Bagian 19

894 68 5
                                    

California, Long Beach
Jum'at, 26 Maret 13.50 PM

Max menuangkan anggur merah dari botolnya. Pria itu butuh alkohol untuk menenangkan pikirannya. Sekilas ia mengingat apa yang ditemukannya pada tubuh hancur Evelyn tadi pagi, sebuah kertas dengan bercak darah.

Ia segera bangkit dari duduknya, berjalan ke ruang pencucian baju di ruang bawah tanah, membongkar seluruh pakaian kotor di keranjang cucian. Kedua matanya menangkap kemeja yang semalam dikenakannya, merogoh saku kemeja yang terlihat warna merah pekat di bagian luar.

Secarik kertas kotor didapatnya. Terlihat tulisan tangan yang sulit dibaca, mungkin ditulis dengan buru-buru. Max segera membukanya, ia berjanji akan memberitahu yang lainnya setelah ia mengetahui apa isi dari kertas kecil tersebut.

Dasar pria bodoh! Di saat kau bersama mantan kekasihmu tapi kau malah memuji dan berdansa dengan pria lain. Pria sepertimu dirimu tak pantas untuk hidup!

Skin Face (Rose)

Max terkejut ketika lidahnya berhenti membaca. Ia marah sekaligus terkejut dengan keberanian yang ditunjukkan Skin Face secara terang-terangan. Pembunuh selalu berada di sekitarnya, dia mengikuti dirinya dan Annabeth.

Sesuatu menghantam dirinya, menyadarkannya akan suatu hal. Jika saja pembunuh ini tau apa yang dilakukan olehnya, tidak jauh beda dengan Annabeth. Pembunuh sialan ini pasti juga akan mengikuti Annabeth, kemana pun. Ini tidak bisa dibiarkan, Max tidak ingin Annabeth dalam bahaya.

Walaupun hatinya sakit karena penuturan Annabeth beberapa hari yang lalu, tanpa dapat dipungkiri hati ini masih seutuhnya untuk wanita itu. Tidak ada rongga yang kosong yang dapat terisi bahkah terselip sekali pun. Melihat keakraban Annabeth dan William saja membuat dirinya terbakar api cemburu. Hanya dirinya yang boleh memeluk Annabeth, hanya tangannya yang boleh menyentuh wanita itu. Tidak William, atau pun pria lain.

"Aku harus mendapatkannya, sebelum dia menyakiti Annabeth!" gumamnya sambil meremas-remas kertas di tangannya.

Max diam sambil menatap tajam ke arah depan. Pandangannya setajam silet. Mungkin jika lebih lama lagi ia memandangi tembok di depannya, dalam hitungan deting tembok itu akan hancur seketika. Bukan rasa takut yang dirasakannya, melainkan rasa marah dan khawatir. Marah karena pembunuh itu berani-beraninya melakukan perlawanan secara terang-terangan, walaupun Max menyukai apa yang dilakukan pembunuh itu, tapi ia juga sangat khawatir dengan keadaan Annabeth saat ini. Sedang apa wanita pemberani sepertinya?

Sebuah mobil terlihat bergerak tidak teratur. Mobil tersebut oleng, hampir saja mobil SUV berwarna hitam tersebut menabrak pengendara lain jika saja pengemudinya tidak segera membanting setir, menyebabkan mobil tersebut menabrak pekarangan seseorang.

Sial!

Seorang pria yang mengemudikan mobil tersebut keluar dari mobilnya, mendapati pekarangan rumah seseorang yang tak dikenalnya berantakan dengan banyak bunga yang patah serta pot-pot yang berhamburan.

Di depannya terlihat rumah berwarna putih kecil dengan tanaman gantung yang terlihat di sekitar teras rumah tersebut. Jendela yang terbuka menampilkan seorang gadis yang duduk di meja belajar sambil menatap----lebih tepatnya----membaca buku tebal berwarna coklat.

Pria itu menghembuskan nafasnya, ia harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.

Benar-benar sial. Jika saja ia mengecek mobilnya sebelum pergi, mungkin hal ini tak akan terjadi.

Pria itu berjalan menuju teras rumah gadis tersebut. Mengetuknya beberapa lagi hingga terdengar gemeletuk seseorang yang berjalan di atas lantai.

Pintu terbuka. Memperlihatkan seorang gadis dengan rambut panjang tergerai serta baju berwarna pink lucu yang dikenakannya. Sandal berkarakter bebek terpasang di kakinya. Ia menatap pria itu dengan bingung sambil tersenyum.

Pria itu terpaku ketika mata mereka saling menatap. Mata itu seakan menghipnotis pria itu. Senyum manis yang di tampilkannya membuat jantungnya tiba-tiba berdetak cepat dengan perut yang terasa geli.

Apa yang kurasakan? tanyanya pada dirinya sendiri.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya wanita itu membuka suara.

Pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung apa yang harus dikatakannya kepada gadis di depannya.

Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, aku Max Hunter."

"Annabeth Sutherland. Apa ada hal yang penting, Sir?" tanya gadis itu sambil menjabat tangan Max yang bebas di udara.

Max tersenyum. "Sebelumnya aku minta maaf..."

Gadis itu mengernyitkan keningnya, menunggu apa yang akan dikatakan Max selanjutnya.

"Aku menabrak tanamanmu," aku Max dengan kepala tertunduk.

Gadis itu membelakan matanya. Ia menyingkirkan tubuh besar Max dengan kedua tangannya, berusaha melihat tanamannya yang sudah berantakan. Ingin rasanya ia menghardik pria dia depannya ini, tapi ia tahu pasti ada alasan di baliknya. Tidak mungkin pria ini sedang mabuk karna Max terlihat sangat-sangat sadar.

"Tunggu! Sunggu aku tak sengaja, nona. Rem mobilku tak berkerja secara tiba-tiba, ada pengendara lain di depanku jadi aku harus membanting setirku hingga merusak pekaranganmu."

"Maafkan aku, sungguh aku tak sengaja," sesalnya sambil menundukkan kepala. Tak berani melihat kemarahan dari wajah gadis cantik tersebut.

Tok

Tok

Tok

Ketukan pada pintu apartemennya membuyarkan semua kenangan masa lalunya bersama Annabeth. Pertemuan yang benar-benar unik di antara mereka berdua sampai kapan pun, Max tidak akan pernah bisa melupakan Annabeth.

Max melangkah menuju pintu apartemennya, membukakan pintu yang terus saja berbunyi sedari tadi.

Drew berdiri di hadapannya sambil membawa kantung plastik besar berwarna hitam. Rekannya itu tersenyum sambil memperlihatkan kantung plastik itu di depan wajah Max.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Makan bersama, ayolah aku sudah membawa banyak makanan. Akhir-akhir ini kau terlalu memikirkan masalahmu dengan pembunuh itu."

Max mengangguk. "Masuklah."

 A Lady of Killer (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now