EMPAT

112 24 4
                                    

Ketegangan terasa kental menyelimuti ruang kerja Alan Carter di Mansion megah nya. Dua pria yang mirip satu sama lain, saling berhadapan dan beradu pandang dengan sengit. Hanya kerutan kulit dan warna rambut lah yang membedakan ayah dan anak itu. Selebihnya James Carter adalah versi muda Alan Carter. Begitu pula sebaliknya.

"I'm not going anywhere." Tegas James untuk yang kesekian kalinya. Mata biru cerah nya menunjukkan dengan jelas sifat keras kepala, serta keinginannya untuk tidak kalah dalam perdebatan ini. Sifat yang juga tergambar di mata biru ayahnya.

"Aku sudah tidak lagi memaksamu untuk pergi 'kan?" Alan mengangkat bahu dengan santai sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerja nya.

"Memang. Tapi aku tau bahwa ayah memanfaatkan koneksi yang ayah miliki untuk menugaskan ku di negara itu." Bantah James. Dengan amarah yang berusaha diredamnya. Karena James tau pada akhirnya dirinya akan kalah. Terlebih setelah ayahnya menggunakan koneksinya dan menempatkan James pada posisi yang tidak bisa menolak permintaan nya.

"Siapa yang memberimu tugas? Miller 'kan? Kenapa kamu mengarahkan kemarahanmu padaku?"

Tentu saja. Ayah James itu tidak akan merasa bersalah sedikit pun. Seperti hal nya James, ayahnya, Alan Carter selalu bisa mencari jalan untuk mencapai tujuannya. Hal yang selalu membuat James kagum. Tapi sering kali juga membuatnya kesal terlebih saat dirinya lah tujuan ayahnya.

"Benar. Tapi aku tidak bodoh, sehingga tidak dapat menghubungkan misi yang diberikan Miller padaku dengan permintaan ayah beberapa hari yang lalu." James menghela nafas sambil menghempaskan diri ke kursi di depan meja mahogany hitam ayahnya. Tanpa memedulikan sekilas rasa nyeri dari luka di perutnya, yang memprotes gerakan mendadak itu. "Terlebih Joe Miller adalah sahabat mu."

"Begitu pula Warren Brent." Alan kini mengaitkan jarinya di atas meja dan memandang James tepat di matanya. Alan Carter sudah kembali serius. Gesture itu menandakan bahwa Alan sudah tidak lagi ingin berbasa-basi. "Pria yang sejak kecil selalu kamu kagumi. Orang yang pertama kali mengajarimu memegang pistol. Sahabatku yang menginspirasi mu untuk menjadi dirimu sekarang ini."

Sekali lagi, apa yang diucapkan ayah James itu benar adanya. Warren Brent adalah salah satu pria tangguh dan hebat yang pernah dikenal James. Sahabat ayahnya itu sering mengunjungi Mansion mereka saat James masih kecil. Kunjungannya adalah hal yang dulu salalu James nantikan. Karena Warren akan dengan senang hati menceritakan setiap misi yang telah dijalaninya. Baik yang dilakukan bersama ayahnya, ataupun misinya sendiri. Cerita yang jauh lebih seru dari komik superman yang dibaca James. Cerita Warren juga lah yang telah menginpirasi James untuk menjadi Navy SEAL dan sekarang beralih menjadi agen CIA.

"Aku tau alasanmu enggan untuk pergi ke Indonesia." Suara Alan mengusir keheningan yang tercipta setelah James terdiam dan sibuk dengan pikirannya. "Karena itulah aku sama sekali tidak memintamu menemui wanita itu. Aku hanya ingin kamu membantu dan melindungi anak Warren, sambil menyelesaikan tugas dari Joe Miller. Kalau kamu tidak bisa melakukan itu demi ayah. Lakukanlah demi idola mu masa kecil. Karena gadis itu adalah anak kesayangan Warren. Dan Warren sangat peduli dengan keselamatannya."

James tidak langsung menanggapi. Pria tampan bertubuh atletis itu justru menekan kedua pelipisnya dengan ujung jari jempol dan telunjuknya. Kepala nya mendadak kembali berdenyut. Entah karena sisa efek pukulan batu di kepalanya. Atau karena stress yang dibebankan ayahnya pada James.

Sebenarnya James tidak keberatan untuk membantu dan melindungi anak gadis Warren. Kalau saja gadis itu tinggal di negara lain selain Indonesia. Selain itu James juga penasaran dengan keberadaan Warren setelah mendengar cerita ayahnya. Begitu pula dengan misi yang tidak berhasil diselesaikan sahabat ayahnya itu. Misi yang kini diberikan Joe Miller, pimpinan CIA, pada James untuk dituntaskan.

Out of The BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang