kejauhan kulihat cakrawala merah, menutupi sejumlah bintang karena terangnya daratan. Cahaya merah itu berasal dari kota yang terbakar. Kota yang sengaja kami bakar. Bersamaan dengan itu, ribuan penduduk kota mengungsi, mencari harapan ke hutan-hutan. Masih kuingat bagaimana para penduduk Bandung kemarin pagi, berbondong-bondong pergi ke selatan. Sekarang pembakaran kota telah dimulai. Sepertinya sudah berlangsung sejak beberapa jam yang lalu. Ini hanya sisa api yang masih bergerak bebas melahap segalanya. Dan tampak sangat jelas di malam hari.

Kupandangi sekitarku, mencari kawan-kawan seperjuangan yang sudah kembali sadar. Karena kami harus melanjutkan perjalanan sebelum para pengejar itu tiba dan menghabisi kami.

"Asep, kita harus makan," panggilku ke Asep yang membawa seikat ketupat. Bekal kami sejak kemarin. Padahal baru sehari, tapi yang terasa sudah lama sekali.

Rupanya tak hanya Asep, tiga orang temanku yang lain juga sudah bangun. Mereka sedang menatap langit, dengan pikiran kosong dan bertanya-tanya. Berkelana dalam pikiran masing-masing.

"Semuanya sudah habis," Darman tiba-tiba membuka suara. "Harta kita, rumah kita, bahkan nyawa keluarga kita."

"Tenang Darman," ucapku. "Insya Allah keluarga kita aman. Tidak akan ada yang mengejar sampai ke hutan-hutan. Ayo sekarang makan dulu, lalu kita harus bergegas lagi. Mereka tidak akan membiarkan pengirim pesan seperti kita ini tetap hidup."

Seluruh teman-teman seperjuanganku kini duduk mengelilingi seikat ketupat sehari yang lalu.

"Mari makan," ajakku.

Asep membuka ketupat itu dengan goloknya. Dalam kegelapan malam itu, kami mulai makan.

Kumasukkan ketupat itu ke mulutku, kurasakan ketupat yang terasa kering. Syukurlah belum basi.

"Apakah di Pangalengan aman?" tak kuragukan keberanian Darman dan totalitasnya dalam berjuang. Tapi tampaknya, kekhawatirannya tumbuh sejak pengejaran tadi malam.

"Aman Man. Jangan khawatir," tekanku. Dengan mudahnya aku bicara seperti itu, padahal jika aku yang mengalami hal itu, aku pun pasti tak tenang.

"Istriku sedang hamil dan dia harus berjalan jauh, membawa seorang lagi anakku yang belum besar," sendu Darman lagi. Aku bingung harus berkata apa. Antara melayani atau tidak. Jelas berat sekali buatnya. Berbulan-bulan tak bertemu keluarga, lalu bertemu sebentar saja ketika anak dan istrinya hendak mengungsi. Sebentar saja, lalu harus pergi meninggalkan mereka. Di tengah jalan kami nyaris mati diterkam pesawat sialan. Bahkan satu regu pasukan Inggris pun diterjunkan khusus mengejar kami. Suami dan ayah mana yang tak akan gelisah?

"Mereka tidak sendirian, Man. Seluruh masyarakat ada disana. Bahkan keluarga besarmu pun ada disana. Mereka akan saling menjaga," aku tak punya pilihan lain selain menenangkan. Meskipun bagi Darman, dia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya yang kacau balau.

"Aku sudah ikhlas kehilangan segalanya. Hartaku, rumahku, ternakku, ladangku, bahkan mungkin keluargaku. Tapi ada satu hal yang masih mengkhawatirkanku," ujar Endang.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now