Part 36

312 18 2
                                    

Life is a roller coaster. Pepatah itu benar adanya dan itu yang dialami oleh Mario saat ini. Malam tadi dia sangat senang bisa makan malam berdua dengan Dea, walupun Bara dan Brian seringkali mengusilinya, tapi tak mengapa. Bisa berdua dengan Dea malam ini, menikmati hembusan angin malam dan makan malam yang sangat sederhana, sudah membuat Mario terus menerus menyunggingkan senyumnya.

Namun, paginya perasaan Mario langsung berantakan. Seusai makan pagi bersama, Dea mengatakan ingin ikut kedua orang tuanya pulang ke Bandung. Mario tahu, saat ini akan tiba juga. Dia tidak boleh egois dengan melarang Dea pulang bersama orang tuanya. Bagaimanapun, Mario dan Dea tidak mempunyai ikatan hukum apapun.

"De, jaga diri ya di sana. Abang bakalan kangen banget sama kamu De." Mario berusaha setegar mungkin saat Dea berpamitan untuk kembali ke Bandung.

"Dea juga bang. Dea juga bakalan kangen banget...." Belum selesai Dea berucap, Mario langsung memotonya dan berkata.

"Nanti kalo abang sering telpon gak masalah ya? Kamu juga, sering telpon sama abang ya kalau kangen"

"Dea kangennya tuh sama Ronald, bang. Onal lucu banget. Dea jadi ketularan hobinya abang yang suka cubitin pipi gembulnya Onal. Pokoknya Onal itu ngegemesin dan bikin kangen" Momen romantis yang coba dibangun oleh Mario mendadak langsung hilang karena ucapan polos dari Dea baru saja. Sementara yang lain, hanya bisa menahan untuk tidak tertawa. Wajah Mario langsung pias mendengar ucapan Dea. Ternyata Ronald bernilai lebih dibandingnkan dengannya. Bolehkah kalau sekarang ini dia cemburu pada adiknya sendiri yang bahkan masih berumur kurang dari sebulan.

"Jadi, kamu gak kangen gitu ama abang?" Mario bertanya dengan wajah yang cemberut. Dea tersenyum mendengar kecemburuan Mario yang tersirat tersebut.

"Dea gak bakal kangen abang. Soalnya, Dea yakin kok kalau abang ntar pasti sering ke Bandung buat ketemu sama Dea" Tidak tahu dari mana keberanian Dea mengungkapkan hal tersebut. Mario hanya tersenyum mendengar hal itu.

"Ah, percuma aja De abang jauh-jauh ke Bandung. Buat apa? Kamu juga belum jawab permintaan abang kan?" Dea memang belum mengatakan kepada Mario bahwa dia sudah menerima Mario dan semua keluarganya menyetujuinya. Restu dari Dewa dan Anissa juga sudah didapat Dea. Penerimaan yang hangat dari Bara, Lina, Brian dan Mentari juga sudah. Satu hal yang belum, Dea masih terlalu malu untuk bilang "iya" secara langsung pada Mario.

"Sebelum kamu datang kemarin, kami sudah berbicara banyak. Dea juga sudah mengungkapkan perasaanya ke kamu." Mario bingung, karena tiba-tiba Bara ikut nimbrung.

"Maksudnya gimana? Kok Iyok jadi bingung? Iyok gak paham" Bara tersenyum. Benar, jika sudah berurusan dengan Dea, kapasitas otak Mario langsung drop.

"Hm, gini, daddy jelasin ya, waktu itu kan Dea bilangnya belum bisa nerima kamu kalau tidak ada restu dari kedua orang tuanya kan. Nah, kemarin itu sebelum kamu dateng, kita udah banyak ngobrol soal ini." Bara lalu membuka apa yang sudah terjadi sebelum Mario datang kemarin malam.

"Jadi, simpulannya apa?" Mario sepertinya sudah tidak sabar mendengarnya.

"Kamu sabar ya, kamu juga sudah berjanji kan kalau kamu akan menerima apapun yang diputuskan oleh Dea" Brian sekarang menambah kebingungan dan penasaran dari Mario.

"Sebenarnya tadi, secara tersirat, Dea juga udah menjawab apa yang menjadi rasa penasaran kamu selama ini. Coba deh, inget lagi Dea tadi ada ngomong apa sama kamu?" Mario mengernyitkan keningnya mencoba mengingat-ingat apa yang sudah Dea katakan padanya. Mata mario membelalak lalu berkata

"De, tadi kan kamu bilangnya kamu gak kangen sama abang, tapi kangennya sama Onal. Itu berati kamu nolak abang ya De?" Mario langsung lesu. Tatapan matanya berubah sayu. Suaranya melemas.

"Gak apa-apa De, sesuai janji abang, abang akan menghargai apapun keputusan kamu soal kita. Gak apa-apa De." Mata Mario memerah mengatakan itu semuanya. Luruh sudah harapannya selama ini. Jika memang Dea tidak menerimanya, mengapa harus dia menahannya selama ini?

"De, kamu kemarin waktu makan malam, masakin apaan buat Iyok? Kenapa jadi lemot gini dah?" Bara bertanya dengan sedikit sarkas ke Dea.

"Iyok, abis itu trus Dea ngomong apa lagi?" Bara sudah gemas dengan Mario yang masih saja belum menangkap apa yang terjadi. '

"Dea tadi bilang kalau Dea gak bakalan kangen, soalnya Iyok bakalan sering ke Bandung buat ketemuan sama Dea" Jawab Mario lugas. Dia tampak kembali berpikir keras.

"Sekarang, daddy nanya deh sama kamu, kira-kira kalau ada anak gadis trus dia memperbolehkan seorang lelaki untuk datang bertamu sesering yang dia mau, itu artinya apa?" Bara mencoba menggiring pikiran Mario.

"Artinya, bentar... bentar... De, kamu terima abang? Gitu?" Tanya Mario langsung kepada Dea, yang hanya dijawab Dea dengan anggukan dan pipi yang merah merona menahan malu.

"AAAHHAAAAYYY... Yuuuhhhuuuiiii..." Mario malah menari-nari tidak jelas sesaat setelah Dea menganggukkan kepalanya. Tingkahnya persis seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen. Dia langsung menghambur ingin memeluk Dea, tapi belum sampai itu terjadi, Brian langsung menarik Mario.

"Pengen ayah kasih jeweran lagi? Hah? Udah dibilang tunggu dulu ntar kalau sah beneran baru boleh. Ancaman ayah waktu itu masih berlaku. Gak ada pengecualian." Mario langsung kembali mengkerut mendengar ancaman dari Brian. Dia lalu memasang wajah cengengesan kepada ayahnya.

"Maaf yah.. Lapas kontrol.. Hehe.. " Mentari dan Lina yang dari tadi memilih hanya memilih diam hanya bisa tertawa melihat tingkah laku anak mereka. Dewa, Anissa dan Devon juga hanya bisa tertawa ringan.

"Bentaran, kan kemarin Dea bilang, mau terima Iyok kalau udah dapet restu, trus tadi Dea udah terima Iyok, berarti Iyok dah dapat restu dong?" Mario lalu mengalihkan pandangannya ke Dewa dan Anissa. Pandangan yang menyiratkan tanya tersebut dijawab dengan anggukan oleh Dewa dan Anissa.

"Terima kasih papa, mama... Hehehe.. Makasih udah mempercayakan Dea ke Iyok. Iyok janji akan berbuat yang terbaik buat Dea. Makasih pa, ma" Bahkan Iyok langsung mengubah panggilannya kepada Dewa dan Anissa.

"Papa udah lihat sendiri dan harusnya papa yang bilang terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkan anak kami." Jawab Dewa. Sekarangpun, Dewa sudah membahasakan dirinya dengan papa untuk Mario.

"Udah, kan kalau gini jadinya kita itu keluarga. Jadi ya mulai sekarang gak perlu sungkan atau gimana lagi." Bara dengan bijak menanggapi perkataan dari Dewa.

Hati Mario saat ini berasa seperti gado-gado. Campur aduk menjadi satu. Senang, pasti karena Dea sudah menjawab penyataan cinta darinya. Tapi juga sedih dalam waktu yang bersamaan karena harus berpisah dengan Dea. Mario hanya bisa berharap bahwa dia bisa sesegera mungkin untuk bisa menikah dengan Dea, karena dengan itu dia bisa memiliki seutuhnya Dea. Tapi, tampaknya untuk ke arah sana dia masih harus bersabar sedikit lagi. Masih banyak hal yang harus dia selesaikan sebelum benar-benar bisa menikah dengan Dea.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Where stories live. Discover now