Chapter 19. Home (Isn't Always) Sweet Home

425 94 13
                                    

⌜𝙎𝙪𝙛𝙛𝙤𝙘𝙖𝙩𝙚𝙙 (adj.) 𝑓𝑒𝑒𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑟𝑎𝑝𝑝𝑒𝑑 𝑎𝑛𝑑 𝑜𝑝𝑝𝑟𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑⌟

─────────────────────


Ketika pintu rumahnya terbuka, ia langsung melihat wajah Masaru yang dihantui kekhawatiran. Itu sekitar pukul setengah dua pagi saat Bakugou sampai di pelataran rumahnya dengan Inasa dan Camie yang berdiri di sisi kanan-kiri Bakugou. Masaru terlihat akan bertanya, tetapi Camie segera menembak kalimat terlebih dahulu.

"Ah, Om Masaru!" katanya dengan suara pelan, "Sudah lama aku enggak ketemu Om, aku dan Inasa enggak sengaja ketemu Bakugou di dekat stasiun waktu kita berdua baru sampai di stasiun dari Nagasaki! Bakugou kehabisan tiket kereta ke sini. Jadi kami mengantarnya sekalian, kebetulan Inasa simpan mobil di parkiran stasiun--"

Inasa berdehem, "Begitu, Om. Aku dan Camie sebaiknya segera pulang karena jam tujuh kami harus langsung ke Shiketsu." ia lalu menoleh pada Bakugou, "Bakugou, gue sama Camie balik sekarang, oke? See you next time. Mari, Om."

Inasa memberi bungkukan kepada Masaru yang juga membungkuk. Di sebelahnya Camie ikut membungkuk sebentar sebelum pergi menyusul Inasa.

Saat menoleh, Bakugou mendapati ayahnya masih memasang wajah bingung, ia berusaha menyusun kata-kata, tetapi yang tumpah ruah justru air matanya. Ia bisa merasakan tangan Masaru tengah menurunkan hoodie dari kepalanya. Masaru terlihat terkejut sejenak, sebelum menyisir rambut Bakugou dengan jarinya. Tanpa berkata apapun, Bakugou kemudian ditarik ke dalam pelukannya.

"Sssh, Katsuki, it's okay. Dad di sini," ia mengelus kepala Bakugou, "ayo ke kamar, kamu enggak mau Mitsuki kebangun dan marah-marah, 'kan?" Bakugou mengangguk perlahan.

Ia baru selesai membersihkan diri dibantu ayahnya ketika Masaru mengangkat tangannya, perlahan memakaikan piyama untuk Bakugou. Pemuda itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi meringisnya ketika Masaru membantunya memakai celana piyama, membuat ayahnya itu sekilas kembali khawatir. Sambil masih berdiri, Bakugou menoleh pada cermin yang tidak jauh dari posisinya. Ia mengerti sekarang mengapa ayahnya sangat khawatir. Pipi kanannya lebam, sudut bibir sebelah kirinya terluka--seperti bekas tergores kuku. Bakugou memejamkan mata, sekuat tenaga menghambat keluar air mata dari sana.

"Sayang," Masaru menarik pipi Bakugou pelan-pelan, "kamu bisa berbaring sendiri? Punggung atau pinggangmu masih sakit?"

Bakugou tersentak, "D-dad--" ia mendadak kembali menangis, Masaru tahu, ayahnya mengetahuhinya.

Ayahnya mengangguk, meremas pundak Bakugou pelan--seolah menyalurkan seluruh cinta dan mantra kesembuhan mental untuk Bakugou. Bakugou kembali didekap dengan penuh kehati-hatian.

"Siapa orangnya?" nada suara Masaru terdengar datar, "Maukah kamu memberitahu Dad?"

Di ceruk leher Masaru Bakugou menggeleng. Bakugou tidak mau membicarakannya, tidak mau menyebutkan namanya--tidak bisa. Ia tersedu-sedu pelan ketika Masaru mengangguk, melepaskan dekapannya. Ketika Bakugou mengangkat kepalanya, rasa pusing menyergap. Di depannya Masaru sigap memegangi Bakugou saat anak semata wayangnya itu terlihat sedikit oleng. Bakugou lantas diajak ke ranjangnya, dibaringkan pelan-pelan seolah semua tulangnya tengah patah di sana-sini.

"Dad paham, kalau kamu enggak mau dulu cerita." Masaru menaikkan selimut, "Coba untuk tidur, Dad ambil kompresan. Kamu mulai demam." Bakugou bisa melihat amarah yang mengintip di sela-sela permukaan lensa mata ayahnya.

Ia menarik tangan ayahnya sebelum pria itu keluar dari kamar Bakugou, "S-someday," Bakugou mencoba bicara lebih benar, "suatu hari, Dad, aku janji bakal bilang."

[Todoroki Shouto | Bakugou Katsuki] Suffocating Book I: SuffocatedWhere stories live. Discover now