Parent's Decision

2.5K 394 96
                                    

Aku kembali~


Happy reading!^^



~°~°~



Aku hanya diam dan berpura-pura tak terpengaruh ketika appa menatap kami—aku dan Jisoo Oppa—dengan tatapan mengintimidasi. Sementara Jisoo Oppa, tampak lebih tenang lagi meski tangannya yang diam-diam menggenggam tanganku di bawah meja bergetar dan berkeringat dingin.

Aku sesekali melirik jam dinding. Ini sudah lewat tengah malam dan appa belum mengatakan apa pun. Kantuk sudah mulai menyerangku, belum lagi khawatiran terlambat besok pagi.

Appa perlahan menaikkan sebelah alisnya. Ia melirik kami bergantian. Sebuah pertanyaan akhirnya keluar. "Sejak kapan?" tanyanya.

"Sejak apa?" tanyaku balik.

"Hey," tegur Jisoo Oppa. Ia kemudian menatap lurus ke arah appa. "Aku tidak tahu tepatnya, tapi kira-kira setahun ke belakang ini. Semenjak interaksiku dengan (y/n) berjalan dengan baik seperti semula. Seperti yang Abeoji tahu, kami pernah terlibat kecanggungan bertahun-tahun setelah Yoora pergi."

"Kau, (y/n)? Kau tidak menyukai Jisoo sejak–"

"Tentu tidak," sahutku sedikit kesal. "Bagaimana mungkin Appa berpikir seperti itu? Aku tidak pernah punya niat mengambil milik orang lain, apa lagi milik kakakku sendiri. Aku baru merasakannya setahun ke belakang, sama seperti Jisoo Oppa. Ohh ya, dan sepertinya aku duluan yang menaruh hati padanya."

Appa menghela napas berat. Ia melepas kacamatanya yang ia pakai sebelum mengintimidasiku dan Jisoo Oppa supaya terlihat lebih serius. Itu asumsiku sih. Tapi aku yakin begitu.

"Kalian membuatku kecewa, anak-anakku," sahut Appa kemudian. Ada jeda yang begitu panjang. Aku merasa seperti terperangkap dalam pasir hisap, tinggal menunggu kapan aku akan ditelan pasir dan lenyap selama-lamanya. Entah mati entah bagaimana.

Appa terus memberikan tatapan yang sangat sulit diartikan. Tatapan itu tidak mengerikan tapi juga tidak menyenangkan. Seperti sedang menahan sesuatu. Dan aku tidak yakin itu hal yang bagus. Aku merasa dikuliti hidup-hidup dengan tatapan itu. Jantungku berdebar bukan main. Ini lebih mendebarkan daripada melihat Jisoo Oppa tiba-tiba berlutut untuk meminta restu appa sebelum berangkat makan malam tadi.

Jisoo Oppa mulai gelisah karena tatapan itu. Ia mulai tidak bisa diam di tempat duduknya. Tangannya juga semakin erat menggenggamku.

"Abeoji ..." Jisoo Oppa menunduk, "maafkan aku. Aku pasti sangat mengecewakanmu. Kau mungkin tidak pernah berharap punya satu menantu untuk kedua anakmu. Kau pasti berharap (y/n) bisa mendapat pria yang jauh lebih baik dariku, punya keberhasilan dan keterampilan yang baik, juga bisa menjaga (y/n) dengan baik."

Ia tiba-tiba berhenti, seperti kalimat yang akan ia utarakan tertahan di batang tenggorokannya dan sulit untuk keluar. Matanya mulai bergetar. Pasti sangat sulit baginya untuk menghadapi ini mendadak.

"Aku memang tidak bisa menjaga (y/n) dengan baik. Aku beberapa kali lalai. Aku tidak bisa membantunya melawan depresi setelah kepergian Yoora, aku hanya bisa mencontohkan padanya bagaimana caranya untuk tegar, menunjukkan padanya bahwa kehidupan akan terus berlanjut," ujarnya. "Aku juga lalai menjaga kesehatannya. Ia pernah masuk ke rumah sakit karena magnya semakin parah."

Brother in Law [Seventeen Imagine Series]Where stories live. Discover now