LANGIT CHAPTER 5

3 3 1
                                    

Januari telah pergi dan mentari pagi bulan Februari telah tiba. Musim penghujan sedang berada pada puncaknya, dimana hujan besar hampir tejadi setiap hari. Begitu juga dengan hari ini, sedari pagi awan gelap telah menutupi cahaya mentari untuk bersinar. Gemuruh dan petir silih bersahutan menunggu untuk sang hujan menumpahkan pasukannya. Aku segera bergegas menuju kampus, sebelum hujan mengguyur pagi itu. Namun, sepertinya terlambat. Hujan hadir di tengah perjalananku, membasahi jaket denim yang kukenakan. Aku menarik tali gas lebih dalam dan melajukan motorku lebih kencang lagi. Setibanya di kampus aku segera berlari menuju Gedung A, sebelum badan ini semakin kebasahan.

Seperti biasa, kelas pagiku telah berakhir. Para mahasiswa berhamburan keluar dari ruangan, Kembali menyibukkan dirinya dengan aktivitas masing-masing. Aku menyusuri lorong koridor seorang diri, sampai akhirnya langkahku terhenti di depan mading aula kampus A. Sebuah poster dengan warna mencolok memaksa mataku untuk memperhatikannya dengan lebih seksama, menjelaskan tentang rangkaian karnaval seni kampus yang akan segera dimulai. Pantas saja, sedari tadi banyak mahasiswa berlalu-lalang membawa barang-barang seni yang ternyata akan digunakan untuk pameran. Setiap tahunnya, kampusku selalu melaksanakan karnaval seni selama beberapa minggu, dari mulai pameran karya seni rupa, pertunjukkan teater, sampai yang paling popular adalah pentas musik yang akan menampilkan band-band ternama di kampusku yang akan menutup rangkaian karnaval seni.

Aku kemudian melanjutkan langkahku, seolah tak tertarik untuk sekedar meramaikan acara itu. Seperti biasa, kampus akan menjadi sangat ramai dengan para mahasiswa saat acara tersebut berlangsung. Aku bergegas menuju parkiran, sampai kusadari hujan masih belum mereda sedari tadi pagi.

Niat untuk pulang ke rumah kuurungkan, mengingat aku malas untuk berbasah-basah ria, belum lagi ditambah jalanan kota yang akan sangat macet di kala hujan begini. Sejenak aku terdiam, apa yang harus kulakukan untuk membunuh waktu sampai hujan reda? Aku tidak mungkin pergi ke rooftop seperti biasa di kala cuaca sedang tak bersahabat seperti ini. Yang ada aku hanya akan kebasahan dan akan tersambar petir jika aku beruntung. Perpustakaan yang akhir-akhir ini menjadi tempat favorit selanjutnya pun penuh dengan para mahasiswa yang senasib denganku, tak bisa pulang.

Kulangkahkan kaki ini dengan berat tanpa tujuan berarti, sampai pada akhirnya aku tiba di pintu masuk pameran karya seni di koridor tengah Gedung A. Beberapa mahasiswa lain menghampiriku seraya membujukku untuk mengunjungi pameran seni itu. Aku yang tak kuasa menolak permintaan mereka pun dengan ragu-ragu memasuki tempat pameran. Ramai, itu kata pertama yang terlintas dibenakku. Dengan sigap, aku memasangkan headphone andalanku, dan memutar lagu dengan volume penuh. Seketika, riuh ramai suara mahasiswa langsung lenyap, tergantikan dengan alunan melodi yang kusuka. Senyumku sedikit terangkat dan mood baikku pun datang. Ternyata tidak buruk, tempat ini lumayan menarik. Tema yang diusung tahun ini pun cukup menarik, "Melodi Suara Langit". Berbagai karya seni rupa, dari mulai lukisan, patung, sampai dengan karya fotografi tersaji di hadapanku.

Aku berhenti di booth fotografi, mengamati kumpulan foto-foto pemandangan langit biru terpampang nyata. pikiranku sejenak melayang. Sepertinya aku ingat sesuatu tentang hal ini. Terbayang samar-samar wajah perempuan misterius dengan kamera khasnya yang kutemui beberapa kali. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Aku terus memikirkannya sembari terus bergerak melintasi sudut koridor. Pandangan mataku yang terus sibuk mengamati foto demi foto, sampai tanpa tersadar aku hampir saja menabrak seseorang. Seseorang yang tak asing bagiku. Ternyata itu dia, wanita yang sejak tadi aku pikirkan. Kini ia tepat berada di hadapanku. Aku yang tak siap dengan skenario ini hanya diam membatu tanpa kata.

Kami saling berpandang selama beberapa saat, sampai pada akhirnya dia melepaskan senyum tipisnya. Kemudian mengangguk pertanda meminta izin untuk pergi. Aku pun membalas senyumnya, sambil mempersilahkan jalan untuknya. Aku melihatnya dari tempatku berdiri, terdiam selama beberapa saat. Wanita yang tengah membuatku penasaran, ada tepat di hadapanku, dan aku tidak berbuat apa-apa. Punggung wanita tersebut pada akhirnya menghilang, tenggelam ditutupi keramaian pentas seni hari itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LANGIT & MELODI [ON GOING]Where stories live. Discover now