Chapter 42

42K 3.8K 1.7K
                                    

P E M B U K A

Kasih emosi dulu dong sebelum baca \(_ _)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kasih emosi dulu dong sebelum baca
\(_ _)

***

Perihal Viola belum mau bertemu dengannya, Manggala sangat hargai keputusan itu. Ia tak memaksa, meski ada banyak sekali yang ingin dikatakan untuk meluruskan segala kesalahpaman, sehingga perang dingin ini segera berakhir. Ia masih bisa bersabar, menunggu sampai kekasihnya siap dan mau dengan sendirinya.

Akan tetapi, ini bukan hanya tentangnya dan Viola saja.
Ada Askara.

Yang mana, Manggala paling tidak bisa melihat anak-anaknya larut dalam kesedihan. Baginya, kesedihan anak-anak adalah mutlak kesedihannya. Manggala tidak mau menjadi gagal untuk mereka. Sesulit apapun akan ia upayakan agar semua keinginan mereka tercapai tanpa terkecuali. Karena itulah, ia berani mengambil sikap egois. Nekat menghubungi Viola walaupun tahu kalau itu adalah sebuah larangan. Pun saat panggilan-panggilan videonya terus ditolak, Manggala tidak menyerah begitu saja. Ia terus mencoba juga mengirim pesan beruntun. Tidak peduli lagi kalau itu bisa saja membuat Viola semakin muak padanya.

Usahanya membuahkan hasil.
Di percobaan ke—entahlah, Manggala tak sempat menghitung, wajah masam Viola dengan hiasan alis yang menukik tak bersahabat, memenuhi layar ponselnya. Disusul suara marah-marah yang mencuri perhatian bocah di belakangnya.

"Papi?" Askara memanggil dengan suara pelan. Telapak tangan kecilnya yang penuh oleh remahan wafer, diusapkan ke jas sang papi yang membungkus tubuh kecilnya, sebelum akhirnya dijulurkan ke depan. Hendak merampas ponsel Manggala demi melihat pemilik suara yang sangat ia kenali, namun tak sampai sebab tangannya terlalu pendek. Sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menendang kursi kemudi secara brutal, disertai suara rengekan tak sabaran.

"Askara tunggu sebentar, Papi pindah dulu," kata Manggala begitu menoleh ke belakang. Ia dengan tergesa melepas sabuk pengaman. Perhatiannya tetap tertuju pada satu titik—Viola yang terus saja buang muka. Meski seperti itu, Manggala tak merasa tersinggung.
"Tolong, jangan dimatiin. Askara pengin ngobrol sama kamu. Sebentar aja nggak papa. Cuma ngobrol sama Askara, saya nggak ikut-ikutan dan nggak gangguin juga."

Di seberang sana, Viola tak beri jawaban atas permohonan Manggala, namun membiarkan panggilan video tetap terhubung.

"Askara mau cerita-cerita seru sama Mami Pio?" tawar Manggala begitu pindah ke belakang dan mengisi kekosongan di sebelah anak bungsunya.

"Mau, Papi. Mauuu." 
Askara memberi jawaban ketika rambutnya mulai dirapikan oleh papi, kemudian area sekitar dagu disapu dengan telapak tangan. Bersihkan remah-remah wafer yang mengotori di sana.

"Ini, Papi pinjamkan HP ke Askara. Askara boleh cerita-cerita seru ke Mami Pio. Papi bantu pegangin HPnya ya, biar tangan Askara nggak pegel," katanya lantas mengatur posisi ponsel. Pastikan hanya Askara yang tersorot kamera demi kenyamanan Viola. Dan semoga saja sebagian bahu dan lengannya yang terlihat, tak membuat kekasihnya keberatan.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang