Baik nyokap maupun bokap, mereka punya arti yang sama untuk gue. Mereka sama berharganya. Rasanya sama-sama menyakitkan jika harus kehilangan mereka.

Begitu tau kalau mereka pada akhirnya memutuskan untuk berpisah, gue mencoba untuk mengerti dan nggak egois-sekalipun sejujurnya gue pengen banget buat egois saat itu. Gue mencoba mengerti kalau nyokap layak menemukan kebahagiaannya yang baru karena bokap gue gagal memberikan itu untuknya. Gue mencoba untuk mengerti baik nyokap maupun bokap gue, mereka hanya akan saling menyakiti jika memaksa untuk terus bersama.

Bokap dengan rasa bersalahnya, dan nyokap dengan rasa nyamannya yang telah pudar.

Saat kepergian ayah, gue benar-benar hancur. Dunia gue seolah runtuh. Gue pikir meski gue nggak bisa sering-sering bertemu dengannya lagi karena keadaan yang udah berubah, gue tetap masih bisa melihatnya lebih lama lagi.

Ayah menghabiskan sisa umurnya di rumah sakit jiwa seorang diri. Setiap kali mengunjunginya gue harus menahan buncahan emosi di dada gue karena saat itu dia nggak bisa lagi mengingat gue maupun adik gue. Setiap kali mengunjungi ayah, gue selalu ingin marah-marah pada dunia, memaki keadaan, menyalahkan takdir. Bertanya-tanya kenapa alur hidup gue harus sekacau ini?

Gue udah mengikhlaskan kepergiannya, tapi itu nggak membuat gue berhenti merindukannya.

Gue melirik jarum jam sekilas, udah mau jam lima sore dan gue ada janji makan malam sama keluarganya Elang hari ini karena mau merayakan anniversary pernikahan mereka yang ke-30. Gue bangkit dari duduk gue, kemudian melangkah mendekati lemari pakaian. Butuh waktu sekitar lima menit lamanya untuk gue berdiri di depan lemari, memilih apa yang cocok untuk gue kenakan hari ini.

Pilihan gue akhirnya jatuh pada dress putih bermotif floral selutut tanpa lengan. Dress punya nyokap gue yang sejak bertahun-tahun silam dipindahtangankan menjadi milik gue.

"Keluar, gue mau ganti baju," kata gue pada Sion yang masih duduk di atas kasur gue tanpa bersuara.

"Kak," panggilnya dengan suara parau.

"Apa?"

Dia terlihat sedang menimang-nimang isi pikirannya. Keraguan itu terpancar jelas dari sorot matanya. Gue dan Sion terlampau mirip dari segala hal. Kata orang, dalam sekali lihat pun mereka bakal sadar kalau kami adalah adik-kakak. Yang berbeda cuma Sion lebih berani untuk mengungkapkan isi kepalanya dan berkata tidak terhadap sesuatu yang emang nggak pengen dia lakuin. Beda sama gue yang apa-apa memikirkan perasaan orang lain dulu.

Namun, kali ini dia kelihatan kesulitan buat mengungkapkan isi kepalanya itu.

"Kalau lo nikah, apartemen ini bakal lo jual, nggak?"

Gue terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhinya tawa gue pecah mendengar pertanyaannya itu.

"Siapa yang mau nikah, gila? Kerja aja baru setahun gue. Masih banyak yang mau gue kejar. Dan kalaupun gue nikah, gue nggak bakal jual apartemen ini lah. Ini punya Ayah, satu-satunya peninggalan Ayah."

Gue nggak paham kenapa bisa dia tiba-tiba mikir sampai ke sana. Walaupun gue udah berumah tangga nanti-entah sama siapapun itu-apartemen ini nggak akan pernah gue sewakan pada orang lain, apalagi gue jual. Di sinilah gue bertumbuh. Tempat ini yang menjadi saksi bisu tangisan gue tiap malam saat gue merasa dunia lagi jahat-jahatnya. Di sinilah gue merasa kalau ayah masih ada di dekat gue.

Long Way HomeМесто, где живут истории. Откройте их для себя