24

1K 204 8
                                    

***

Pagi ini Lisa terbangun karena kedatangan seorang perawat bersama sarapan pagi pasien. Melihat Lisa yang baru saja bangun dan duduk di sofa, perawat itu menawarkan sarapan yang sama untuk Lisa, sebagai layanan ruang VIP-nya. Lisa menerima tawaran itu kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Ia basuh wajahnya di sana, sementara perawat yang baru saja datang itu keluar untuk mengambilkan Lisa sarapan lainnya.

Begitu Lisa selesai dengan urusannya di kamar mandi, gadis itu berpapasan dengan Jisoo yang baru saja datang untuk mengantarkan baju ganti juga sarapan untuk Lisa. Jisoo tidak mengatakan apapun sebelumnya, jadi begitu Lisa melihat Jisoo mengintip dari kaca bening di pintu ruang rawatnya, Lisa bergegas menghampirinya.

"Aku tidak bisa menghubungimu," komentar Jisoo begitu mereka bertemu di depan pintu ruang rawat. Di sana, Lisa menerima senampan sarapan dari perawat, juga dua bingkisan dari Jisoo.

"Handphoneku mati karena terlalu banyak telepon," jawab Lisa, membuat Jisoo merogoh tasnya untuk mengeluarkan pengisi daya handphonenya, memberikannya pada Lisa yang tidak membawa apapun selain handphonenya. "Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Paman dan bibimu akan menuntutmu, karena kau menghasut Minho untuk bunuh diri– aku tidak tahu tuntutan itu bisa dikabulkan atau tidak, tapi aku sudah menghubungi pengacara kita untuk mengatasinya. Kau benar-benar akan memutus kontrak Minho? Ku rasa akan ada banyak orang yang menentangnya, tapi aku dan Rose akan berusaha mengatasinya dulu sekarang. Suamimu lebih penting kan? Kau bisa tetap bersamanya selama beberapa hari ini, aku dan Rose akan mencoba menyelesaikan masalah mendesak lebih dulu. Dan lebih baik kau tidak datang ke agensi-"

"Bagaimana pun situasinya, fans Minho tetap akan menyalahkanku. Aku sudah membaca beberapa komentarnya semalam. Lalu Karina dan teman-temannya, bagaimana dengan debut mereka? Mau tidak mau kita harus menunda debut mereka karena masalah ini. Cobalah bicara pada anak-anak itu, kalau mereka keberatan kita lakukan semuanya sesuai jadwal," ucap Lisa disusul anggukan setuju dari Jisoo– bukan setuju, lebih tepatnya Jisoo tidak punya saran yang lebih baik dari keputusan Lisa itu. "Ah! Dan orangtuaku, paman dan bibi pasti menghubungi mereka. Beritahu orangtuaku- tidak, beritahu Ten oppa untuk mengatasi orangtuaku lebih dulu. Katakan kalau aku akan menemui mereka dalam beberapa hari setelah Jiyong oppa sembuh. Katakan juga pada mereka, kalau ingin menjenguk Jiyong oppa, jangan menyinggung masalah Minho-"

Lisa menghentikan ucapannya, gadis itu menoleh ke arah pintu ruang rawat di belakangnya dan melihat Jiyong yang sudah bangun membuka pintunya. Jisoo yang pertama menyapa Jiyong, sementara Lisa masih membisu karena canggung.

"Keadaan anda sudah lebih baik Taun Kwon?" sapa Jisoo, menunjukan perhatiannya yang tidak berlebihan. "Maaf, karena aku tidak sempat mampir untuk membawakan anda sesuatu," susul gadis itu karena Lisa yang masih diam di tempatnya berdiri.

"Sudah lebih baik, terimakasih," jawab Jiyong, tentu tidak keberatan karena Jisoo datang dengan tangan kosong. Jisoo datang untuk menemui bosnya– untuk bekerja– bukan untuk menjenguknya. "Bukankah ada hal lebih penting yang harus kita bicarakan sekarang?" susul Jiyong, kali ini pada Lisa dengan nada bicara yang terdengar kesal.

Lisa mengangguk, sedang Jiyong meninggalkan pintu itu dan kembali masuk ke ruang rawatnya. Lisa baru bisa menghela nafasnya setelah Jiyong menghilang, membuat Jisoo langsung menatap heran padanya.

"Kalian bertengkar?" tanya Jisoo, yang cukup sensitif untuk menyadari masalah lain di sana.

"Lebih tepatnya, dia marah dan aku bersalah?" jawab Lisa.

"Kenapa? Karena kau tidak ada di sisinya saat dia sakit? Katakan padanya situasimu, dia pasti-"

"Ya! Lee Lisa! Akh-" teriak Jiyong dari dalam ruang rawat– disusul erangan kesakitan– memotong ucapan Jisoo.

"Mengerti atau tidak, kali ini aku tetap merasa bersalah. Untuk sementara, lakukan seperti yang kita bicarakan tadi. Aku masuk dulu, pergilah, jangan menguping masalah keluarga- augh... Aku takut," gerutu Lisa yang kini bergegas masuk untuk menemui Jiyong yang marah.

Baru sepuluh detik setelah Lisa menutup pintu dan melangkah mendekati Jiyong. Langkahnya terhenti. Tentu bukan tanpa sebab, Lisa berhenti melangkah karena mangkuk sup milik Jiyong berguling mendekati sepatunya. Bukan membanting dengan sekuat tenaga, bukan sengaja ingin melempar sup di mangkuknya untuk melukai Lisa. Meski tidak terlalu kasar, meski suaranya tidak terlalu keras, juga meski mangkuk itu tidak hancur dan membuat banyak kehebohan, suara nyaring dari stainless steel yang jatuh ke lantai tetap menghentikan langkah juga nafas Lisa.

"Bukankah oppa terlalu berlebihan?" ucap Lisa, yang kini melewati mangkuk jatuh itu kemudian meletakan barang-barangnya di atas meja di depan sofa. "Aku tahu kalau aku salah, tapi aku punya alasan untuk pergi begitu saja tanpa menemui-"

"Itu yang aku rasakan kemarin," potong Jiyong, yang sedari tadi duduk di atas ranjangnya, menjatuhkan mangkuk supnya di depan Lisa kemudian memperhatikan kuah sup yang perlahan-lahan menyebar di lantai, membentuk genangan kaldu kecoklatan yang kelihatannya begitu gurih. "Sekeras apapun aku memikirkannya, aku tetap tidak bisa memakluminya. Aku tahu, pekerjaanmu begitu penting, milikku juga sangat penting. Aku juga sudah melihat beritanya, tentang Lee Know, sepupumu. Ya, masalah itu penting, masalah itu mendesak. Tapi membuka kunci, masuk ke rumah, meletakan supnya di meja, atau memberikannya langsung padaku- setidaknya menunjukan wajahmu padaku, tidak akan lebih lama dari satu menit. Bukan begitu? Kau hanya butuh lima belas langkah untuk sampai ke meja makan. Atau tinggalkan di ruang tengah kalau kau tidak ingin membuang lima belas langkah."

"Aku minta maaf, aku tidak tahu kalau supnya jatuh-"

"Aku tidak berharap kau menganggapku sebagai suamimu. Aku tidak berharap kau akan menghormatiku sebagai seorang kepala keluarga di rumahmu, tapi- apa aku bukan manusia? Aku manusia, bukan hewan peliharaan yang hanya perlu kau beri makan setiap hari," kesal Jiyong, tanpa meninggikan suaranya.

Lisa berencana menjawab ucapan itu. Ia berencana meminta maaf atas kesalahannya, atas sikapnya yang membuat Jiyong luar biasa tersinggung. Gadis itu tahu dimana letak kesalahannya, gadis itu mengakui kesalahannya, namun sialnya lidah Lisa tiba-tiba saja terasa kelu. Ini kali pertama ia melihat Jiyong benar-benar marah, benar-benar tersinggung, benar-benar kecewa. Lisa yang biasanya padai menjawab ucapan orang lain, kini hanya bisa terdiam. Bukan diam karena ia ingin Jiyong cepat-cepat selesai dengan emosinya, situasinya tidak seperti ketika ia dimarahi paman dan bibinya. Kali ini Lisa membisu murni karena otaknya tidak bisa memikirkan satupun kata yang pantas.

Rasanya Lisa ingin menangis saja. Menangis kemudian membuat Jiyong melunak seperti dalam drama. Lisa bertanya-tanya, akankah tangisannya mampu membantunya melarikan diri dari suasana menyesakan ini? Padahal belum lima menit Jiyong mengungkapkan alasannya marah, belum lima menit Jiyong memarahinya, namun Lisa sudah sangat ingin melarikan diri. Terlalu sesak, melihat wajah marah bercampur kecewa itu.

"Ma- maaf-"

"Pergilah," ucap Jiyong, tanpa mendengar bisikan Lisa yang terlalu pelan. "Pulanglah, beristirahat atau selesaikan urusanmu, terserah. Kau sudah ada di sini semalaman, kita anggap kau sudah mengugurkan kewajibanmu, tidak ada yang akan mengkritikmu karena pergi bekerja sekarang," susulnya, membuat Lisa benar-benar menjatuhkan setetes air matanya.

Lisa masih ingin berada di sana, namun ia tidak bisa memakai beberapa menit kesempatan yang Jiyong berikan untuk bicara. Untuk menjelaskan situasinya atau justru meminta maaf. Gadis itu tidak bisa melakukan apapun selain berdiri tertunduk di tempatnya.

***

slice of lifeWhere stories live. Discover now