Dua Puluh Enam

275 53 15
                                    

Selamat membaca ❤️

***

Juno turun panggung dengan terburu-buru. Dia pun langsung mengecek ponsel yang ada di saku celana. Sudah lewat pukul sembilan. Jika sesuai janji di kertas yang Cattleya tinggalkan, gadis itu seharusnya sudah bersama Juno sejak dua jam yang lalu.

"Jun, kenapa sih?" Pertanyaan Isabella yang juga baru turun dari panggung, tidak dihiraukan.

Pikiran Juno benar-benar kacau. Tidak ada Cattleya. Gadis itu bahkan tidak bisa dihubungi. Rizal, Tama, orang-orang itupun juga tidak bisa ditelepon. Rasanya Juno ingin menghilang dari acara, mengabaikan semua kontrak yang sudah mengikatnya dan hanya fokus bersama Cattleya.

"Herjuno, ada apa?" Isabella mengulangi pertanyaannya dengan volume suara lebih keras.

"Hah? Eng--enggak."

"Jangan bohong! Kamu nyanyi nggak kayak biasanya. Beberapa kali false tadi."

"Sorry, aku lagi nggak fokus."

"Karena nggak ada Cattleya?" tanya Isabella langsung tepat sasaran. Namun, Juno tak menjawab. Dia terlihat gelisah menggigit bibirnya sendiri.

"Oke, aku emang nggak tahu masalahnya, tapi apa pun itu, kamu harus tahu apa dan siapa yang kamu jadikan prioritas. Hidup ini memang tentang memilih, Jun. Kadang, orang suka berkata, kenapa harus pilih satu kalau bisa semuanya, tapi mereka lupa, jika serakah bisa jadi sumber masalah."

Terdengar helaan napas dari Juno. Lelaki itu kemudian mengangguk. "Thanks, Bel."

"Ya udah, kita harus siap-siap ke Bali."

Bali? Astaga! Bagaimana Juno bisa ke Bali tanpa Cattleya apalagi di saat begini?

***

"Lima belas panggilan tidak terjawab." Kaira bergumam sambil berkacak pinggang, menatap ponsel Cattleya di atas meja. "Mbak mau sampai kapan mengabaikan telepon dari bebeb ganteng?"

Kaira mendesah gusar. Pagi tadi sekitar pukul setengah tujuh, kakaknya pulang dengan wajah layu. Tanpa berkata apa-apa, Cattleya langsung berbaring, menarik selimut, dan memejamkan mata. Padahal Kaira tahu persis, Cattleya tidak mungkin benar-benar tidur.

"Berisik kamu! Jam segini masih di rumah. Nggak sekolah?"

"Enggak. Kan mau kunjungan industri ke Bali. Berangkat nanti malam."

"Ya udah sana siap-siap! Jangan berisik "

"Kakak kenapa sih?"

"Nggak papa."

"Bohong! Aku ini adik Kakak, aku juga bisa kok dengerin cerita Kakak, bantu buat ringanin beban Kakak. Kenapa Kakak selalu mau menanggung sendiri?"

"Masih kecil, nggak usah ikut-ikutan."

Kaira menghela napas. Selalu alasan itu yang Cattleya katakan. Padahal Kaira sudah kelas sebelas sekarang.

"Tadi sekitar jam delapan, Pak Rangga ke sini nganter sarapan."

"Pak Rangga? Bentar, kamu tahu Pak Rangga?" Cattleya langsung menegakkan tubuhnya. Mengapa selama ini dia tidak tahu kalau Kaira kenal Rangga.

"Ya tahu lah. Dari aku masih SD."

"Hah? Maksud kamu?"

"Tiga hari setelah Ayah meninggal, kan Pak Rangga datang ke sini. Pas banget waktu itu aku nangis gara-gara Kakak nggak pulang-pulang padahal udah lewat maghrib. Pak Rangga kasih uang buat Mbak Yuli, tetangga kita dulu, minta dia buat beliin aku makan sama jagain aku malam itu."

Deal with Mr. Celebrity (Tersedia dalam Bentuk Buku dan PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang