31. Kampung Arta.

2.6K 329 13
                                    

Seorang gadis baru saja sampai ke bandara. Sejak tadi Fita celingak-celinguk mencari keberadaan adik sepupunya. Ia baru saja pulang dari Amerika dan ingin menemui Selly. Seperti biasanya, ia akan liburan di Jakarta bersama Monica dan Selly.

Dari kejauhan terlihat Selly yang melambaikan tangan ke arahnya. Senyum Fita pun terbit kala minat adik sepupunya berlari ke arahnya dan langsung memeluk tubuh Fita erat.

“Huaaa gue kangen sama lo njir, udah tiga bulanan kita nggak ketemu Sell!” teriak Fita kegirangan bahkan kacamata hitamnya pun hampir lepas dari kepalanya.

Selly mengangguk. “Aku juga kangen banget sama kak Fita. Ohhh iya, kenapa nggak bilang-bilang dulu sih, kalo mau ke Jakarta. Pake acara jemput tiba-tiba lagi, bikin kaget aja.”

Fita terkekeh kecil. Lalu tangannya kini menarik tangan kakaknya agar segera pulang, banyak sekali yang ia ceritakan kepada kakak sepupunya itu.

“Lo kenapa sih tarik-tarik gue mulu, gue bukan kambing woy!” seru Fita namun di hiraukan oleh Selly.

Meraka berdua menaiki taxi yang tadi ditumpangi oleh Selly. Sepanjang perjalanan mereka saling bertukar cerita selama Fita pindah ke Amerika, dan yang membuat Fita kaget. Ternyata Monica bukalah Mamah kandungnya.

Selang beberapa menit, Selly dan Fita telah sampai ke rumah Monica. Suasana di rumahnya sangat sepi dan sunyi, mungkin Monica dan Cleo sedang berada di kantor. Selly melirik ke arah Fita yang melirik-lirik rumahnya terasa berbeda.

“Rumah lo di renovasi ya Sell?” tanya Fita menatap seluruh sudut rumah Selly.

“Kamu nggak tau aja kak, kan Mamah suka gonta-ganti motif tembok,” Selly memutar bola matanya malas. Padahal Fita tidak sekali dua kali masuk ke rumahnya, namun tetap saja. Kalau Fita masuk ke rumahnya, maka dia akan mengira kalau rumah Selly setiap bulannya berbeda-beda.

Fita cengengesan lalu berlalu ke kamarnya, memang kamar Fita yang berada di rumah Selly tidak ditempati oleh siapapun kecuali oleh Selly sendiri. Setelah Selly dan Fita masuk ke kamarnya masing-masing. Tiba-tiba Fita ikut ke kamar Selly sesudah menaruh segala barang-barangnya.

“Ehh Sell, lo mau pindah kemana pake beresin baju-baju. Mana tas-nya udah mau kemping lagi pada gede-gede,” ucap Fita saat melihat adik sepupunya yang sedang menata baju-bajunya.

Selly menoleh. “Aku mau ke Gua Arta.”

“Untuk?”

Selly menghela nafas panjang lalu duduk di sebelah Fita. “Aku mau ngambil kalung kegelapan. Kata Papah Geno, kalung kegelapan dan kalung kematian harus di satukan dan di hancurkan secara bersamaan. Kamu tahu kan di sekolah aku ada lorong kematian. Nah, aku mau hancurin lorong itu supaya nggak ada lagi korban.”

Fita menatap Selly tak percaya. “Gua Arta? Lo nggak takut?” tanya Fita serius.

Selly menggelengkan kepalanya. “Aku nggak sendirian kesana. Kak Zidan dan teman-teman aku yang lain juga ikut.”

“Gue ikut dong. Lumayan buat cari pengalaman. Tapi gue takut karena katanya Gua Atra itu angker, mana nggak ada rumah lagi, dan gue juga pernah denger kalau itu hutan terlarang. Emang lo nggak takut kalau kita mati kayak orang-orang disana?” tanya Fita bergidik ngeri.

Selly termenung sejenak. Namun ia harus mengambil kalung itu, kalau tidak. Maka lorong kematian Gardenia akan abadi selamanya. Mungkin hingga Monica tiada.

“Kalau nggak mau ikut juga nggak masalah. Aku pergi sama temen-temen aku aja.”

Fita menggelengkan kepalanya. Ia juga ingin ikut Selly ke Gua Atra. Namun ia takut apa yang temannya bicarakan di Amerika itu jadi kenyataan. Fita membuang pikirannya itu jauh-jauh. Lalu ia menatap Selly kembali.

Lorong Kematian [SELESAI]Where stories live. Discover now