Bagian 11

1K 85 0
                                    

California, Los Angeles
Senin, 22 Maret, 23.46 PM

Bau alkohol yang bercampur asap rokok serta dentuman musik keras menyambut Max ketika pria itu memasuki club yang sering dikunjunginya beberapa hari ini. Pria itu berjalan kearah meja bartender, memesan sebotol minuman yang membuatnya dapat melupakan sejenak seluruh pikiran yang membuat kepalanya hampir saja meledak.

"Sebotol bourbon, please!" bartender wanita itu hanya mengangguk lalu memberikan apa yang dipintanya beserta sloki kecil berbahan kristal.

"Silahkan, tuan."

Max mengangguk. "Terima kasih."

Max menuangkan segelas demi segelas bourbon nya kedalam sloki kecil dan meneguknya hingga tandas. Pandangan pria itu sudah kabur. Pikirannya kosong entah kemana. Max menenggelamkan kepalanya diantara lipatan kedua tangannya di atas meja bar.

"Sial! Mengapa kau menghantui pikiranku, An." racaunya tanpa sadar.

Max membenturkan kepalanya beberapa kali di atas meja. Membuat bartender wanita yang sedang meracik minuman menatap aneh kearah pria itu. Tanpa memperdulikan pandangan pengunjung yang menyangkanya tidak waras, Max bangkit dari duduknya. Tubuhnya sempoyongan, matanya kabur. Max tidak dapat melihat sekitarnya dengan jelas.

Dengan tenaga yang tersisa, Max berusaha keluar dari kerumunan orang-orang yang meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa. Beberapa tangan yang merayunya di biarkan begitu saja. Hidung yang tak dapat bernafas, kini kembali dapat bernafas lega saat Max berada di halaman club yang dikunjunginya.

Sialnya ia tak membawa mobil. Max memutuskan untuk berjalan walaupun kepalanya berdenyut nyeri. Langkahnya terasa berat. Max berjalan di trotoar yang hanya mendapat penerangan seadanya dari lambu-lambu dan bulan yang timbul dengan cahaya redup. Ketika Max ingin menyeberang, cahaya terang yang ditimbulkan oleh sebuah mobil mini van membuatnya berhenti di depan mobil tersebut.

Kaki Max sudah terasa jelly. Kedua kakinya sudah tak kuat menahan bobot tubuh Max dalam keadaan mabuk. Pria itu terjatuh di depan mobil dengan kepala yang  membentur aspal. Seseorang di dalam mobil kaget. Orang tersebut turun dari mobil dan menghampirinya yang masih dalam keadaan setengah sadar.

Wanita yang ternyata adalah Annabeth, tersentak kaget dengan apa yang dilihatnya. Max yang malang tergeletak setengah sadar di depan mobilnya. Annabeth berniat meninggalkan pria itu, namun suara parau Max yang memanggilnya membuat wanita itu berhenti

"Anna?" Annabeth bingung, bukankah pria itu tak sadar. Pikir Annabeth.

Annabeth mendekat, ia memperhatikan wajah Max yang memerah. Nafas pria itu berbau alkohol yang langsung menyeruak kedalam indra pernafasan Annabeth. Segera ia menutup mulutnya ketika Max kembali menghembuskan nafas.

"Max, apa yang kau lakukan disini?" Annabeth menyelipkan tangannya diantara bahu dan salah satu tangan pria itu. Wanita itu mencoba untuk memapah Max kedalam mobilnya. Dengan susah payah, Annabeth menyeret tubuh Max masuk kedalam mobilnya.

Jika aku meninggalkannya sendiri, entah apa yang akan terjadi pada pria pemabuk seperti dia. Batin Annabeth.

"Kenapa kau pergi An, kenapa kau meninggalkan ku." racauan tak jelas Max membuat Annabeth terkejut.

Annabeth membiarkan Max meracau sesukanya di dalam mobil wanita itu. Setelah memasukkan Max ke dalam mobilnya, Annabeth berjalan memutar menuju kursi kemudi. "Kau yang membuatku meninggalkanmu, Max." ujar Annabeth sebelum memasuki mobilnya.

Annabeth menyalakan mobilnya, menjalankan kendaraan beroda empat tersebut membelah jalanan yang gelap. Annabeth memutuskan membawa Max ke flat lamanya yang jarang ia tinggali. Di tempatnya, Max masih meracau-racau tidak jelas.

"Dasar pembunuh sialan! Bisa-bisanya dia membuatku hampir mati."

"Anna, Annabeth. Kenapa kau menjauhiku, apa salahku terhadapmu, sayang?"

Hati Annabeth terasa nyari ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Max. Jika saja pria itu sadar dengan kesalahannya, pasti semuanya tidak akan serumit ini. Hati Annabeth semakin sakit mengetahui alasan Max mabuk karena dirinya, pria itu menjadi maniak alkohol karena dirinya. Jika saja kejadian itu tidak pernah terjadi, Max tidak pernah melakukan itu. Ia yakin, hubungannya dan Max pasti akan baik-baik saja, sampai saat ini.

"Kau harus bertanggung jawab, An! Kau memenuhi pikiranku. Enyahlah, barang hanya satu menit." dari ekor matanya, Annabeth dapat melihat Max yang menelungkupkan wajahnya diantara lipatan tangan yang terletak pada dashboard.

"Seharusnya kita tidak pernah bertemu, Max." ujar Annabeth dengan suara pelan.

Mobil yang dikendarai Annabeth berhenti di depan sebuah flat lama yang terlihat usang. Cat di dindingnya terlihat terkelupas, beberapa tanaman yang merambat memenuhi bagian atap flat tersebut. Annabeth meringis sendiri melihat keadaan flatnya, rasanya flat miliknya sudah terlihat seperti rumah hantu, bukan hunian yang cocok untuk manusia.

Annabeth keluar dari mobilnya dan beralih ke kursi penumpang. Wanita itu berusaha kembali menahan tubuh besar Max menggunakan tubuh kecilnya yang terlihat tak seperti detektif wanita kebanyakan. Bahkan jika dilihat-lihat, Annabeth cocok untuk menjadi model.

Kepala Max yang berada di lehernya membuat tubuh Annabeth meremang ketika pria itu menghembuskan nafas. Tiba-tiba suatu rasa yang lama tak pernah ia rasakan kembali berkobar di dalam jiwanya. Sesuatu yang membuat Annabeth menjerit puas. Sesuatu yang membuat hati kosongnya terasa penuh hanya karna satu sentakan kuat. Ia menggigit bibir tipisnya ketika tanpa sengaja tangan Max yang bergelantung lemas mengenai pahanya yang tak tertutup kain karna ia mengenakan celana jins pendek di atas lutut.

Sialan kau, Max! seorang gadis berbaju putih di dalam hatinya menjerit-jerit tanpa jelas.

Annabeth membuka pintu kamar yang kosong. Di knop pintu terpenuhi debu serta sedikit sarang laba-laba. Ketika ia masuk kedalam kamar tersebut, hidungnya tiba-tiba bersin, Annabeth terbatuk. Sial! Seharusnya ia tidak datang ke flat kotor seperti ini. Annabeth merebahkan tubuh berat Max di atas tempat tidur yang berdebu serta selimut putih berbahan linen yang terlihat sangat kotor. Tidak ada pilihan lagi selain flat lamanya. Orang-orang akan berpikir yang tidak-tidak jika ia membawa Max ke kamar hotel. Walaupun sebagian orang Amerika pasti tidak peduli, tapi tetap saja beberapa orang pasti akan membicarakannya.

Ketika Annabeth ingin pergi meninggalkan Max dan kamar berdebunya, tiba-tiba saja sebuah tangan menghentikannya. Annabeth berbalik menghadap Max yang membuka matanya, menatap dirinya dengan pandangan menyakitkan. Hati Annabeth hampir saja tersentuh ketika melihat tatapan menyakitkan yang dipancarkan pria itu. Namun dengan cepat ia menepis perasaan itu, perasaan yang pastinya akan membuatnya kembali tersakiti.

"Jangan tinggalkan aku, kumohon." suara Max terdengar serak.

Annabeth tertegun ketika melihat air yang keluar dari sudut mata Max. Pria itu menangis, tapi mengapa?

"Lepaskan aku. Aku ingin meminum segelas coklat hangat." Annabeth melepaskan tangan Max yang mencengkeramnya dengan pelan.

Sebelum menutup pintu, Annabeth melirik Max sekilas lalu pergi dengan perasaan campur aduk yang membuat kepalanya semakin pusing. Wanita itu berjalan ke dapur, syukurlah karna dapurnya terawat dengan baik. Mungkin hanya dapur yang membuatnya sedikit nyaman. Wanita itu membuka kabinet di hadapannya, mengeluarkan cangkir kecil berwarna putih dengan goresan berwarna biru di sekitar bagian atas cangkir.

"Segelas cokelat hangat sepertinya akan membuat otakku sedikit beristirahat." guman Annabeth pelan sambil memasukan beberapa sendok bubuk cokelat kedalam cangkirnya.

Annabeth membawa cangkir cokelatnya ke meja bar mini di dapurnya. Sambil menyesap sedikit demi sedikit cokelat panasnya, mata Annabeth menerawang jauh kepada kenangan lama yang menyenangkan sekaligus menyakitkan dalam waktu bersamaan.

Seandainya Max tidak melakukan hal itu di saat hari jadi mereka yang ke dua tahun, pasti semuanya tidak akan berjalan seperti ini. Mungkin Annabeth dan Max sudah memiliki seorang makhluk kecil di hidup mereka. Tapi inilah kehidupan, tidak akan dapat ditebak barang hanya dalam semenit ke depan.

.
.
.
.
To Be Continued

Ps: Ditulis di sela-sela tugas fisika yang bikin kepala hampir meledak.


 A Lady of Killer (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now