Akhirnya kami tiba di pendopo dan disana sudah ada Pak Lurah dan istrinya. Purbasari pun duduk lebih dulu di atas tikar yang sudah diisi mereka berdua. Lalu aku duduk disisi Purbasari. Kami sudah seperti keluarga. Begitulah pikiranku menghibur diri.

"Nyenyak tidurnya Jang?" Pak Lurah bertanya lebih dulu dan segera mencairkan segala kekakuan.

Dan dalam beberapa saat, kami sudah membicarakan banyak hal terkait desa hingga masa kecil Purbasari.

Cerita-cerita Pak Lurah tentang masa kecil Purbasari tak henti membuat Purbasari memerah wajahnya dan menunduk menahan malu. Semakin gemas dan geregetan pula aku dibuatnya. Hingga ketika matahari kian meninggi, dan cahaya kekuningan mulai masuk menyinari sebagian lantai pendopo, Purbasari pun bangkit.

"Ayo kita keliling desa," ajaknya tiba-tiba. Dan tentu saja aku mau dan gembira.

Aku pun turut bangkit dan kami berjalan bersama keluar dari pendopo itu. Purbasari mengambil jalan lurus dan sekaligus jalan utama desa. Di kedua sisi jalan itu, rumah-rumah berhadapan dengan rapi. Pagar bambu menghiasi sebagiannya, ayam dan anak-anaknya sudah berkeliaran mencari makan. Pada beberapa rumah ada juga kandang kambing yang muat untuk menyimpan lima sampai enam kambing satu kandang. Kambing-kambing itu mengembik meminta makan. Tempat makan mereka telah kosong dari rumput.

"Desamu jauh lebih baik dari desaku, Sari," kukatakan padanya dengan jujur.

"Tapi desamu pasti tetap lebih baik dihatimu kan? Tempat segala masa kecil kau alami."

Aku mengangguk dan mengingat beberapa memori tentang desaku. Dan entah kenapa baru kali ini aku berhasil mengingat Eha lagi. Sudah lama sekali rasanya tak mengingatnya. Sejak aku hampir desersi lalu terjadi perkelahian itu. Lantas setelahnya aku bertekad untuk membuang segala tentangnya. Tanpa terasa sekarang justru Purbasari yang sudah mengisi hati ini dan perang telah tenang. Momen dimana aku sudah bebas merasakan romantisme cinta. Tapi sekarang bukan lagi tentang Eha.

Tak terbayang dan tak kukenal lagi seperti apa perasaanku kepada Eha dahulu. Hingga aku hampir saja pulang dan mengabaikan tugas. Otakku tak bisa mengingat rasa. Apalagi setelah demikian banyak hal terjadi. Peristiwa-peristiwa yang membuat waktu terasa menjadi sudah begitu lama. Termasuk luka tembak dan perawatannya.

Yang kutahu dan kuingat hanyalah, Eha tak lebih seperti sahabat yang kusayang dan kasihi, sebagai dua orang manusia yang kenal dan dekat sejak kecil. Tapi aku tak pernah merasakan rasa seperti yang kurasakan bersama Purbasari sekarang. Ketika aku sudah cukup dewasa untuk kenal dan bermain cinta.

"Bagaimana teman-temanmu disini?" tanyaku, masih menyambung pikiranku dengan masa lalu sendiri.

"Tentu banyak dan baik-baik. Perempuan atau laki-laki semua ada yang menjadi temanku. Tapi hanya teman ketika kecil. Seperti yang pernah kuceritakan, ketika MULO aku di Bandung. Dan hampir semua temanku yang sekolah disana bergabung dalam barisan pejuang."

"Apakah disini juga ada pemuda yang bergabung?"

"Aku tak tahu persis. Mungkin ada satu atau dua orang. Atau justru tidak ada sama sekali."

"Adakah teman-temanmu yang masih kau ingat?"

"Ada. Masih cukup banyak yang bisa kuingat. Tapi antara aku dan mereka, seperti ada jurang pemisah dalam bentuk ilmu dan pengalaman. Pola pikir kami sudah berbeda, cara bercanda berbeda, dan kami pun membicarakan hal yang berbeda. Selama disini sebelum peristiwa Bandung itu, aku dilarang pergi kemana-mana karena bapak takut aku kabur."

"Purbasari!" seorang wanita yang menggendong seorang anak memanggil Purbasari dari sebuah rumah yang hampir kami lewati.

"Inggit!" Purbasari balas menyebut namanya.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now