27. Haruskah?

2.6K 203 1
                                    

Bismillah

Koreksi typo

Selamat membaca

***

Jihan dan Zarra sudah berada di taman, di sana tidak terdapat banyak orang. Taman ini mengingatkan Jihan kembali pada pertemuannya dengan Adzan, Jihan tersenyum tipis mengingatnya.

"Bagaimana kabar ibu?" tanya Jihan setelah melihat Zarra sudah sedikit tenang.

Zarra menatap menantunya dalam, senyuman yang sama seperti dulu. Senyuman yang bisa membuat siapa yang melihatnya merasa tenang.

"Kabar ibu baik nak, kamu sendiri apa kabar?" tanya Zarra balik.

"Alhamdulillah baik bu." jawab Jihan meraih tangan Zarra untuk di genggamnya.

"Maaf bu." ucap Jihan kemudian.

Zarra menggeleng pelan. "Kamu gak salah apa-apa buat apa minta maaf." kata Zarra.

"Ibu nggak marah?"

Kembali gelengan yang di dapati Jihan.

"Kalau ibu ada di posisi kamu, ibu juga akan melakukan hal sama nak. Tidak ada wanita yang sanggup melihat suaminya bersama wanita lain menjadi salah satu di antara mereka."

"Dimas beruntung memiliki kamu, nak. Anak ibu beruntung memperistrikan kamu." lanjut Zarra. Lalu tatapan Zarra jatuh pada perut besar Jihan.

Zarra menatap wajah Jihan dengan berbinar lalu kembali turun ke perut Jihan. Tangan Zarra terulur menyentuh perut menantunya menggerakkan tangannya pelan.

"Assalamu'alaikum, nenek." sapa Jihan menirukan suara anak kecil membuat Zarra tersenyum.

"Wa'alaikumussalam, cucuku." balas Zarra di akhiri dengan kekehan. Dan selanjutnya Jihan dan Zarra sama-sama tertawa pelan.

Zarra meraih tangan Jihan untuk digenggam. Lama ia menatap menantunya yang selama ini menghilang entah kemana. Zarra sudah meminta suaminya untuk mengirimkan orang untuk mencari keberadaan Jihan tetapi semuanya kembali dengan tangan kosong.

"Pulang lah nak."

Jihan merundukkan kepalanya mendengar perkataan Zarra. Dia ingin pulang tetapi dia belum cukup mengumpulkan keberanian untuk menatap Dimas.

"Dimas membutuhkan kamu nak, dia merindukan istri dan anaknya."

"A-aku—,"

"Dimas sangat kacau nak. Dia bisa gila kalau kamu benar-benar meninggalkannya. Kamu tahu? Setiap malam Dimas selalu terbangun karena memimpikanmu, hanya namamu yang selalu di sebut."

Zarra menyentuh pelupuk matanya yang kembali berair mengingat keadaan putranya yang saat ini tidak baik-baik saja sejak Jihan pergi.

"Dimas tidak pernah makan dengan benar, tubuhnya sudah kurus dan tidak terawat. Apakah kamu tidak ingin mengomelinya Jihan?" lanjut Zarra yang menampilkan ekspresi kesal yang berhasil membuat Jihan tertawa pelan.

"Apa sebegitu buruknya, bu?" tanya Jihan kemudian. Dia merasa sangat bersalah kini. Awalnya Jihan pikir meninggalkan Dimas yang akan memulai kehidupan baru bersama Clara adalah yang terbaik namun ternyata semua perkiraannya salah. Nyatanya Dimas tidak berbahagia atas keputusannya.

Zarra mengangguk cepat akan pertanyaan Jihan. "Dia bahkan tidak akan mandi kalau ibu tidak menyuruh Sadewa untuk menyeretnya ke kamar mandi. Anak itu benar-benar tidak bisa mengurus dirinya sendiri." imbuh Zarra dengan intonasi yang melembut di akhir kalimatnya. Menatap Jihan penuh pengharapan.

PULANG [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang