26

1.3K 220 18
                                    

***

Lisa tidak terbiasa menunjukan keresahannya pada orang lain. Ia butuh seseorang untuk berbagi kebahagiaan, namun tidak butuh siapapun untuk membagi keresahannya. Baginya, bercerita tidak membuat bebannya berkurang, namun sebaliknya, bercerita justru membuat bebannya terasa jadi semakin berat. Sederhana saja, ketika Lisa menceritakan keresahannya pada orang lain, pada seseorang yang berarti untuknya, orang itu pasti akan berusaha membantunya atau setidaknya ikut memikirkan sebuah solusi untuknya. Cerita akan keresahannya, justru akan membuat orang lain ikut resah bersamanya, hingga Lisa tidak ingin membagi keresahannya.

Selama ini Lisa punya banyak cara untuk mengurangi keresahannya. Ia punya sederetan kebiasaan yang bisa dilakukannya untuk mengurangi beban di hatinya. "Aku sangat marah, begitu marah sampai rasanya hampir gila, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang," rengek Lisa di tengah tangisannya.

Lisa masih menangis di sebelah ranjang, masih berjongkok di atas lantai. Sementara Jiyong yang belum bisa ikut berlutut bersamanya, memilih untuk duduk di tepian ranjang kemudian mengulurkan tangannya menyentuh puncak kepala Lisa. Jiyong mencoba menenangkan gadis itu, namun ia tidak meminta Lisa untuk berhenti menangis. Ia biarkan Lisa menangis sampai amarahnya mereda.

Tiga puluh menit mereka berada dalam posisi seperti itu. Jiyong tidak melakukan apapun selain mengusap puncak kepala Lisa, seolah pria itu tidak berusaha menghibur istrinya yang sedang menangis. Situasinya membuat Jiyong terlihat sangat dingin, sebab ia tidak berusaha melakukan apapun selain menonton wanitanya menangis.

Tangisnya perlahan-lahan berhenti, dan ia mengusap air matanya sebelum kemudian berdiri dengan wajah datar yang sudah tidak lagi resah.

"Terimakasih," ucap Lisa kemudian.

"Butuh pelukan?" tawar Jiyong namun Lisa menolaknya.

"Tidak, terimakasih untuk tawarannya," katanya yang kini berbalik hendak masuk ke kamar mandi. Berencana untuk membasuh wajahnya.

Jiyong tidak keberatan Lisa menolak pelukannya, pria itu kembali menyamankan posisinya di atas ranjang sementara istrinya berdiri di depan pintu kamar mandi. Awalnya Lisa sudah membuka pintu kamar mandi itu, namun di detik berikutnya, ia kembali menutup pintunya. Lisa kembali melangkah ke ranjang kemudian memeluk Jiyong yang hampir saja berbaring di ranjangnya.

"Kenapa kata-katamu tidak sesuai dengan sikapmu?" tanya Jiyong, mau tidak mau harus membalas pelukan itu meski perutnya sedikit nyeri saat ia harus condong ke depan untuk balas memeluk Lisa.

"Tiba-tiba saja aku tertarik..." balas Lisa yang kemudian melepaskan pelukannya.

"Kau bisa pergi kalau memang harus menyelesaikan masalahmu. Jangan memaksakan dirimu untuk tetap di sini lalu marah-"

"Aku tidak marah karena harus di sini. Aku harus tetap berada di sini," potong Lisa. "Sepertinya aku akan membunuh seseorang kalau aku keluar dari sini. Bagaimana mungkin aku tidak marah? Aku kehilangan banyak hal karena candaan sialannya! Augh! Memikirkannya membuatku marah lagi!" omel Lisa yang kini duduk di sebelah Jiyong dan merubah wajah resahnya menjadi wajah kesal yang luar biasa kesal. "Aku di tampar dan menampar seseorang saking kacaunya. Pipi dan tanganku sakit. Nilai saham perusahaanku jatuh. Para eksekutif marah. Publik mengutukku. Pelaku sebenarnya justru akan menuntutku dan oppa marah padaku. Aku pasti jadi Buddha kalau tidak marah," susul Lisa membuat Jiyong menganggukan kepalanya.

"Siapa yang kau tampar? Dia pasti kesakitan-"

"Aku juga kesakitan... Pipiku sakit karena ditampar, dan tanganku sakit karena menampar. Aku sakit dua kali," potong Lisa yang kemudian tertawa karena ucapan Jiyong– harusnya Lisa memakai alat untuk menamparnya, pakai sepatu atau vas bunga agar tangannya tidak sakit– begitu katanya.

slice of lifeWhere stories live. Discover now