Bagian 26A (Repost)

1.6K 76 3
                                    

Ps: Maaf kalo banyak typo

Editing

*****

New York, Amerika Serikat
Sabtu, 09 April 23.45 PM

Skin Face menggerutu kesal. Gara-gara perubahan jadwal secara tiba-tiba, ia harus memikirkan kembali rencana apa yang akan membuatnya berhadapan dengan Alea. Mungkin jika wanita itu berada di pegelaran busana ia akan cukup mudah untuk menemuinya, tapi hotel? Bagaimana ia bisa menemui wanita itu tanpa alasan  dan identitas yang jelas. Belum lagi kamera CCTV yang pasti terpasang di seluruh hotel dan kamar Alea, itu sangat menyusahkannya.

Untuk ke sekian kalinya, Skin Face meremas rambutnya yang tak seberapa. Memikirkan rencana apa yang kemungkinan dapat berjalan baik tanpa meninggalkan jejak. Lalu sedetik kemudian, seukir senyuman terbit di wajahnya. Ia tahu, rencana apa yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan gadis itu. Membunuh Evelyn di tempat yang dipenuhi manusia saja ia bisa menaklukkannya, mengapa ia tidak bisa menangani satu wanita di dalam kamar besar sebuah hotel.

Akhirnya Skin Face mulai mempersiapkan diri. Ia membersihkan tubuhnya dengan air dingin yang terbatas. Tubuhnya hanya dicuci dengan sabun batangan murahan yang bahkan tak sampai satu dolar. Tapi Skin Face tak masalah. Baginya ini tak seberapa, ia pernah hidup tanpa air berhari-hari dan akhirnya ia dapat bertahan hingga sekarang. Ah, mengingat kehidupan sulitnya membuat dirinya merindukan sosok yang selalu berada di sampingnya, bersamanya, dan selalu mendukungnya.

Tak ingin membuang waktu lagi, ia segera mengenakan pakaian pelayan berwarna biru muda. Motel ia menginap berseberangan dengan hotel di mana Alea menginap. Sangat mudah untuk mencari pakaian karyawan yang mereka kenakan, kemeja biru muda dengan setelah bawah berwarna hitam. Tidak ada logo hotel atau pun hal yang menunjukkan bahwa mereka bekerja di hotel tersebut. Jadi, ia bisa mendapatkan pakaian itu di toko-toko murahan. Sebelum keluar dari kamarnya, Skin Face mengenakan jaket hitam yang membungkus tubuhnya, tidak lupa topi berwarna serupa bertengger di atas kepalanya. Di dalam kaos kaki nya sudah ada sebuah pisau kecil, sapu tangan putih di saku bajunya dan pisau berinisial AE yang berada di dalam saku celana panjang miliknya. Semuanya sudah ia siapkan dengan sangat matang.

Kau akan mendapatkan apa yang selama ini kau resahkan, Rose. Bisik seseorang berjubah hitam di dalam benaknya.

Skin Face bersembunyi di balik gang sempit yang gelap di saat hotel tempat Alea berada sudah berada di hadapan matanya. Ia harus mempersiapkan semuanya sekarang, tidak boleh ada sedikit pun kesalahan. Skin Face menghela nafas, setelahnya ia berjalan tenang memasuki hotel dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya. Syukurlah, karena ia sudah mempelajari seluk beluk hotel ini, jadinya ia tidak akan kesusahan untuk mencari ruang perlengkapan maupun pencucian pakaian.

Skin Face berjalan ke lorong timur, memasuki ruang perlengkapan dengan kartu tanda pengenal yang sudah ia palsukan. Ah, ia kira hotel mahal memiliki penjagaan yang ketat tapi nyatanya ada saja hotel yang ingin mencari untung lebih banyak tanpa repot-repot menyewa pengawas keamanan. Memang benar motto manusia serakah di zaman sekarang, uang di atas segalanya, tanpa uang lebih baik mati. Dulu manusia yang mengendalikan uang. Tapi lihatlah sekarang siapa yang dikendalikan oleh uang. Seakan uang adalah Tuhan, pemberi kebahagiaan. Oh, betapa pentingnya uang di kehidupan manusia.

Skin Face keluar dari ruang perlengkapan dengan beberapa lembar handuk berwarna putih di tangannya. Oa berjalan menuju lift khusus pegawai, yang berada di lorong selatan. Tangannya menekan angka dua puluh tiga, lantai dimana Alea menginap. Keberuntungan yang kali ini menghampirinya adalah, ia hanya seorang diri di dalam lift dengan besi kotak tersebut tanpa kamera CCTV. Hotel macam apa yang tidak memasang kamera pengintai di dalam lift yang selalu di gunakan.

Bunyi lift berdenting menandakan bahwa sekarang ia sudah sampai di lantai dua puluh tiga. Dengan cepat Skin Face mengambil langkah ke arah kiri, berjalan dengan santai seakan ia bukanlah lawan yang membahayakan. Ketika ia berada di depan pintu bernomor dua ratus tiga puluh sembilan, Skin Face berhenti. Jari telunjuknya terangkat menekan tombol bel yang berada di depan pintu. Lama ia menunggu, Skin Face memutuskan untuk kembali menekan bel. Sungguh, ia benci menunggu seperti ini, pikirnya.

Lima menit kemudian pintu terbuka, menampilkan Alea yang berdiri dengan bathrobe serta handuk di kepalanya. Bulir-bulir air masih tersisa di wajah dan lengannya. Alea tersenyum ramah, mempersilahkan Skin Face masuk ke dalam kamarnya. "Silahkan masuk. Maaf aku baru saja menyelesaikan mandiku," ucap Alea dengan suara merdunya.

Dasar bodoh! Dia mempersilahkan malaikat mautnya masuk dengan senang hati, setelahnya Skin Face tertawa dalam hati.

Skin Face mulai memainkan perannya sebagai pegawai hotel. Ia menunduk hormat, sambil mengulas senyum kecil dengan tangannya yang memperbaiki topi hitam yang bertengger di kepalanya. Skin Face masuk di saat Alea berjalan terlebih dahulu menuju walk in closet. Tanpa sepengetahuan Alea, Skin Face mengunci pintu kamar hotel, memasukkan kuncinya ke dalam saku kemeja yang ia kenakan.

Skin Face berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membawa beberapa handuk yang sudah di ambilnya dari gudang perlengkapan. Awalnya ia bersikap biasa-biasa saja, seakan tida ada hal berbahaya yang akan terjadi. Namun, ketika ia mendengar suara pintu yang terbuka, Skin Face sudah menyiapkan pisau di belakang punggungnya.

Skin Face berjalan keluar, menyandarkan tubuhnya di depan pintu sambil mengamati Alea yang berdiri di depan cermin besar sembari berputar-putar melihat penampilannya. Tanpa sadar, ia menyeringai. Membayangkan Alea menangis sambil memohon ampun kepadanya.

Alea wanita yang baik, tidak seperti Evelyn yang sombong dengan sedikit bakatnya. Namun sayang sekali, wanita itu harus mati di tangannya.

Skin Face berjalan mendekat dengan langkah santai. Sepatu yang bergesekkan dengan lantai menimbulkan bunyi mencekam di antara keduanya.

Ketika langkah Skin Face semakin mendekat, Alea berbalik sambil menampilkan wajah bingungnya. Ia berkata dengan nada ragu, "Ap.. apa yang kau lakukan?"

Dia menjawab, "Apa itu penting, nona?"

Skin Face semakin mendekat, membuat Alea melakukkan gerakan melindungi dengan tangan di depan dada serta tubuhnya yang berangsur mundur sedikit demi sedikit. Senyuman semakin tercetak jelas di wajah Skin Face, melihat raut ketakutan di wajah korbannya merupakan kesenangan tersendiri untuk dirinya.

"Menjauhlah dariku!" jerit Alea.

"Siapa kau yang bisa mengaturku," ejek Skin Face.

Di saat Alea mengenggam ponselnya, Skin Face bergerak secepat kilat. Ia mengambil ponsel wanita itu, membuangnya ke sembarang arah sehingga menyebabkan bunyi nyaring yang diakhiri dengan serpihan ponsel yang terpisah-pisah.

Skin Face mencengkram dagu Alea, membuat wanita itu semakin ketakutan sambil meringis kecil ketika cengkraman Skin Face semakin menyakitinya.

"A.. apa mau mu?"

"Menggirimu ke surga," sedetik kemudian tubuh Alea terlempar ke atas tempat tidur dengan pisau yang sudah bertengger di paha putih milik, Alea.



 A Lady of Killer (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang