Genangan Darah & Air Mata

Start from the beginning
                                    

"Apa?" tanya Darman lesu. Telah menguap setiap gairah dalam dirinya.

"Masa depan," jawab Endang. "Aku khawatir segala pengorbanan kita ini semuanya sia-sia."

Tak kusangka pikiran Endang lebih liar. Tak sepatutnya dia memikirkan itu. Seharusnya jika ia meragukan kesuksesan masa depan negeri ini, semestinya ia tidak usah ikut berjuang.

"Tidak ada yang sia-sia Ndang," balasku memastikan.

"Tidak sia-sia jika ternyata yang menang adalah Inggris? Aku bergabung karena aku yakin kita akan menang melawan Belanda. Tapi bukan sekutu!" Endang mengungkapkan kekhawatirannya. "Aku bergabung karena bersama Jepang kita akan mampu menghadapi sekutu bersama-sama. Tapi kalau akhirnya seperti ini," Endang mengangkat kedua tangannya seolah menyerah dan pasrah.

"Tidak akan sia-sia. Dan kita tetap akan menang melawan sekutu. Itu semua berangkat dari diri kita sekarang ini. Apakah kita berjuang dengan sungguh-sungguh atau tidak. Lihatlah para penduduk itu, apalagi yang belum mereka korbankan? Rumah, ternak, harta benda, bahkan hingga ke dalam pikiran mereka, hingga kenangan dan harapan pun mereka korbankan," tegasku.

"Kau tidak tahu berapa jumlah perbandingan korban tewas saat pertempuran di Surabaya? Dan sekarang kita justru yang akan berencana menyerang Bandung. Menyerang lebih memakan korban daripada bertahan. Biasanya begitu. Apalagi menyerang ke arah kota artinya tidak bisa bergerilya. Disana Inggris punya segalanya. Bantuan udara, artileri, senjata yang lebih lengkap, amunisi yang lebih banyak. Bahkan tank dan berbagai jenis kendaraan lapis baja pun mereka punya. Kita? Punya cukup peluru saja sudah syukur," gerutu Endang terus.

Aku tak tahu jika tekanan mental yang terjadi akibat pengejaran barusan bisa sedalam ini. Kita semua memang nyaris mati, tapi perjuangankan tidak hanya bertumpu pada kita semata. Kematian kita mungkin berefek kecil, tapi kita tetap punya andil. Di belahan dunia lain, ada orang-orang yang dengan tugasnya akan tetap mampu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tapi apakah bagi mereka, bagi setiap orang, kematian akan terasa mudah? Buatku sendiri bagaimana?

"Aku tahu. Dan kita tetap akan menang. Mereka tidak akan bertahan lama terisolasi di tengah-tengah pegunungan seperti ini. Bantuan yang mereka miliki hanya angkatan udara. Laut tidak bisa. Dan jika harus ada bantuan darat dari Jakarta, perjalanan panjang yang harus ditempuh melalui Bogor dan Cianjur pasti akan membuat mereka berdarah-darah. Kita dengan mudah bisa menjebak aliran bantuan itu."

"Aku khawatir pada akhirnya Amerika pun akan ikut turun tangan," ujar Endang, seperti tak mau kalah. Aku tidak mau diskusi ini semakin membuat jatuh kepercayaan diri kami semua. Bagiku, untuk apa tiba-tiba melibatkan Amerika.

Aku ingat dalam pelatihan kami di daerah Karawang, tak jauh dari kampungku. Kami dibawa kesana dengan truk-truk. Lalu disana, selain mendapatkan pelatihan fisik, kami juga diberikan banyak wawasan seputar dunia militer dan doktrin-doktrin penting dalam berjuang untuk negeri ini. Dan yang membuatku mencolok adalah karena keyakinanku yang luar biasa besar terhadap kemerdekaan negeri ini. Bagiku, negeri ini pasti merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Itu sudah seperti suratan. Dan apa yang terjadi belakangan ini, mulai dari proklamasi, hingga ke pertempuran-pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan, adalah bunga-bunga yang muncul di atas padang rumput kepastian. Memperkaya bukti-bukti dan aku menjadi semakin yakin. Keyakinanku berada di atas logika. Ini seperti iman.

"Kita berjuang bukan untuk diri kita semata. Bahkan bukan untuk orangtua kita, atau anak-anak kita. Perjuangan kita, ditujukan lebih dari sekedar kepentingan pribadi. Melainkan, kepentingan seluruh manusia di negeri ini. Sekalipun itu berarti, kita tak akan lekas bisa melihatnya secara langsung," ucapan seorang pendidik ketika aku masih dalam masa pendidikan di gunung Sanggabuana, Karawang.

Selamat Tinggal TerakhirWhere stories live. Discover now