13~Malam~

1.3K 135 1
                                    

Bintang 🐨


"Makasih. Gak mau mampir ke rumah gue dulu?"

"Gak" Jawab Barra singkat dan segera memakai helmnya. Sebelum benar - benar pergi dari pandangan perempuan itu, Zia lebih dulu menarik jaket Levis yang dikenakan Barra. Zia tidak inggin melewatkan momen ini begitu saja.

Tadi sore, tubuhnya terkuras habis gara - gara singa peliharaan nya bertransformasi menjadi iblis jadi - jadian, dan ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan rasa lelahnya.

"Ada beberapa materi yang gak gue paham, dan kak Barra ahli dalam bidangnya"

Barra melepaskan helmnya, jika bukan karena perintah dari guru bimbingan  tahun lalu untuk memberikan semua catatan yang ia punya pada Zia, sudah tentu Barra tidak akan berada di sini, di tempat ini dalam dalam kondisi tidak mengenakan seperti ini. Dia lelah setelah seharian ini terlibat tawuran dengan anak sekolah sebelah.

"Guru pembimbing Lo dosen" Jawab Barra singkat"Dia lebih pinter"

Zia mengerjap heran, Barra ini sulit sekali untuk diajak kompromi. Zia merapat. Dia menempelkan keningnya ke lengan cowok itu sambil bergumam lirih. Zia tidak peduli, semua orang berhak bahagia. Ia berhak memilih jalan hidupnya sendiri.

Mau dengan Lion ataupun Barra, itu adalah urusannya. Orang lain tidak berhak mengatur hidupnya. Egois? Iya, Zia memang egois namun hatinya tidak bis menyangkal jika dia begitu mencintai Barra.

Barra diam. Turun dari motornya lalu duduk di tepi jalan dengan kedua tangan menyangga tubuh. Semilir angin malam mulai menghanyutkan suasana. Tidak apa beristirahat sejenak.

"Lurus ke depan terus belok kanan, itu rumah gue.....kalo di sini rumah Lion" Zia duduk di samping Barra. Setelah kejadian di dalam caffe, keduanya memang sepakat untuk melupakan itu. Mereka juga tidak terlihat canggung ataupun merasa aneh. Hanya ada rasa hangat dan nyaman yang menyelubungi hati Zia.

Barra menoleh singkat, laki - laki ini memang irit bicara. Cuek, pendiam, kalem, penuh wibawa, selalu menjaga image nya. Jauh sekali dengan sifat Lion yang tidak tau malu dan mudah mengeluh.

"Gue takut gagal" Zia curhat"Takut kalo apa yang diharapkan  guru - guru  itu gak sesuai ekspektasi"

Barra tidak menoleh, Zia tau Barra mendengarkan nya.

"Kalo gue kalah dalam lomba ini, gue yang malu. Kenapa harus gue yang dipilih? Ya sebenarnya gue seneng sih cuma kan ada di kelas gue yang peringkat satu? Kenapa gak dia aja?"

Curhatan Zia hanya berisi pikiran negatif yang begitu mendramatisir. Bersyukur lah karena Barra masih setia mendengar kan meskipun tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir cowok itu.

"Kak? Ah Kak Barra gak asih banget kalo di ajak ngomong" Zia memukul dada cowok didepannya dengan tangan kanan, sedangkan tangan yang satunya masih sibuk memegang buku catatan milik laki laki itu.

"Malem"

"Bayi baru lahir aja tau kalo ini udah malem" Zia mengerucutkan bibir lucu. Hanya di hadapan Barra saja ia bisa berubah seperti anak ayam"Gue pengen es krim"

Tidak ada jawaban. Lama lama Zia dongkol sendiri jika menghadapi model manusia seperti ini.

"Mau kemana?"Zia menendang tulang kering Barra saat cowok itu sudah berada di atas motor nya. Tidak berperikemanusiaan sekali. Padahal Zia belum selesai dengan sesi curhatan nya.

"Cepet"

"Hah? Apa?"Zia mengaruk rambut bingung.

Ck! Barra berdecak kesal. Dia mengendarai motornya lambat namun Zia berhasil menarik jaket nya. lagi. Merepotkan.

"Kak ikut, pengen es krim"

Zia kicep. Kini Barra menatap nya penuh siksaan batin. Mengerikan sekali. Zia inggin menangis. Demi apapun tatapan Barra begitu menohok hatinya. Tatapan itu tidak bisa hilang dari benak Zia, sampai mereka berdua sampai di depan kedai kecil di pinggir jalan, Zia masih memikirkan sadisnya tatapan itu.

"Kak, gue beli dua boleh kan?"

Barra mengganguk. Disinilah mereka brada, duduk di pinggir danau sambil menikmati eskrim yang baru saja mereka beli. Tidak ada pembicaraan berati, kecuali ocehan yang keluar dari mulut Zia. Dalam kondisi seperti ini saja, Zia bisa merasakan dirinya menjadi seorang adik sekaligus kekasih dari Barra Maherza Putra.

Bukan kekasih tepatnya. Hanya sebatas dua orang yang pernah melakukan ciuman di sebuah caffe.
Bagi Zia, itu sudah menjelaskan semuanya. Selama ini, Barra tidak pernah dikabarkan dekat dekat dengan perempuan manapun, sudah pasti Zia adalah orang sepesial di hidup Barra.

Ge' er dikit boleh lah ya. Zia agak lelah dengan hidup nya.

"Jadi?"

Barra menoleh. Menaikkan satu alisnya untuk mendengar kelanjutan ucapan itu.

"Gak jadi"

Barra terpejam. Suara desiran daun bercampur dengan gemercik gelombang tipis membuatnya begitu tenang. Suara jangkrik tidak kalah heboh mulai bersautan dari kedua telinganya. Sejenak....... Barra bisa melupakan rasa sakit yang ia pendam selama ini. Tubuh lelahnya, seakan goyah saat mendengar celotehan dari perempuan aneh di sampingnya.

Barra menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Zia. Dia ingin seperti ini sebentar saja. Melupakan status bahwa Zia begitu dekat dengan Lion. Barra terpejam, menikmati kibasan rambut hitam dan panjang itu mulai mengenai ujung wajahnya. Tenang dan damai.

"Ini kenapa?"Zia menangkap bekas luka di leher Barra. Seperti lilitan simpul pangkal yang sengaja di ikatkan ke leher itu dan membentuk bekas ungu kemerahan mengitari leher Barra.

Salah satu tangan itu terangkat untuk mengusap bibir Zia. Barra terpejam, rasa geli mulai menerpa wajahnya. Harus ia akui rambut Zia begitu wangi seperti aroma melon. Manis dan enak.

"Kak?"

"Kalo gue udah gak ada di dunia ini, Lo harus tetep hidup buat gue"

Itulah kalimat terpanjang yang Zia dengar dari mulut Barra malam ini. Ah tidak juga, biasanya hanya Zia yang sibuk menggombal, namun malam ini berbeda.

Lebih menyakitkan.........

Zia tidak tahu apa itu.......

Bersambung........

MY PET LION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang