Chapter 20. Sentimental Trip (1)

Start from the beginning
                                    

Di belakangnya, Midoriya menyusul. Trolinya lebih penuh dari milik Bakugou, ada berbagai snack dan minuman di sana. Tangannya menjinjing terpisah sekantung plastik ikan mentah. Berselang lima menit dari sana, Todoroki muncul. Bakugou yang sudah selesai dengan pembayarannya memperhatikan troli Todoroki, berdiri tidak jauh dari sana. Ada tiga gunting, sebuah pisau, tiga buah sekop, sekotak paku payung, palu, trashbag, keranjang buah, lakban, plastic wrap, tiga toples kecil, panci kecil, selusin tatakan gelas, sekotak korek api, selusin lilin, petasan, dan kembang api. Ia memergoki kasir yang melayani Todoroki menatap pemuda itu curiga.

"Praktikum fisika tentang tekanan ledakan." Todoroki menunjuk petasannya.

"Keranjang buah?" Todoroki tertawa kecil, ketika kasir itu mulai bertanya.

"Itu tentu buat buah, ayahku mengirim banyak apel kemarin sore." kasir di depannya kembali menghitung barang Todoroki.

Beberapa menit kemudian mereka meninggalkan supermarket Musutafu, bergegas memasukkan barang belanjaan mereka ke dalam bagasi mobil dan kembali duduk di bangku mereka masing-masing. Todoroki kembali menyalakan mesin, tujuan mereka selanjutnya adalah taman komplek rumah mereka. Setelah mobil terparkir di sisian taman komplek, mereka menyimpan bahan-bahan tugas pembuatan miniatur di dalam bagasi. Mereka sengaja berlompatan melewati jejeran ban warna-warni sambil menjinjing masing-masing satu kantung plastik besar saat masuk ke area taman--tertawa-tawa kecil.

Mereka mendekati sebuah perosotan semen yang berbentuk kubah dengan rongga di bagian bawahnya. Permukaannya dibuat seperti punggung kumbang, Bakugou bisa melihat cat merah dan hitamnya sedikit pudar akibat lama disengat matahari meskipun di malam hari. Mereka masuk bergantian ke bagian rongga kubah itu melalui celah (pintu) yang berukuran tidak sampai satu kali satu meter di bagian sampingnya. Mereka mulai mengeluarkan tatakan gelas dan menjajarkan empat buah di bagian tengah. Midoriya mengeluarkan empat lilin, membakar sumbunya sebelum menyimpannya pada empat tatakan yang sudah mereka siapkan.

Seketika ruang kubah perosotan itu jadi terang. Bakugou mengikuti arah pandang Midoriya dan Todoroki yang merayapi tembok-tembok kubah itu. Berbagai coretan anak-anak menggunakan spidol memenuhinya. Di antara coretan itu, ada coretan-coretan mereka sendiri sewaktu kecil. Mereka menggambar berbagai bentuk, lebih sering membuat gambar tidak jelas atau sekadar garis yang mereka buat sambil berlari mengelilingi kubah itu. Bakugou berhenti memperhatikan permukaan tembok setelah bau menyengat menghinggapi hidungnya.

"Fuck, ikan lo bau amis!" Bakugou mengeluh ketika Todoroki membuka bungkusan ikan mentahnya.

"Yeah, lo jenius, Bakugou. Sejak kapan ikan enggak bau amis?" Todoroki mengambil keempat ikan mentah dari dalam bungkusannya dengan tangan yang sudah ia selubungi plastik kecil.

Bakugou melihat Todoroki menyimpan empat ikan itu di atas kerajang buah. Pemuda berambut merah itu lantas keluar dari kubah. Saat ia kembali, keranjang buahnya--yang terbuat dari anyaman rotan--sudah diisi penuh pasir. Tangannya yang sudah tidak berplastik merogoh ransel, mengeluarkan sebuah kertas seukuran B5 dan menaruhnya di atas pasir dalam keranjang buahnya. Todoroki menggapai plastic wrap, membuka gulungannya dan melapisi semua bagian keranjang buah dengannya. Bakugou keheranan saat Todoroki selesai dengan apa yang ia buat.

"Itu bukan tulisan lo," Midoriya menunjuk kertas yang terselip di dalamnya.

Todoroki menunjukkan tulisan itu dengan memberdirikan vertikal keranjangnya, "Ini tulisan Momo."

"Selamat, lo dapet pacar yang sama kriminalnya kayak lo." Bakugou tersenyum miring sembari membaca 'Di sini terkubur bangkai kebahagiaan yang sudah lama mati dari keempat anak-anakmu. P.s.: Jangan lupa digali.' yang Yaoyorozu tuliskan pada kertas itu.

Todoroki tertawa. Perhatian mereka lalu teralih pada Midoriya yang sibuk memasukkan berbagai makanan dan coklat favorit ibunya ke dalam kotak karton. Midoriya melapisi bagian bawah kotak itu dengan kertas buket, menatanya dengan cantik. Satu mug pesanan bertuliskan 'love ya more than "to the moon and back", really' pemuda itu keluarkan dari dalam ranselnya. Menyimpan mug itu dengan hati-hati ke dalam kotak karton yang sama. Midoriya kembali mengeluarkan segulung pita besar dari ranselnya, mengikatkan pita itu dengan kencang dan cantik. Bakugou menyerahkan kartu ucapan yang Midoriya pesan sebelumnya, sekaligus dengan amplop bewarna hijau daun yang sangat menawan. Ia melihat Midoriya menuliskan sesuatu di dalam kartu ucapannya, kemungkinan ucapan selamat ulang tahun karena ibunya baru berulang tahun dua hari yang lalu.

Bakugou berhenti memperhatikan kedua sahabatnya, ia menaruh buket bunga artifisial yang ia keluarkan dari dalam kantung belanjaannya di dekat kaki. Tangan kanannya merogoh ke dalam ransel, mengeluarkan kaus baseball bertuliskan nama Masaru di punggungnya yang ia gulung serapi mungkin dan memasukkannya pada toples mika silinder. Bakugou menyatukan kedua barang itu dengan pita oranye, sedikit melekatkan pemukaan toples mikanya pada badan buket bunga dengan double tape. Tanpa ia sadari senyum mengulas di wajahnya.

"Lo beneran mau kasih itu buat kakak-kakak lo?" Midoriya bertanya pada Todoroki, membuat Bakugou mengalihkan pandangan kepada mereka.

"Bagus, 'kan? Gue simpen satu di kamar asrama gue, yang ini buat mereka." Todoroki memamerkan foto bersama ketiga orang kakaknya dalam tiga buah bingkai silver yang indah.

Bakugou langsung bisa menangkap perasaan kuat yang Todoroki tuang ke dalam semua foto itu. Seperti perasaan Midoriya yang ditumpahkan pada kotak yang ia buat sebelumnya. Sama seperti perasaannya yang ia tuangkan lewat buket bunga dan kaus baseball untuk ayahnya.

"Sejak kapan pangeran es kita ini punya keromantisan?" Bakugou berbisik pada Midoriya yang tertawa.

"Lo berdua udah selesai? Ini udah setengah dua belas, kita keliling sekarang?" Todoroki menguncang kunci mobil di tangannya.[]

[Todoroki Shouto | Bakugou Katsuki] Suffocating Book I: SuffocatedWhere stories live. Discover now