28

1K 206 6
                                    

***

Malam selanjutnya, setelah di pulangkannya Jiyong dari rumah sakit, pasangan suami istri itu bertemu di lobby sebuah hotel. Lisa datang dengan mobilnya, yang kemudian menyerahkan kuncinya pada petugas parkir di sana. Sedang Jiyong datang diantar managernya. Keduanya datang tepat waktu, hampir bersamaan, lima menit sebelum pukul delapan.

"Kita tidak terlambat kan?" tanya Jiyong setelah Lisa yang datang beberapa detik lebih awal darinya, berdiri di hadapannya, menghampirinya di lobby utama hotel itu.

Malam ini Lisa masih memakai pakaian kerjanya– sebuah setelan blazer wanita dengan warna cokelat dan celana pendek senada yang hanya sebatas pahanya. Lisa ingin memakai pakaian putih, namun warna itu terlalu cerah untuk keadaannya beberapa hari ini. Sementara Jiyong yang baru kembali dari studio rekaman di agensinya, memakai sebuah celana jeans dengan kaos yang kemudian ia tutupi dengan selembar blazer hitam agar membuatnya terlihat resmi.

"Oppa kau lupa sepatumu?" ucap Lisa, membuat Jiyong yang malam ini masih memakai sebuah slippers langsung membulatkan matanya. Managernya sudah lama pergi dan sepatunya masih ada di dalam sana. Bahkan tas berisi pekerjaan dan beberapa barang Jiyong masih ada di mobil perusahaan itu. Jiyong hanya membawa handphone dan blazernya saat turun tadi.

"Heish! Manager baru itu- sebentar akan ku telepon dia," gerutu Jiyong, hampir mengumpat– namun ditahan karena ada banyak orang di lobby itu.

"Tidak perlu," jawab Lisa yang kemudian meraih lengan Jiyong untuk menggandeng pria itu bergegas ke lift yang terbuka. "Ini bukan pertemuan resmi, ini hanya makan malam keluarga. Aku yakin semua orang datang setelah bekerja, tidak ada yang bersiap-siap seolah ingin pergi ke pesta."

"Bukankah kau harus terlihat sopan di makan malam keluarga?"

"Ya kalau paman dan bibimu datang. Tapi kalau hanya orangtuamu, sepertinya tidak apa-apa, mereka akan mengerti-"

"Ada mertuaku di sana, kau-"

"Haruskah aku melepas sepatuku juga?" potong Lisa yang kemudian melihat sekeliling lantai lift, mencari seseorang yang memakai slippers di sana selain Jiyong. "Sebenarnya memakai sepatu ini juga melelahkan, tapi tidak ada slippers yang bisa ku pinjam di sini," ucap Lisa yang kemudian membuat Jiyong menyerah dan menurutinya. Tidak perlu sepatu pantofel, Jiyong bisa memakai slippersnya.

Mereka berjalan ke private restaurant yang sudah di pesan, kemudian di depan pintunya, Lisa menahan Jiyong. "Aku rasa, aku akan di marahi, bisakah oppa membelaku kalau aku di marahi?" tahan Lisa, sebelum pelayan di sana mengulurkan tangannya untuk membuka pintu private room mereka. Lisa harus memegangi tangan pelayan wanita itu agar pintunya tidak di buka lebih dulu.

"Kenapa kau di marahi?" tanya seorang pria, yang baru saja datang. Seorang pria yang datang dengan istrinya– Ten. "Karena menampar bibimu sendiri? Tsk... Kau dalam masalah Lisa," ledek pria itu, membuat Lisa ingin sekali memukulnya.

"Oh, kau juga memakai slippers adik ipar?" celetuk Jennie, memamerkan slippers merah mudah di kakinya yang terbalut perban. "Aku tidak terluka, ini bukti kalau aku baru saja bekerja, aku melarikan diri dari lokasi syuting," susul Jennie yang kemudian sebuah menunjukan seragam sekolah di balik mantel hitamnya.

Orang yang pertama datang dalam acara itu adalah ayah Lisa dan orangtua Jiyong. Ketiga orang itu datang dengan pakaian olahraga mereka, datang setelah selesai bermain golf. Lantas, Lisa dan Jiyong yang selanjutnya datang, meski mereka lebih dulu bertemu dengan Ten dan istrinya di depan pintu. Ten juga memakai pakaian olahraganya, pria itu bergabung dalam permainan golf sore ini, sementara Jennie datang diantar managernya dari lokasi syuting. Gadis itu terlalu lapar untuk sekedar berganti pakaian atau memoles lipstik di bibir polos khas anak sekolahnya. Ibu Lisa yang terakhir datang. Sama seperti Jennie, ibu Lisa juga datang dari lokasi syutingnya, diantar managernya. Wanita itu datang dengan gaun dan lipstik merah khas Cheon Seojin karena setelah makan malam ini ia perlu kembali ke lokasi syuting di sebrang hotel itu.

"Maaf, syutingku berlangsung lebih lama," ucap ibu Lisa, karena ia terlambat beberapa menit.

"Oppa," panggil Lisa, sembari menendang-nendang kaki Ten yang duduk di depannya. "Aku-"

"Dimana Dami dan Minjoon?" tanya nyonya Lee, bergabung dengan duduk di sebelah suaminya dan lebih dulu menyapa besannya, serta menanyakan mereka yang tidak hadir.

"Masih di Paris, baru akan kembali minggu depan," jawab nyonya Kwon.

Selanjutnya Soyeon menanyakan keadaan Jiyong yang baru saja kembali dari rumah sakit. Mereka berbincang mengenai penyakit dan keadaan Jiyong sekarang sembari sesekali mengambil jeda untuk makan. Acara makan malamnya menyenangkan meski para orangtua lah yang lebih banyak bicara malam ini.

"Eomma, bisakah kau menghapus lipstikmu?" tanya Ten kemudian. "Lisa terus menendang kakiku, katanya dia kesal melihat Cheon Seojin di sini," susul Ten membuat Lisa langsung memportesnya, bertengkar seperti sepasang kakak dan adik pada umumnya.

"Apa? Whoa... Kau pasti sudah melakukan kesalahan kalau sampai takut begitu," balas sang ibu yang sama sekali tidak berencana menghapus lipstiknya. Lipstik itu tidak mudah hilang kalau hanya dengan tissue. "Kesalahan apa yang kau lakukan? Sampai di tuntut pamanmu sendiri?"

"Tidak bisakah kita membicarakannya di kesempatan lain? Ini makan malam keluarga, iya kan?" jawab Lisa dengan senyum memelas khas si bungsu yang ingin di manja– senyum yang hanya ia tunjukan pada ibunya. Meski bukan kali pertama, setiap kali melihat senyuman itu, Jiyong selalu penasaran akan kah Lisa tersenyum seperti itu kepadanya? Mungkin suatu saat nanti?

Nyonya Kwon yang kemudian mengalihkan pembicaraan. Wanita itu penasaran, apa saja yang terjadi pada putranya selama di rumah sakit. Nyonya Kwon penasaran, apakah usahanya tidak menjenguk Jiyong waktu itu membuahkan sesuatu, penasaran apakah masalah yang datang beberapa waktu lalu membuat keduanya jadi semakin dekat atau justru sebaliknya. Sang ibu berharap, putra putri yang dulu ia jodohkan, kini bisa lebih mencintai satu sama lain, lebih mesra dan penuh kebahagiaan.

Di tengah-tengah obrolan tentang rumah sakit dan bagaimana hubungan pasangan suami-istri itu, Jiyong melirik Lisa. Pria itu seolah ingin mengatakan– ini lah bagian yang paling menggangguku selama pernikahan kita. Lisa yang dilirik kemudian tersenyum. Ia bebaskan Jiyong dan dirinya sendiri dari semua desakan itu dengan satu kalimat. "Semuanya berjalan lancar, sekarang kami terbiasa tidur bersama," ucap Lisa, membuat semua orang terkejut termasuk Jiyong.

"Satu ranjang?" tanya Jennie, sedikit berlebihan namun tetap Lisa jawab dengan sebuah anggukan.

"Kenapa kau membicarakan hal ini-" bisik Jiyong, tentu terganggu dengan pembicaraan itu.

"Kenapa? Mereka keluarga dan akan terus penasaran kalau kita tidak menjawabnya. Bisa-bisa, saking penasarannya mereka memasang CCTV di kamar," balas Lisa, sedikit menyindir. "Jangan khawatir, kami baik-baik saja sekarang. Semuanya sudah seperti seharusnya. Kami bisa hidup dengan baik, nyaman dan bahagia, jadi jangan mengusahakan apapun lagi. Tapi kalau soal cucu, bisakah Jennie eonni dan Dami eonni harus lebih dulu melakukannya? Aku masih takut..." ucap Lisa, menutup semua desakan yang sebelumnya menganggu mereka dengan sedikit kebohongan. "Ah! Dan minggu depan aku akan pergi ke New York, beberapa hari," lanjutnya, membuat Jiyong menaikan alisnya.

***

slice of lifeWhere stories live. Discover now