Gue lagi gak mau meladeni pertanyaannya. Karena pasti dia bakal bertanya kenapa gue ada di sini-meskipun gue yakin dia pasti tau kalau gue ke sini ya buat ketemu Elang. Tiba-tiba aja gue malas untuk menjelaskan apapun. Akhirnya, sore itu gue memutuskan untuk berjalan kaki dari apartemen Elang ke halte busway yang lokasinya cukup jauh. Sengaja, karena gue butuh waktu untuk mengobrol dengan pikiran gue sendiri.

Kenapa sih memahami pola pikir kita sendiri tuh rasanya sesusah ini?

Kenapa gue seolah gak kenal sama diri gue sendiri, sehingga buat memahaminya sesulit ini?

"Lang?"

Jantung gue nyaris turun ke perut saat melihat sosoknya berdiri di hadapan gue begitu pintu lift terbuka. Gue hendak menemui Alden karena katanya ada barang yang harus dia kembaliin ke gue. Gue udah menolaknya dan menyuruh dia buat simpan aja barang itu, tapi dia menolak dan kekeuh buat memgembalikannya ke gue.

Makanya saat melihat Elang berdiri di hadapan gue sekarang, gue panik. Gue bingung harus apa. Otak gue seolah gak bisa bekerja seperti sebagaimana mestinya.

Tiba-tiba gue takut dia salah paham.

Gue takut gue bakal ngecewain dia lagi kalau tau siapa yang akan gue temui saat ini.

Saat itu gue benar-benar pengen nangis.

"Dys?"

Lidah gue kelu. Bola mata gue bergerak gusar. Gue takut Alden tiba-tiba aja keluar mobil kemudian situasi jadi lebih canggung lagi. Tatapan Elang terus tertuju pada gue, seolah hanya gue objek yang bisa dia lihat. Dan tindakannya itu semakin membuat gue gelisah. Bukannya gue gak nyaman, gue hanya panik. Gue panik sampai gue bisa merasa kalau deru napas gue mulai ga beraturan.

Gue seolah-olah seperti sedang tertangkap basah telah melakukan suatu kesalahan besar. Udara yang ada di ruang kotak ini seakan-akan gak cukup untuk gue hirup. Pengap. Tiba-tiba aja gue merasa pengap.

"Gue mau keluar," kata gue pada akhirnya. Kalimat gue berhasil menimbulkan kerutan tipis pada keningnya.

"Mau kemana?"

Gue benar-benar mati kutu. Gue gak tau harus jawab apa. Apa lebih baik gue jujur aja kalau mau ketemu Alden? Tapi, apa dia bakal baik-baik aja mendengarnya? Sumpah, otak gu bener-bener gak bisa dipakai mikir lagi. Tatapannya yang seolah menuntut sebuah penjelasan tanpa sadar jawaban membuat napas gue tercekat.

"Pulang," akhirnya cuma itu yang bisa gue ucapkan.

"Kenapa?"

Iya... kenapa? Kenapa gue malah nyuruh dia pulang? Padahal dari tadi gue pengen banget ketemu dia. Gue nunggu dia ngechat gue lagi padahal chat terakhirnya gak gue balas. Ralat, gue balas, tapi dengan cepat gue meng-unsentnya sebelum dia membaca itu dan berujung membuat gue menyesali tindakan bodoh itu seumur hidup.

Gue cuma gak mau dia, gue, dan Alden ada di suatu tempat yang sama lagi. Mengingat pertemuan terakhir kami di koridor apartemen gue malam itu yang sangat jauh dari kata menyenangkan.

"Pulang, Lang. Gue lagi gak mau ketemu lo."

Gue tau mungkin setelah ini dia bakalan membenci gue.

Dan gue merasa kalau gue emang pantas untuk itu.

Gue dan segala kebimbangan gue pantas dibenci.

"Gak mau," gue lupa Elang adalah Sagitarian. Dia dan sifat keras kepalanya adalah sejoli yang gak bisa dipisahkan.

"Gue bilang pulang, Lang," tapi gue juga bisa sama keras kepalanya kayak dia.

Maaf, Lang. Seenggaknya buat malam ini, gue mau menyalahkan diri gue sepuasnya sampai gue sadar gimana sebenarnya perasaan gue ini buat lo. Walaupun mungkin lo bakalan membenci gue setelah ini.

Long Way HomeWhere stories live. Discover now