Pulang

3 2 0
                                    

Purwakarta, 27 April 1946

Pukul 04:30


Udara segar menyerbu masuk ke kamarku usai kubuka jendela kayu itu meski hari masih gelap. Tapi kini, aku berada pada kamar yang berbeda. Bukan lagi kamar tamu seperti tujuh hari yang lalu.

Tanpa terasa sudah seminggu aku disini. Diluar prediksi. Segalanya berlangsung begitu cepat. Setelah pernikahan kami tanggal 20 April lalu, aku resmi pindah ke kamar Purbasari. Di atas tempat tidur wanita cantik itu masih berbalut kain sarung dan menggeliat.

Hari telah pagi, kasihku. Tapi aku tak tega membangunkanmu.

Kuhampiri dia yang mencoba tidur lagi. Dan kubelai rambutnya dengan penuh perasaan. Aku ingin terus disini, bersamamu hingga mati. Jauh dari segala manusia, hanya kita berdua di sebuah desa. Biarlah aku hanya jadi petani dan kau juga hanya menjadi sebatas istri. Mengubur segala macam mimpi hanya untuk bersama yang tercinta. Tapi maukah kau melakukannya?

Bukankah kau menerimaku karena aku seorang tentara? Seorang pejuang yang telah terbukti rela mati demi negara. Dan aku juga menikahimu karena kau bukanlah wanita biasa. Tapi aku telah mencintaimu. Lalu dengan cinta ini, aku tak lagi mengenal alasan dan syarat. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintaimu.

Karena belaian jemariku, kau pun terbangun. Kau awali pagi ini dengan satu senyuman indah kepadaku, suamimu.

Suami? Aku masih tak percaya sudah bisa menggunakan istilah itu sekarang ini.

Kau mendekat dan mendekap. Kau mengajakku ke dalam pelukanmu dan berbaring lagi. Aku pun ingin berbaring di ranjang seharian, hanya bersamamu. Tapi jangan. Aku sudah ditegur oleh Pak Kyai, karena tidak shalat shubuh berjama'ah tiga hari setelah menikah.

Aku tak mau mempermalukan bapakmu. Lebih lagi, aku tak mau Allah menganggapku tidak bersyukur setelah diberikan istri sepertimu. Aku ingin cinta ini menjadi alasan terbesarku untuk bersyukur kepadaNya selama-lamanya.

Lagipula, kita sudah berencana untuk ke Karawang hari ini. Kita jelas harus bangun dari pagi dan mempersiapkan segalanya. Kita tidak bisa lagi di atas ranjang seharian, seperti kemarin-kemarin. Hari-hari yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

"Ayo bangun, sayang."

Kau mendekapku semakin rapat. Aku pun mendekapmu semakin erat.

Kubisikkan ditelingamu, "Sebentar lagi adzan."

Kau pun membuka matamu, mencoba tersadar. Lalu mendaratkan satu kecupan di bibirku.

"Ayo bangun," ajakku lagi.

Dan kita pun bangun. Aku harus menggendongmu, yang masih menggelayut manja, seperti pagi-pagi sebelumnya ke kamar mandi. Dan kau pejamkan matamu lagi dalam gendonganku. Seperti inilah rutinitas kami dipagi hari. Rutinitas yang beberapa hari sebelumnya membuatku terlambat shalat di masjid.

Pukul enam kita sudah di pendopo, namun kali ini berbeda. Kami tak minum teh dan tak mengobrol sebagai sebuah keluarga lagi. Kami semua sibuk. Bapak dan ibu turut membantu mempersiapkan perbekalan kami.

Pakaian memang tak seberapa yang kami bawa. Hanya dua tas milikmu. Sementara aku tidak bawa pakaian sama sekali. Hanya seragam ini kembali yang kukenakan, dan ku kembalikan semua pakaian yang bapak pinjamkan kepadaku selama ini. Yang paling banyak justru makanan dan oleh-oleh yang secara gigih direncanakan oleh bapak dan ibu, karena ingin membahagiakan besan.

Aku merasa sangat malu. Karena aku tak bisa memberikan apapun kepada keluarga ini. Bapak, ibu, dan Purbasari benar-benar manusia yang sangat dermawan. Kedermawanan yang telah terbukti sejak pertama kali aku bertemu. Dan semua itu kalian lakukan tanpa pamrih. Aku berjanji akan sebisa mungkin membalas semua kebaikan ini dengan membahagiakan Purbasari. Karena kebahagiaannya adalah kebahagiaan aku juga.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now