Dari Bandung Selatan

41 10 1
                                    

Bandung Selatan, 23 Maret 1946

Pukul 10:00


Matahari telah bersinar seutuhnya, dengan sinar yang memancar memasuki celah-celah dedaunan hutan yang lebat. Pohon-pohon besar dan semak telah merasakan hangatnya sinar matahari pagi itu hingga ke akar. Tapi burung-burung tidak berkicau pagi ini. Mereka telah lama pergi. Sejak ledakan demi ledakan terjadi dan mengusir mereka.

Pagi hari di Gunung Puntang, tempat stasiun radio Malabar yang terkenal itu berdiri. Perintah untuk menghancurkan stasiun radio ini sudah keluar. Seluruh regu prajurit tampak sudah mempersiapkan pelaksanaan misi itu dengan cara masing-masing. Begitu juga kami, yang sedang bersiap mengumpulkan kayu kering dan minyak tanah. Beberapa dinamit juga sudah dikumpulkan untuk menghancurkan bangunan demi bangunan, bahkan ada yang sudah meledakkannya. Stasiun radio ini kabarnya harus benar-benar hancur. Tidak boleh hanya terbakar.

Jerigen berisi minyak tanah sudah kukumpulkan sesuai perintah. Berjejer rapi menunggu diambil oleh prajurit yang bertugas membakarnya. Beberapa rekanku tampak sudah duduk dan beristirahat usai bekerja sedari pagi. Tak ada lagi yang bisa kami kerjakan sekarang.

Sambil mencari-cari apa yang bisa kukerjakan lagi, seorang prajurit yang tak kukenal tampak berjalan mendekat ke arah kami.

"Bung Surya?" tanya prajurit yang belum kukenal itu. Aku mengangguk sambil mengelap tanganku dari sisa-sisa minyak tanah yang menempel. "Diminta Kapten Iskandar ke tendanya."

Tugas apa lagi ini. Belum sempat aku istirahat. Tanpa banyak bicara kuambil peci coklat yang kuselipkan di pinggang. Kukenakan lalu aku ikuti prajurit itu yang sudah lebih dulu berjalan menuju tenda Kapten Iskandar.

Tak lama kemudian aku sudah tiba di depan tenda Kapten Iskandar. Kapten tampak sudah menungguku di luar, dan dia justru langsung berjalan ke arahku.

"Kolonel Arifin ingin bertemu langsung denganmu," kata Kapten Iskandar lalu menghisap dalam-dalam rokoknya. Lalu dengan gerakan kepalanya ia mengajakku untuk berjalan mengikutinya.

Kami pun berjalan bersama menuju tenda Kolonel tanpa bicara satu sama lain. Tiba-tiba aku dapat merasakan situasi tegang yang sedang terjadi disini, tapi aku tidak tahu apa. Sementara Kapten Iskandar tak henti menghisap rokoknya dengan begitu dalam lalu dihembuskan dengan cepat. Dan begitu seterusnya. Seolah-olah ia hendak menghabiskan rokok itu secepat mungkin.

Setibanya di tenda Kolonel, Kapten Iskandar membuang puntung rokok yang masih setengah panjangnya lalu kami meminta izin masuk kepada seorang pengawal di depan.

Tapi sebelum kami masuk kapten mengatakan kepadaku.

"Kami memilihmu dari kesatuan kami, karena kami percaya, kau pasti bisa," mendengar itu aku menjadi sangat tegang tapi juga belum bisa mengetahui apa sebenarnya yang akan terjadi.

Setibanya dalam tenda Kolonel Arifin, ia menyuruhku mendekat ke mejanya dan ia memberikan selembar amplop tertutup. Aku pun mendekat ke depan meja Kolonel, sementara Kapten Iskandar tetap berdiri dibelakangku.

"Ini adalah sebuah pesan yang sangat penting dan rahasia. Sampaikan pesan ini kepada Kapten Anwarsani di Purwakarta. Untuk menemuinya, Bung Surya harus pergi ke sebuah tempat bernama lembah harimau," ujar Kolonel dengan suara yang datar.

Saat itu aku hanya bisa terdiam tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa tidak komunikasi melalui radio saja. Pesan apa yang harus diantarkan dengan cara semacam ini, padahal jaraknya jelas sangat jauh.

"Para pengkhianat yang menjadi mata-mata Inggris sudah menyebar. Ada yang jadi tukang bakso, tukang es, atau mungkin juga berseragam seperti Bung. Kita tidak bisa membedakan siapa mereka dan dimana akan bertemu. Untuk itu saya ingatkan, bahwa ketika Bung mulai pergi dari sini, hidup Bung sudah berada diluar pengawasan kami. Dan kami tidak tahu hambatan apa yang akan Bung temui di jalan. Saya hanya ingin Bung tahu. Inggris tidak akan membiarkan pesan itu terkirim begitu saja."

Selamat Tinggal TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang