Part 6

604 34 4
                                    

Seminggu telah berlalu, dan seminggu itu pula pola kehidupan Mario tetap sama. Pagi hari saat di berangkat ke kantor, dia akan berangkat bersama dengan Ningsih dan meninggalkannya di apartemennya. Lalu saat dia pulang dari kantor, dia akan bersama dengan Ningsih untuk pulang ke rumah. Selama dia masih mencari tahu informasi tentang Ningsih, Mario memilih untuk tidur di rumah Bara. Biasanya dia akan bergantian untuk tidur baik di rumah Bara atau di rumah Brian.

Jam makan siang, Mario dan Richard sudah duduk manis di salah satu sudut di resto milik Tian. Mereka memang ada janji untuk membahas hasil yang didapat oleh Tian. Beberapa waktu lalu memang Tian memberi kabar jika dia sudah menemukan beberapa hal tentang wanita yang bernama ningsih itu.

"Gimana coba ayah gak berpikiran aneh soal abang sama kak Richard kalo kelakuan kalian kayak gitu?" Pemandangan di depan mata Tian saat ini adalah, Mario yang sedang menikmati udang saus asam manis dan Richard tengah makan ayam bakar madu. Bukan pilihan menu yang membuat Tian geleng-geleng kepala, tapi kelakuan saat Richard dengan santainya menyuapkan potongan ayam ke Richard dan dengan santai juga Mario menerima suapan itu.

"Emang om Brian mikir apaan?" Richard masih belum mengerti perkataan Tian

"Ayah mikirnya itu kalian berdua belok. Ada hubungan gitu" Mario terlihat santai karena dia sudah bisa membaca arah pembicaraan dari Tian, sedangkan Richard langsung terbatuk-batuk karena tersedak.

"Beneran bos? Om Brian ngira kita ada.... ada.... hubungan gitu?" Tanya Richard. Reaksi Mario, malah diluar dugaan. Dia menggeser duduknya mendekat ke Richard, dan merangkulkan tangannya ke pundak Richard lalu berkata dengan nada yang dibuat sendu.

"Chad, kan kita emang punya hubungan? Udah, gak usah mengelak lagi ya..." Richard semakin gelagapan dengan tingkah aneh bos-nya itu. Richard berusaha lepas dari rangkulan Mario, tapi Mario malah semakin merangkulnya lebih erat lagi.

"Jadi beneran bang? Kalian berdua...." Tian membelalakan matanya. Telunjuknnya menujuk bergantian ke arah Mario dan Richard yang saat ini duduk berdempetan di depannya.

"Kemarin emang gue belum siap buat bilang ini ke ayah. Tapi kayaknya insting ayah lebih tajam. Ayah tahu kalau gue sama Richard emang ada hubungan. Gue sekarang siap buat bilang ke ayah soal yang sesungguhnya." Mario menatap sendu pada Richard. Richard sendiri masih berusaha lepas dari rangkulan paksa Mario, tapi sepertinya Mario malah semakin mengeratkan pelukannya itu. Akhirnya, dengan sepenuh tenaga, Richard bisa lepas juga dari rangkulan Mario.

"Guu.. Saaaya eee.. ke kamar mandi dulu pak" Richard tergagap. Meninggalkan Mario dan Tian di sana. Bahasa yang digunakan berubah menjadi bahasa yang formal. Padahal sebelumnya nyaris tidak ada batasan diantara mereka. Panggilan akrab yang biasanya dipakai oleh Richard dan Mario mendadak berubah menjadi resmi.

"Hahahaha..." Tian tertawa sambil memegang perutnya. Sedari tadi dia mencoba menahan tawanya di depan Richard. Dia tak habis pikir, kenapa Mario yang biasanya sangat kaku menjadi berubah usil seperti sekarang. Tian tentu tahu jika itu semua hanya bercanda.

"Ternyata iseng itu cukup menghibur ya.. Pantesan lo seneng banget ngisengin orang"

"Udah ah, bang. Nih Tian dapat info soal Ningsih. Tian belum bisa bilang ini bener seratus persen sih, but at least tujuh puluh lima persen Tian bisa bilang kalau kecurigaan abang bener. Dia bukan Ningsih, dia itu Dea Rossa. Untuk lengkapnya abang bisa lihat di sini" Tian lalu membuka netbook yang tadi masih dilipatnya itu. Setelah membuka file yang berisi tentang penyelidikannya. Wajah Mario yang awalnya bisa tersenyum karena menjahili Richard, langsung berubah tegang seketika saat Tian mengatakan bahwa kecurigaannya benar.

"Tian gak ketemu catatan minor soal Dea sih bang. Justru kayaknya dia korban di sini. Perusahaan ayahnya ditipu dan dia dipaksa nikah buat lunasin utang perusahaan ayahnya itu."

"Lo yakin kalau dia di sini korban?" Tian mengangguk mantap. Lalu kembali dia berkata

"Dari pelacakan Tian sih kayak gitu. Ayahnya dia dijebak sama partner bisnisnya dengan menggunakan uang hasil hutang bank. Kayaknya orang yang jebak ayahnya Dea itu ngincernya emang Dea. Perusahaan perkebunan milik ayahnya masih perusahaan keluarga yang skala bisnisnya kecil. Mereka hanya bermain di skala pasar tradisional saja di daerah Bandung sana" Mario semakin tertarik dengan penjelasan dari Tian. Jika memang benar Dea adalah korban, naluri protektif dari Mario seketika muncul dan hatinya mengatakan kalau dia harus melindunginya.

"Bang, coba liat temuan Tian soal kondisi keuangannya. Fokus di kepemilikan hutang. Coba lihat ayahnya Dea berhutangnya ke mana?" Tian lalu memberikan petunjuk lanjutannya. Mario lalu tersenyum melihat arahan Tian sesaat setelah tahu maksud Tian men-direct-nya tadi. Diambilnya ponsel yang sedari tadi tergeletak di sampingnya, lalu dia menelpon seseorang.

"Siang om.. Om, sibuk gak siang ini? Iyok pengen maen ke sana bisa gak om?" Tanya Mario membuka pertanyaan

"........................"

"Hehehe.. Gak apa-apa om. Pengen maen aja. Udah lama juga kan gak ketemuan"

"........................"

"Oke om, abis lunch, Iyok ke sana. Ntar Iyok bareng sama sekretarisnya Iyok kok" Mario tersenyum lalu memutuskan panggilan telponnya. Lalu dia meletakkan kembali ponselnya. Saat itu, tampak Richard sudah kembali dari toilet. Wajahnya tampak basah, tampaknya dia tidak dengan benar mengeringkan wajahnya. Dia lalu duduk di tempat duduknya yang tadi. Mario kembali menghampirinya, mengambil beberapa lembar tissue dan dengan gerakan lembut mengeringkan wajah Richard yang masih basah tersebut. Wajah Richard kembali memerah mendapati perlakuan dari Mario. Tian lebih memilih sibuk dengan notebooknya. Setengah mati dia menahan tawa. Richard mengambil posisi hendak berdiri, namun tangannya ditahan oleh Mario

"Mau kemana lagi? Gak mungkin ke toilet lagi kan? Makan siangmu aja belum habis. Cepet gih habisin, makanannya. Nanti kamu sakit. Kan aku yang susah kalau kamu sakit" Kembali Mario berbicara dengan nada yang lembut. Mau tidak mau akhirnya Richard kembali duduk dan menikmati makanannya, namun baru dua kali suapan, dia lalu mendongak dan menatap Mario lalu berkata

"Maaf, pak. Saya ingin mengajukan resign. Segera sesudah sampai kantor akan saya urus suratnya" Mendengar jika Richard akan mengajukan resign, berarti saatnya dia mengakhiri bercandanya itu. Mario tidak ingin kehilangan partner kerja yang sudah cocok selayaknya teman seperti Richard.

"wkwkwkwk.... Gue becanda lagi Chad! Lo serius amat dah dari tadi" Tapi dilihatnya wajah Richard masih tetap menunjukkan ketegangan.

"Chad, gue becanda kali. Iya kali gue sama lo." Mario berusaha meyakinkan Richard.

"Maaf pak, tapi beneran saya mau resign. Email sudah saya kirimkan ke manajer HRD pak. Saya ngirimnya tadi pas di toilet" Richard lalu menunjukkan ponselnya yang menunjukkan folder "Sent" pada emailnya. Mario menggeram pelan.

"Kita bicara lagi di kantor. Sekarang lo ikut gue" Mario lalu berdiri dan bergegas menuju pintu keluar resto. Richard lalu dengan tergesa mengikutinya. Sebelum Richard benar-benar pergi, Tian berujar,

"Bang Iyok becanda kali. Gak usah dipikirinlah." Tian mencoba menetralkan suasana antara Mario dan Richard yang dia yakin akan menjadi tidak nyaman bagi mereka berdua.

***

"Pah, gimana? Ada khabar belum? Apa Dea sudah ketemu?" Tanya seorang wanita paruh baya sambil terisak

"Ini sudah lebih dari dua minggu pa. Dea dimana?" Wanita itu masih menangis tersedu.

"Papa udah cari kemana-mana ma. Udah lapor polisi juga. Tapi masih saja belum ada yang informasi yang jelas tentang anak kita ma" Sang suami kini juga meneteskan air matanya.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang