Part 2

1K 47 6
                                    

Malam beranjak, namun Mario dan Richard masih tetap fokus pada pekerjaannya. Tingkat keseriusan dari Mario memang di atas rata-rata orang. Dia bahkan bisa bekerja dengan fokus yang tinggi untuk waktu yang lama. Fokus dan perhatian dari Mario sedikit teralihkan saat ponsel yang diletakkan di sampingnya berkedip beberapa kali.

"Daddy is Calling" Demikian yang tertera di layar ponselnya. Melihat itu, digesernya ikon berwarna hijau, lalu memilih mode loud speaker. Sementara tangannya masih lincah bermain di atas keyboard laptopnya. Pandangannyapun tidak teralihkan dari layar yang sekarang menampilkan deretan angka-angka yang rumit.

"Malam dad. Ada apa malem gini telpon" Sapa Mario ramah pada Bara

"Ayah kamu telpon, ngajak buat ke panti asuhan tempat bunda kamu dulu. Katanya mau syukuran nikahan adik kamu. Setelah itu kita akan ke makam opa dan oma. Kamu ikut gak? Daddy sama mommy berangkat dari rumah langsung ke panti" sahut Bara dari seberang

"Boleh Dad. Nanti Iyok hubungin ayah sama bunda dulu. Kayaknya ntar Iyok barengan sama ayah bunda aja. Biasanya kalau ke panti bawaannya banyak. Mommy gimana dad? Masih mual-mual?" Mario ternyata masih mengkhawatirkan kondisi Lina yang masih mual-mual akibat kehamilannya.

"Sekarang lagi tidur. Ini juga daddy keluar kamar dulu buat telpon kamu. Makasih nak, udah khawatir soal mommy kamu" Ujar Bara hangat. Penerimaan Mario atas Lina memang sangat melegakan bagi Bara.

"Justru Iyok yang harusnya say thanks ke mommy. Semenjak mommy masuk ke keluarga kita, Iyok bisa lihat daddy senyum kembali. Opa dan oma juga pasti udah tenang sekarang. Bisa lihat daddy seperti sekarang dari atas" Di sebarang sana, Bara tersenyum. Hatinya menghangat mengingat penerimaan atas keputusannya menikahi Lina dari orang-orang terdekatnya. Kedua orang tuanya dan Mario ternyata mendukung keputusannya menikahi Lina. Setelah kesalahannya yang fatal, dia ternyata masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki semuanya dan memulainya dari awal lagi.

"Salut gue bos. Gak semua orang bisa kayak lo, bos" Ujar Richard setelah Mario menyelesaikan obrolannya dengan Bara. Di luar kantor dan di kondisi yang tidak formal, antara Mario dan Richard memang tidak pernah menggunakan bahasa yang formal.

"Lo udah tahu kan cerita keluarga gue kayak gimana. Sekarang bisa lihat bokap gua senyum lagi itu priceless." Bahkan saking dekatnya Mario dengan sekretarisnya itu, Richard bahkan tahu bagaimana cerita dan masa lalu dari Mario dan keluarganya.

***

Hari minggu. Seperti biasanya jika hari minggu seperti ini keluarga Brian akan beribadah di gereja. Namun, karena masih kelelahan akibat resepsi pernikahan Tian dan Feinya, Brian dan Mentari memilih untuk mengikuti misa minggu sore. Minggu pagi, Mario sudah berada di rumah Brian. Sekarang, dia sedang santai menikmati bubur ayam untuk sarapannya. Brian dan Mentari tampaknya masih kelelahan sehingga masih belum bangun dari tidurnya. Sedangkan Tian dan Feinya, langsung menempati rumah baru yang dihadiahkan oleh Markus.

Sedang enak menikmati bubur ayamnya, tiba-tiba Mario dikejutkan dengan tepukan di pundaknya. Ternyata Brian yang menepuknya. Wajahnya masih terlihat mengantuk, bahkan sesekali masih menguap menandakan dia masih lelah.

"Ayah masih lelah? Istirahat aja dulu. Toh gak keburu kan ke panti. Biar Iyok hubungi daddy buat ke sini aja dulu" Mendengar itu, Brian hanya mengangguk saja.

"Boleh juga. Bunda kamu juga masih tidur. Capek bener kemarin." Brian lalu mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan margarin dan melengkapinya dengan beberapa slice keju. Kedua ayah anak tidak sekandung itu kembali hening menikmati makan pagi mereka masing-masing.

Menjelang jam sepuluh, akhirnya semuanya sudah berkumpul. Segera, lima orang itupun berangkat menuju ke panti asuhan tempat dimana Mentari dibesarkan. Sesampai di sana, Mentari langsung menuju ke kamar rahayu. Karena sudah cukup renta, Rahayu kini hanya bisa beraktivitas di kamar saja. Tubuhnya sudah terlalu letih mengurusi panti asuhan dan penghuninya. Pengelolaan panti kini ditangani oleh Lidya. Walaupun demikian, Rahayu masih cukup mengingat siapa yang datang menemuinya.

"Bunda... Bunda, Tari kangen.." Mentari menjadi seperti seoarang anak kecil yang baru saja bertemu dengan ibunya jika dia berhadapan dengan Rahayu. Dengan wajah tua yang masih bisa menampilkan senyum, tangan Rahayu terulur pada pucuk kepala Mentari. Membelai lembut, lalu berkata

"Bunda baik-baik saja nak. Mana cucu bunda. Ke sini kan mereka?"

"Biasalah bunda, kalau ke sini, Iyok pasti langsung main bola sama adik-adik. Kalau Feinya, mungkin masih kecapekan bunda. Kemarin acaranya sampai malam"

"Bilang ke Feinya, neneknya ini minta maaf. Gak bisa datang ke nikahannya. Tapi doa nenek selalu bersamanya" Dengan alasan kesehatan, Rahayu memang tidak bisa datang pada pernikahan Tian dan Feinya, walaupun sebenarnya dia sangat ingin menghadirinya.

Setelah selesai dengan semua urusan di panti asuhan, mereka lalu melanjutkan perjalan ke makam Anton dan Reta. Setiap kali berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir, selalu menyesakkan bagi Bara. Rasa bersalah pada kedua orang tuanya sejujurnya masih tersisa di hatinya dan sepertinya rasa itu tidak akan bisa hilang dari hati Bara. Satu hal yang membuat Bara bisa sedikit tersenyum, Anton dan Reta masih bisa menyaksikan dia menikahi Lina dan bahkan menerima dengan sangat baik kehadiran Lina.

Malam hari, kelimanya berkumpul bersama di rumah Brian. Jika melihat bagaimana hangatnya hubungan kelima orang tersebut, sangat sulit dipercaya jika di masa lalu mereka terlibat konflik yang cukup runcing.

"Adik kamu udah bahagia bersama dengan pilihannya. Kamu kapan mulai mencari pendamping hidup?" Mentari dengan lembut bertanya pada Mario.

"Ya ampun bun. Feinya nikahnya belum aja 24 jam. Iyok masih cari-cari bun. Gak pengen salah pilih"

"Atau kamu jangan-jangan masih belum move on dari Feinya?" Pertanyaan usil dari Brian langsung membuat Mario tersedak ludahnya sendiri.

"Mas.. Kok nanyanya kayak gitu? Tuh lihat yang ditanya jadi gelagapan gitu" Mentari menepuk halus lengan Brian, mengingatkan suaminya. Mario hanya menampilkan wajah yang memerah. Menghilangkan begitu saja perasaannya pada Feinya memang tidak semudah itu. Mario akhirnya memang bisa menghapus rasa itu, setelah dia tahu dan terlibat sendiri bagaimana Feinya dan Tian saling memperjuangkan cinta mereka.

"Atau gini, kalau kamu gak sanggup bilang ke daddy. Nanti bisa daddy carikan wanita yang cocok buat kamu" Bara ikut nimbrung ke percakapan yang menjadikan Mario sebagai obyek pembahasan.

"Lho, mas mau jodohin Mario gitu?" Lina kebingungan dengan perkataan Bara. Anggukan kepala dengan mantap diberikan Bara sebagai jawaban dari pertanyaan Lina. Melihat jawaban ayahnya itu, Mario semakin menunjukkan wajah kebingungannya

"Daddy cuman gak mau kamu ngikutin daddy yang sangat telat menemukan pasangan hidup. Itu maksud daddy tadi cariin kamu wanita. Keputusan akhir mau atau tidak ya tetap di kamu nantinya" Bara memberikan alasannya mengenai langkah dia mencarikan jodoh untuk Mario.

"Alasan daddy kamu masuk akal juga. Umur kamu udah matang. Pekerjaan kamu sudah lebih dari sekedar cukup. Jangan kelamaan sendiri. Gak baik juga." Tanpa diduga, Mentari malah menyetujui ide dari Bara tersebut.

"Please... Bunda, Ayah, Daddy, Mommy, biarinlah Iyok cari wanita buat Iyok sendiri" Jika di kantor, Mario selalu menampakkan wajah dingin dan jarang tersenyum, maka sekarang dengan yang nampak adalah wajah memohonnya. Sungguh sangat kontras jika melihatnya.

Dalam hatinya, Mario sendiri memang sudah sangat ingin berumah tangga. Namun. Pengalamannya dengan wanita sangatlah minim, dan memang sebelum ini fokus utamanya adalah menjaga Feinya, adiknya. Dia tidak ingin cerita sang bunda terulang kembali di Feinya. Sekarang, ketika adiknya itu sudah menemukan lelaki yang dicintanya dan dia sendiri juga menyetujuinya, maka sekarang waktu yang tepat untuk mulai memikirkan dirinya sendiri. Namun, yang jadi pertanyaan besar, Mario tidak tahu harus bagaimana dia memulainya.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang