Lover's Dilemma - 6 - Old Fashioned, Neat 1/2

4.3K 754 114
                                    

Satu hal yang dipercaya Damayanti semenjak dulu adalah: Pria baik-baik adalah pria yang belum kelihatan belangnya.

Sama seperti bos di depannya ini. Terlihat sangat family oriented dan family man yang setia dan berdedikasi terhadap calon istrinya. Tapi, saat pintu ruang kerjanya tertutup kerjaannya adalah merayu wanita-wanita yang bekerja bersamanya. Dengan modus halus tentu saja, seperti perhatian-perhatian kecil. Sering mengiriminya pesan dengan dalih pekerjaan, ujung-ujungnya menanyakan sudah makan belum, sedang apa dan lain sebagainya.

Memang masih hanya 'calon' dan belum istri sesungguhnya. Dan menurut gosip yang didengarnya pun, pernikahan ini terjadi untuk menguntungkan keluarga kedua belah pihak. Siapa yang untung? Jelas bukan yang akan menikah.

Lihat saja sekarang, mukanya sangat sumringah meskipun ia sudah tahu perihal omelan Sinta pagi tadi. "Jadi, ada apa?" Tanya Ben, bosnya.

Damayanti menghela napas, lalu menceritakan masalah hari ini dari awal hingga akhir. Tanpa ditambah atau pun dikurangi, termasuk bagian solusi yang ditawarkannya. Wajah bosnya kini sudah berubah menjadi superserius.

"Kamu tahu kan, Dam, grup Excellent Food itu sudah bekerja sama dengan kita semenjak lama. Dan koneksi yang mereka punya itu sampai ke atas, bukan lagi level kita, makanya dokumen mereka bisa sistem Roro Jonggrang yang baru diminta semalam besoknya langsung selesai. Penjelasan seperti apa yang bisa gue kasih ke bos kalau ada yang bertanya mengenai hal ini? Anak baru yang lalai mengirimkan email, gitu?" jari telunjuk Ben mengetuk permukaan mejanya, "Bahkan belum sampai lantai atas saja, gue yakin gue sudah dicecar oleh bos di ujung sana." pria itu menambahkan sambil menunjuk dengan dagunya ke sisi lain ruangan. Ruangan yang lebih tersembunyi yang berada dekat pintu kecil.

Benar, belum sampai ke direksi atau komisaris saja pasti ia sudah habis diomeli di sana.

"And speaking of the devil, orangnya datang dengan muka masam." Ben berucap.

Tidak lama kemudian pintu ruangannya terbuka dengan wajah big boss lantainya yang seperti habis meminum satu gelas lemon tanpa bantuan air atau pun pemanis lainnya.

"Ben, kok gue terima panggilan dari--" kalimat pria itu terpotong. Matanya menangkap Damayanti yang duduk di depan Ben, "Sekalian sama kamu. Kok bisa booth-nya beda dari desain awal?" Big Boss-nya menarik kursi yang berada di sampingnya dan melihat ke arahnya dengan kerutan di dahi.

Damayanti mencoba bersabar dan menjelaskan dari awal hingga akhir kembali. Dia berdoa semoga stok sabarnya masih ada hingga akhir bulan nanti. Kalau begini caranya pun ia tidak yakin kuota sabarnya cukup hingga akhir minggu.

"Begitu, Pak." tutupnya.

"Sisa dua harinya kamu yakin booth-nya sudah siap?" tiga jarinya menutupi mulut saat ia bertanya.

"Sudah, Pak. Saya minta tolong ke logistik pusat untuk kerjakan cepat. Saya juga akan menghubungi ke sana untuk menawarkan bingkisan untuk yang mampir ke booth nanti. Kita masih ada lumayan banyak stok paperbag, tumbler, gelas dan power bank sisa event sebelumnya."

Bosnya menimbang-nimbang lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menggetikkan sesuatu di sana. Setelah selesai ia kembali melihat ke arah mereka berdua, "Okay, keep me posted on this. Mana Sinta? Dia yang pegang grup Excellent Food kan?"

Ben kini sudah terkekeh pelan, "Dia diam habis kena semprot Damayanti."

"Kamu apain dia?"

Belum sempat ia menjawab, Ben sudah membuka mulutnya duluan. "Bukannya Damayanti yang ngapain, lo tahu kan Sinta kalau ngomel suka banget suara kenceng dan mempermalukan orang lain. Tadi dia gitu. Lama banget, sampai ada dua korban yang nangis. Damayanti balas ngomel setelah Sinta nyinggung hal personal."

"Hal personal kayak?"

Lagi-lagi, Damayanti tidak sempat membalas karena mulut besar bosnya sudah terbuka lebih dulu. "Gimana bisa Damayanti ngatur anak buahnya kalau nikah aja belum."

Big boss-nya ikut-ikutan terkekeh dan Damayanti lupa soal tata kramanya. Ia melotot pada kedua pria itu dalam diam.

"Dam, makan siang di mana? Bareng yuk sama gue dan Wira." Ben bertanya setelah berdeham. Menunjuk pada pria di sampingnya yang masih sibuk menyembunyikan tawa.

"Gak bisa, Pak. Sudah ada janji." tolaknya halus. Ia berbohong karena terlalu malas menghabiskan waktu dengan dua pria ini. Kayak tidak cukup saja gosip yang muncul ia bisa di posisi sekarang karena dekat dengan Prawira, yang notabene menjadi eselon satu di grupnya semenjak dua tahun lalu.

"Janji sama meja kamu? Kamu kan siang pasti telungkupan di meja akhir-akhir ini." Ben membalas. Mejanya berhadapan dengan akses masuk-keluar sehingga mudah untuk orang-orang melihat ke mejanya.

"Kamu sakit lagi?" Kali ini Wira yang bertanya. "Omong-omong, kamu kelihatan pucat."

27/1/21

27/1/21

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Lover's Dilemma [FIN] Where stories live. Discover now