Melati yang Pemberani

Start from the beginning
                                    

"Siap Pak," aku ambil surat perintah itu dan segera undur diri.

Keluar dari bangunan itu kami diikuti oleh ajudan yang tadi dan sekali lagi, demi kelancaran misi kami dibekali sebuah jeep militer. Kami pun merasa lega karena tidak ada lagi keletihan seperti sebelumnya dan kami pun segera meluncur ke jalanan. Meski kami juga tahu bahwa jeep ini akan menjadi sasaran empuk dan prioritas bagi pesawat-pesawat Inggris yang berkeliaran di atas kami. Karena mereka akan mengira bahwa kendaraan semacam ini pasti dibawa oleh para pengirim pesan atau perwira. Jika mereka bisa membunuh pengirim pesan dan perwira, itu sangat menguntungkan mereka.

Dari Purwakarta kami berangkat pukul setengah empat pagi dan jam lima kami sudah memasuki Plered kembali. Disini kami akan bertemu dengan Kapten yang pernah memberi kami petunjuk menuju Purwakarta. Tapi yang mengejutkan adalah shubuh itu, kami tak melihat seorang pejuang pun di markas yang kemarin kami masuki. Yang kami lihat hanyalah bangunan yang rusak total dan mayat bergelimpangan di sekitarnya.

Jika mereka masih hidup mereka pasti sudah memindahkan lokasi markas pusatnya. Tapi sekarang apa lagi yang diharapkan dari luka-luka ini? Apakah Inggris sudah berhasil menerobos garis depan dan menghancurkan garis belakang kami secara bersamaan? Pesawat-pesawat yang terbang bebas itu pasti menjadi andalannya. Para pejuang itu kini pasti tercecer di kota atau hutan sekitar sini. Kalau begitu bagaimana caraku mengumpulkannya? Aku hanya seorang Kopral dan belum tentu mereka percaya dengan selembar kertas ini.

Sekarang aku harus mencari Kapten yang namanya saja sudah kulupa. Dan tanpa tahu dimana lokasinya.

"Jika aku menjadi mereka, aku akan bersembunyi ke hutan dan melanjutkan perjuangan. Tapi hutan mana aku tidak tahu. Jika komando masih ada dan perjuangan terus berlanjut, pasti dari posisi markas pusat itu ada prajurit yang berlalu lalang mengantar pesan atau tugas. Kita mungkin harus keliling kota ini untuk menemukan sisa-sisa prajurit dan bertanya," ide Endang ini segera kami praktikkan.

Dengan jeep itu kami segera keliling kota di shubuh hari yang masih begitu sepi. Lampu-lampu tetap dimatikan sejak semalam untuk menghindari pengeboman. Hanya adzan shubuh yang terdengar sayup-sayup dikejauhan.

"Itu dia. Paling cepat jika kita tanya muadzin itu. Siapa tahu juga banyak orang di masjid," kataku.

Asep pun segera memutar balik mobil dan langsung menuju masjid. Di masjid tampak beberapa orang telah berdatangan untuk shalat shubuh ketika kami tiba.

Kami parkir mobil di pelataran masjid itu. Para jama'ah masjid segera berjajar keluar melihat kedatangan kami yang mungkin sangat aneh bagi mereka. Kami pun turun dari mobil dengan sedikit kikuk karena diperhatikan begitu banyak orang.

Awalnya raut wajah mereka tak jelas karena hanya diterangi obor yang sebentar lagi padam. Tapi ketika kami mendekat, semuanya tampak jelas. Mereka semua orangtua. Mungkin umurnya enam puluh tahun ke atas. Tak adakah pemuda disini?

Kami segera pergi ke tempat wudhu tanpa melayani tatapan mereka semua. Dan kami pun shalat shubuh bersama mereka hingga selesai. Tanpa sepatah katapun keluar dari kami atau mereka. Hanya tatapan-tatapan penuh tanya yang tidak ada ketajaman sama sekali. Aku seperti bisa menjabarkan banyak rasa dari mata-mata itu. Masyarakat sepertinya sudah setengah putus asa. Mungkin mereka menyaksikan ketika TRI kewalahan menghadapi pesawat-pesawat Inggris kemarin. Mungkin juga mereka menyaksikan dengan terseok-seok TRI melanjutkan sisa-sisa perjuangan ke Padalarang.

Lima belas menit berlalu, shalat itu selesai. Usai membaca do'a dan dzikir, aku memberanikan diri bertanya kepada salah seorang di antara mereka.

"Kemana perginya pasukan yang kemarin bertahan disini?" tanyaku kepada seorang jamaah yang sudah sangat tua, dan karenanya tidak ikut ambil bagian dalam pertempuran ini.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now