Part 33

316 25 4
                                    

Saat ini, keluarga Bara dan keluarga Dewa berkumpul di taman belakang. Begitu tadi Dewa dan Anissa datang, Dea langsung duduk diantara kedua orang tuanya sambil terus bergelayut manja di antara keduanya. Mereka berbincang lepas. Melihat betapa bahagianya Dea bertemu dengan orang tuanya, entah mengapa kekhawatiran Mario tadi pagi yang akan ditinggal Dea jika orang tuanya datang mendadak hilang. Apa ini yang sering orang bilang bahwa jika kita mencintai seseorang, maka cukup dengan melihatnya bisa bahagia dan tertawa, maka hati kitapun juga akan ikut bahagia.

Waktu sudah cukup larut, namun tetap saja mereka masih berbincang ringan hingga akhirnya rasa kantuk tidak bisa mereka hindari lagi. Melihat itu, Lina lalu berucap

"Udah pada ngantuk kayaknya. Ya udah, kita istirahat aja dulu. Besok kan masih ada banyak waktu buat ngobrol."

"Bapak dan ibu bisa istirahat dengan Dea, Devon bisa istirahat sama Mario." Mario sebenarnya ingin mendekatkan dirinya dengan Devon, kakak Dea. Dia ingin mengorek informasi sebanyak-banyaknya soal Dea. Sebenarnya Mario sendiri tidak yakin dengan idenya sendiri. Bara melatihnya untuk tidur sendiri sejak dari kecil. Akibatnya, Mario tidak terbiasa untuk tidur dengan orang lain dalam satu kamar.

Akhirnya merekapun berpisah. Dewa dan Anissa mengikuti Dea dan masuk ke kamar Dea, lalu Devon mengikuti Mario, naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya. Setelah keduanya membersihkan diri, dan mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang lebih santai, mereka berdua justru terjebak dalam kondisi yang canggung.

"Hm... Kak... Hm.. Kak Mario udah ngantuk belum?" Devon berusaha memecah keheningan dengan mencoba membuka komunikasi dengan Mario. Dia sebenarnya tahu siapa dan bagaimana sepak terjang Mario di dunia bisnis. Itu sebabnya dia sedikit gugup ketika harus berbagi ruang bersama dengan Mario.

"Abang.. Panggil aja dengan abang, biar samaan kayak Dea juga." Mario mencoba lebih mengakrabkan dirinya dengan kakak Dea.

"Eh, iya bang Mario udah ngantuk belum? Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin Devon tanyain ke abang. Kalau gak keberatan sih" Devon akhirnya bisa menguasai dirinya. Sekarang, dia bisa sedikit lebih lancar berbincang dengan Mario.

"Gak. Masih belum ngantuk. Kebetulan, abang juga ada ingin diobrolin." Mario bersyukur, ternyata Devon sepertinya bisa diajak berkomunikasi dengan enak.

"Abang seriusan kan sama Dea? Abang gak lagi mainin Dea kan?" Pertanyaan Devon langsung pada sasaran. Tampaknya, Devon bukan tipe orang yang suka dengan basa-basi tampaknya. Mario tersenyum. Kakak dari Dea yang usianya masih di bawahnya itu tampaknya juga memiliki tipe perilaku yang sama dengannya. Sama-sama tipe orang yang protektif.

"Kenapa? Pasti dengernya berita miring soal abang ya di luaran sana?" Mario lalu menjeda sejenak. Memberi waktu sejenak bagi Devon untuk mencerna apa yang akan dia katakan.

"Abang juga bingung kalau ditanya bagaimana rasa itu muncul. Yang jelas sekarang abang gak bisa jauh dari Dea. Bahkan kalau diijinkan dan Dea sendiri mau, abang pengennya langsung nikahin Dea." Mario melanjutkan penjelasannya.

"Sorry bang, kalau pertanyaan Devon mungkin menyinggung abang. Dea adik Devon satu-satunya. Devon udah merasa gagal buat jaga Devon saat papa kena masalah penipuan utang itu. Jujur aja nih bang, Devon waktu itu udah mau ngebunuh Refan sama Leo. Tapi, trus mendadak Dea ngilang. Akhirnya fokus Devon berubah buat cari Dea sampai akhirnya abang datang ke kantor waktu itu" Penjelasan yang bercampur curhatan dari Devon. Mario semakin melihat banyaknya kesamaan dengannya. Melihat Devon, dia seperti melihat dirinya sendiri. Sifatnya mirip. Protektif dan akan melakukan apapun kalau keluarganya diusik.

"Tolong jagain Dea, bang. Jujur saja, Devon agak merasa khawatir, apalagi soal gosip di tabloid siang ini. Devon yakin, Dea masih belum siap untuk kehidupannya menjadi incaran publik" Mario langsung mengubah perhatiannya menjadi serius. Ternyata Devon sudah tahu tentang berita sampah itu.

"Abang udah beresin itu. Jangan Khawatir. Abang pasti akan jaga Dea sambil pelan-pelan abang kenalin Dea pada dunia abang juga" Mario mencoba meyakinkan Devon bahwa dia sudah mencoba melakukan yang terbaik buat Dea.

"Sorry bang, kalau abang ngerasa gak nyaman. Kita baru ketemuan dan ngobrol malam ini tapi Devon udah banyak minta ke abang"

"Wajar. Abang juga ada di posisi kamu. Abang juga punya adik cewek juga. Cuman sekarang dia udah nikah. Apa yang kamu lakuin itu, juga pasti akan abang lakuin kalau kejadian di abang"

Kedua lelaki itu akhirnya melanjutkan obrolannya dengan lebih rileks. Dari Devon, Mario banyak mendapat informasi tentang Dea. Tentang hal kecil namun mungkin penting untuk diketahui oleh Mario. Sedangkan Devon sendiri, dia ingin memastikan bahwa Dea tidak akan tersakiti oleh lelaki yang kini bersamanya itu.

Situasi yang sama sebenarnya juga terjadi di kamar Dea. Dewa, Anissa dan Dea tidak segera beristirahat dan tidur. Mereka malah lebih banyak mengobrol. Dea kali ini memilih posisi diapit diantara Dewa dan Anissa. Ketika bertemu dengan Dewa dan Anissa, Dea mendadak berubah menjadi seorang anak gadis yang masih manja. Dewa tentu tidak menyia-nyiakan momen langka ini. Sembari bersandar di headboard Dewa, Anissa dan Dea berbincang menghabiskan waktu. Entah mengapa, rasa ngantuk dan capek yang tadinya menyerang Dewa dan Anissa menjadi menghilang.

"Kamu sepertinya senang tinggal di sini?" Dewa membuka percakapan

"Se-seneng-senengnya Dea di sini, teteplah lebih seneng di rumah sendiri."

"Kayaknya keluarga di sini baik-baik ya sama kamu." Kali ini Anissa yang bertanya.

"Iya ma. Daddy sama mommy baik banget sama Dea. Ayah bundanya abang juga baik kok sama Dea."

"Ayah bunda? Maksudnya?" Dewa dan Anissa mengernyitkan kening mereka.

"Iya, jadi abang itu punya dua ayah dan dua ibu. Dea gak tahu gimana cerita persisnya kayak gimana. Dea masih belum berani nanya ke abang."

"Trus Mario kayak gimana sama kamu? Dia pernah nyakitin kamu?" Dewa akhirnya bertanya dengan menyelidik ke Dea. Walaupun sebenarnya Dewa mulai yakin bahwa Mario memang benar mencintai Dea dan memperlakukannya dengan baik.

"Awalnya sih emang pa. Abang itu awal-awal jutek gitu sama Dea. Bawaannya tuh curiga terus sama Dea. Nyebelin sih pokoknya. Wajar sih, kan emang belum kenal juga sama Dea. Trus makin ke sini, abang tuh makin baik sama Dea. Kayak kak Devon gitu sifatnya. Keras, tapi kalau dah kenal, orangnya baik gitu." Dea bercerita itu dengan senyum yang mengambang dan sinar mata yang berbinar. Dewa dan Anissa yang melihat itu bisa tersenyum lega. Sebagai orang tua, Dewa dan Anissa sangat mengerti bagaimana perasaan Dea sekarang pada Mario.

"Kayaknya tuh, kalau mama liatnya, Mario itu suka sama kamu ya? Mama sih liatnya pas tadi kita ngobrol. Dia kayak terus liatin kamu." Anissa kini berusaha memancing Dea untuk bercerita lebih banyak lagi.

"Iya sih ma. Abang juga udah nanya itu ke Dea. Cuman Dea belum jawab sampe sekarang. Dea pengen nanya dulu ke papa dan mama"

"Tapi dia gak maksa kamu kan? Gak nyakitin kamu juga kan?" Dewa seperti masih mencoba meyakinkan bahwa mario tidak menyakiti ataupun memaksa kemauannya pada Dea.

"Gak tuh pa. Abang gak pernah maksain apa-apa ke Dea. Abang emang gitu orangnya. Tapi Dea tahu kalau abang tuh sayang sama Dea"

"Trus, kamu sendiri, gimana perasaanmu sama Mario?" Tanya Dewa kemudian.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Onde histórias criam vida. Descubra agora