Part 5

632 33 0
                                    

Minggu sore ini Mario sudah berada di rumah Tian. Dia ingin meminta bantuan Tian untuk melacak identitas Ningsih. Mario tidak perlu meragukan kemampuan Tian dalam perkara IT. Sekarang, Mario tengah duduk santai sambil selonjoran di ruang tengah rumah Tian.

"Gue kirim ke lo copy rekaman CCTV rumah sama apart. Kalo yang jelas sih di apart. CCTV di apart memang lebih tinggi piksel-nya dibanding di rumah. Ada active movement sensor juga." Ujar Mario setelah dia menjelaskan tujuan kedatangannya ke rumah Tian. Saat ini hanya dia dan Tian saja yang ada di rumah. Feinya masih belum kembali dari rumah sakit.

"Oke bang, nanti coba Tian cari infonya. Ada info lainnya gak bang? Akun medsos, nomer ponsel, atau aktivitas yang sering dilakukan mungkin?" Tian mencoba mencari tahu tentang Ningsih dari sudut pandang Mario.

"Gue gak punya clue sama sekali. Daddy sama mommy juga gitu. Main terima aja orang asing di rumah. Jadinya kan ribet gini kan. Coba kalo ternyata ntar dia orang yang gak bener gimana?" Mario berujar. Saat Mario dan Tian tengah berbincang, Feinya datang dari dinasnya di rumah sakit. Saat didapatinya suami dan kakaknya tengah berbincang santai, Feinya langsung bergabung tanpa ragu. Dia lalu mengambil tempat duduk di samping Tian.

"Fei, sini deh liat. Bang Iyok ternyata punya inceran. Udah dibawa ke apart bang Iyok juga" Tian lalu memberikan ponselnya ke Feinya. Ponsel Tian yang sekarang dipegang Feinya menampilkan rekaman dimana Ningsih sedang membersihkan apartemen Mario. Feinya tentu saja terkejut dengan tampilan di ponsel itu. Diliriknya Mario, yang saat itu justru melihat ke Tian dengan tatapan jengah.

"Bentar. Kalau gini, ayah sama bunda harus tahu kalau bang Iyok udah punya inceran" Feinya lalu berdiri dan setengah setengah berlari dia keluar rumah sambil membawa ponsel Tian.

"Fei... Kamu mau kemana?" Tian sedikit bingung melihat Feinya yang tiba-tiba berdiri.

"Tuh mobil ayah di depan. Lagi lihat progres pembangunan rumah ayah yang baru. Bentar ya kak, keburu ayah pergi nanti" Feinya lalu bergegas keluar rumah. Sebelum dia tadi masuk rumah memang melihat mobil Brian di sana. Melihat tingkah adik dan iparnya yang absurd itu, Mario hanya bisa menghela napas. Mau mencegah juga rasanya akan percuma saja. Pasti nanti salah paham kalau yang jelasin semuanya Feinya atau Tian. Tidak seberapa lama, Feinya masuk kembali ke dalam rumah dan di belakangnya Brian mengikuti. Wajahnya tersenyum lebar.

"Waahh... Ternyata anaknya ayah udah punya inceran ya... Kenapa gak dibawa ke rumah, kenalin lah sama ayah bunda juga" Brian langsung menembak Mario. Gelagapan Mario mau menjawab Brian. Saat hendak membuka mulutnya untuk berbicara, Brian malah langsung menyelanya

"Ayah seneng banget tadi begitu tahu kalau inceran kamu itu cewek. Jujur lho, kalau ayah pernah kepikiran kamu sama sekretarismu itu ada hubungan khusus" Ucapan Brian langsung membuat wajah Mario mencelos.

"Yah... Iyok masih normal... Masih suka sama cewek, yah.. Masak iya sih Iyok suka sama Richard." Mario bersungut sebal. Mario dan Richard memang seakan tidak ada batasan. Mereka bukan terlihat seperti seorang atasan dan karyawan. Sudah seperti dua orang sahabat dekat.

"Makanya, kamu kenalin ke ayah bunda dong kalau udah punya inceran."

"Isshh.. Itu bukan inceran Iyok, yah. Itu asisten rumah tangga baru di rumah daddy. Cuman Iyok curiga kalau ada yang disembunyiin dari orang itu. Makanya ke sini minta bantuan sama Tian" Akhirnya Mario menjelaskan tujuannya ke rumah Tian.

"Awalnya sih emang yah, curiga, pengen tahu latar belakangnya ntar, ujungnya gimana kita kan gak pernah tahu. Jangan-jangan ntar malah abang yang ngebucin sama Ningsih?" Seperti biasanya, Tian selalu memancing dengan perkataan-perkataannya yang asal tersebut.

"Woii.. Lo jangan jadi kompor ngapa?" Mario melempar dengan asal cookies yang ada di meja ke arah Tian. Tian hanya menangkap cookies itu lalu memakannya dengan santai. Dia sama sekali tidak takut akan Mario yang memasang wajah galaknya ke dia.

"Ayah sih sebenarnya gak masalah ya yok, siapa yang bakalan jadi pendamping kamu. Mau dia anak presiden, pengusaha, peragawati atau bahkan asisten rumah tangga sekalipun, kalau kalian berdua memang saling cinta ya tidak ada masalah. Ayah yakin kok bunda kamu juga sependapat sama ayah"

"Ayaaahhhh... Dia itu bukan siapa-siapanya Iyok. Astaga naga.. Gak percaya amat sama Iyok" Mario masih berusaha membela diri. Saat ini memang di pikirannya Ningsih bukanlah siapa-siapa baginya.

"Kalo bukan siapa-siapa, kenapa ada di apart-nya abang?" Pertanyaan Feinya langsung menjurus ke Mario. Mario hanya mengijinkan keluarga dan orang terdekat yang dia percaya untuk masuk ke apartemennya.

"Ya karena mommy kan lagi hamil. Iyok gak mau ntar orang itu nyelakain mommy atau daddy. Kita gak tahu dia siapa. Bisa jadi kan dia orang jahat yang niatnya mau nyelakain daddy lalu nyamar jadi pembantu. Iya kan?" Melihat Mario yang dengan tegas menyangkal bahwa dia dan Ningsih tidak ada apa-apa, Brian menunjukkan wajah sedikit kecewanya.

"Kirain beneran kamu ada hubungan sama wanita itu. Ayah lihat dia anaknya baik. Ayah sih berdoa saja, semoga kalian bisa berjodoh. Keliatan cocok gitu kalian berdua. Beneran, ayah seneng lihatnya kalau kamu sama wanita itu. Ayah juga yakin kok kalau bunda kamu juga sependapat sama ayah." Mario semakin mengernyitkan keningnya mendengar perkataan Brian. Melihat itu, Brian lalu kembali bersuara

"Kenapa kamu gak suka gitu kalau ayah berdoanya seperti itu? Ya udah, ayah ganti aja doanya, biar kamu berjodoh sama Richard. Gimana?" Brian hanya iseng dengan perkataannya itu. Hanya ingin menggoda Mario saja.

"Aaayyaaaahh.. Pleasseee... Doain Iyok yang baik-baik napa?" Mario menatap ayahnya dengan tatapan memelas dan dengan wajah yang mengiba.

***

Selesai membersihakan seluruh apartemen Mario, Ningsih bersantai sejenak. Dia memilih duduk di beranda sambil menikmati hembusan angin di balkon apartemen Mario yang terletak di lantai tiga puluh tersebut. Semilir angin cukup membuatnya rileks. Lama Ningsih menikmati hembusan angin itu dengan mata terpejamnya.

"Tadi Mario bilang kalau aku boleh makan makanan yang ada di kulkas. Ini udah siang, udah waktunya makan juga." Guman Ningsih pada dirinya sendiri. Waktu memang sudah menunjukkan siang yang bahkan sudah beranjak sore. Ningsih melangkahkan kaki ke area dapur, lalu membuka kulkas. Dia mengeluarkan frozen pizza dan menghangatkannya dengan microwave setelah sebelumnya menambah parutan keju di atas pizza tersebut sebagai tambahan topping. Sambil menunggu, Ningsih lalu membuka kembali kulkas Mario. Selain frozen pizza dan beberapa makanan siap saji dalam kemasan beku, kulkas Mario juga dipenuhi oleh beraneka buah. Ningsih lalu mengeluarkan buah naga, pisang dan susu kotak dari kulkas. Setelah memotong-motong buah itu, dia memasukkan ke dalam blender dan susu kotak putih serta menambahkan sedikit madu untuk menguatkan rasanya.

"Pizza and smoothies, not bad-lah buat makan siang" Ujar Ningsih pada dirinya sendiri. Dia lalu memakan makanan itu dengan lahap.

"Capek juga ternyata jadi pembantu. Tapi gimana lagi, gak ada pilihan lagi. Papa, mama, kak Devon, Dea kangen sama kalian semua. Maafin Dea ya.. Tapi Dea beneran gak sanggup..."

Dirinya tidak tahu, jika semua gerak geriknya dan perkataan monolognya itu terekam dengan jelas oleh CCTV dan itu langsung terlihat oleh Mario.

"Semoga Tian cepat nemuin siapa lo sebenarnya" Ujar Mario di satu tempat sambil dia menggenggam ponsel yang di koneksikan dengan CCTV di apartemennya. Sekarang, Mario punya kebiasaan dan kesibukan baru, melihat rekaman CCTV, baik di rumah maupun di apartemennya. Mengamati dengan sangat teliti polah tingkah dari Ningsih, mencatat semua dalam memori di kepalanya.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang