13 | Cara Berpikir Alwan

773 78 2
                                    

Mendengar saran yang Alwan cetuskan, membuat semua orang langsung menatap ke arah Ziva dan Raja.


"Ya, kamu benar. Sebaiknya kita segera saja pergi ke rumah sewaan yang lain agar cepat menemukan di mana tempat persembunyian laki-laki itu," Raja setuju.

"Hah? Yakin? Kita enggak perlu tanya-tanya dulu sama yang punya rumah sewaan ini?" tanya Mika.

"Enggak perlu, Mik. Laki-laki itu tidak pernah ada ataupun tinggal di sini. Sebaiknya kita cari ke rumah sewaan lain, agar tidak buang-buang waktu," jawab Raja.

"Kalau laki-laki itu pernah ada atau memang tinggal di sini, maka seharusnya aku dan Raja bisa melihat adanya tanda-tanda ritual teluh boneka yang dia lakukan. Tapi saat ini aku dan Raja sama sekali tidak menemukan tanda-tanda itu di tempat ini. Jadi sebaiknya kita pergi saja dan mencari di tempat lain," jelas Ziva, agar yang lainnya paham.

Setelah mendengar penjelasan itu, mereka semua pun segera kembali ke mobil masing-masing dan pergi dari rumah sewaan yang pertama. Mika kembali memimpin jalannya mobil-mobil itu menuju ke alamat rumah sewaan yang selanjutnya. Sesekali Mika menatap ke arah Alwan melalui pantulan kaca spion tengah. Alwan tampak begitu serius mengamati jalanan yang mereka lalui saat itu, sehingga membuatnya terus menatap ke arah luar jendela mobil.

"Kamu kok mendadak mencetuskan saran seperti tadi, Al?" tanya Mika.

"Instingku mengatakan bahwa tidak akan ada gunanya kita berlama-lama di tempat yang tidak akan menghasilkan sesuatu, Mik. Ziva dan Raja sama sekali tidak melihat apa pun di sana, bahkan Ziva sama sekali tidak merasakan adanya jejak-jejak pernah dilakukan teluh boneka pada tempat tadi. Jadi agar tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, aku langsung menyarankan agar kita segera beralih ke rumah sewaan yang lain. Lagi pula, aku akan sangat merasa tertarik untuk menggeledah suatu tempat, ketika Ziva dan Raja mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Seperti yang pernah terjadi di Desa Cikijing, maka seperti itu antusiasnya aku yang akan kamu lihat nanti," jawab Alwan, apa adanya.

Mika pun terlihat sedang mencerna baik-baik jawaban yang Alwan berikan padanya. Hani tahu kalau Mika mungkin merasa sedikit gusar karena mendadak Ziva dan Raja setuju dengan saran Alwan yang terkesan sangat sembrono. Padahal biasanya Ziva tidak pernah menyetujui dengan mudah sebuah saran, jika ada yang mendadak mencetuskannya. Ziva adalah orang yang paling penuh dengan pertimbangan dalam setiap langkahnya, dan kali ini Ziva tidak terlihat seperti sudah mempertimbangkan saran dari Alwan ketika memberi keputusan.

"Itu benar, Mik. Apa yang Al pikirkan jelas benar dan tidak bisa kita bantah. Kita hanya akan membuang-buang waktu jika harus menggeledah deretan rumah sewaan tadi, padahal Ziva dan Raja sudah jelas tidak melihat tanda apa pun di sana. Saat ini, kita sudah melakukan hal yang tepat. Jadi sebaiknya tidak perlu ditanyakan terlalu jauh. Oh ya, Al juga benar soal antusiasme ketika ada hal yang terlihat atau bisa dirasakan oleh Ziva. Kita juga selalu begitu selama ini, hanya saja kadang kita tidak menyadarinya seperti bagaimana Al menyadarinya. Dia jelas memiliki pandangan yang jauh lebih objektif daripada kita," ujar Hani, agar Mika bisa kembali tenang seperti biasanya.

"Aku juga selalu menilai jauh lebih objektif, kok. Buktinya ...."

"Enggak usah memancing mulutku untuk berceramah, Mik," potong Hani dengan cepat.

Mika pun langsung menutup mulutnya rapat-rapat, karena tidak ingin dicakar oleh Hani yang kini sedang melemaskan otot-otot pada jari-jarinya agar bisa mencabik-cabik bagian kulit Mika yang cukup terlihat jelas. Alwan pun terkekeh pelan saat melihat bagaimana Mika yang langsung tidak berkutik ketika Hani mengeluarkan kalimat ancaman. Mobil mereka berhenti pada bagian ujung rumah sewaan yang tampak berbaris rapi. Mobil-mobil lain yang mengikuti juga ikut berhenti, dan semua orang yang berada di dalamnya turun untuk berkumpul seperti tadi.

Raja dan Ziva langsung mengamati keadaan sekitar dari deretan rumah sewaan tersebut. Tidak ada yang berbicara sama sekali dengan mereka berdua, karena tidak ingin mengganggu konsentrasi keduanya. Alwan kini menatap ke arah Rasyid dan yang lainnya.

"Ini adalah rumah sewaan kedua yang kita datangi. Sejak tadi kita selalu mendatangi rumah sewaan yang berderet dan berdempetan dari rumah satu ke rumah lainnya. Kalau menurutku ... Faisal jelas tidak akan memilih menyewa rumah yang jenisnya seperti ini. Dia butuh ketenangan dan butuh untuk tidak ada satu manusia pun yang bisa menguping pembicaraan atau mengintip ke dalam rumahnya ketika sedang menjalani ritual teluh boneka. Bagaimana? Apakah yang aku pikirkan membuat kalian bisa ikut berpikir pada satu tujuan tertentu?" tanya Alwan, begitu perlahan.

Hani pun segera melihat ke arah brosur-brosur yang tadi Ziva temukan, bersama Tari. Tari juga ikut melihat satu persatu brosur-brosur itu, kemudian menunjuk pada satu brosur yang baru saja Hani keluarkan.

"Ini dia! Rumah sewaan tunggal. Dalam keterangannya, jarak antara satu rumah ke rumah lain sekitar lima meter. Hanya ada enam rumah di dalam satu kawasan," ujar Tari, membacakan keterangan di dalam brosur tersebut.

Rasyid dan Mika pun langsung menatap ke arah Alwan sambil mengerenyitkan kening masing-masing.

"Kamu kok bisa berpikiran begitu, Al?" tanya Rasyid.

"Uhm ... sebenarnya itu adalah pengalaman pribadiku, sih. Waktu masih kuliah, aku sempat beberapa kali pindah-pindah rumah sewaan karena selalu saja merasa terganggu dengan keadaan lingkungan yang terlalu ramai, dan juga terganggu dengan betapa tingginya rasa ingin tahu tetangga di rumah sewaan yang aku sewa. Jadi setelah beberapa kali memikirkan soal kenyamanan, yang mana aku harus berhasil mengerjakan tugas kuliah dan juga menghafal saat akan ujian, akhirnya aku memilih menyewa rumah tunggal yang jauh dari tetangga dan memiliki kondisi yang tentram, karena tidak terlalu banyak rumah di dalam satu kawasan. Jadi karena aku tadi berpikir untuk menempatkan diri di posisi Faisal saat ini, maka jelas aku berpikir bahwa aku tidak akan menyewa rumah yang berdempetan seperti dua lokasi rumah sewaan yang kita datangi malam ini," jelas Alwan.

Rusli pun langsung meremas bahu Rasyid dan Mika usai mendengar penjelasan dari Alwan. Rasyid dan Mika langsung meringis kesakitan akibat remasan pada bahu mereka.

"Kalau kalian memiliki anggota tim seperti dia, kenapa tidak sejak awal kalian meminta dia untuk melakukan observasi dengan cara menempatkan dirinya di posisi Faisal? Kenapa kita jadi benar-benar buang-buang waktu untuk ke sana-ke mari?" tanyanya, setengah gemas.

"Uhm ... anu, Pak Rusli, kami juga baru tahu kalau dia bisa berpikiran sejauh itu dan seobservatif itu," jelas Mika, demi bisa meloloskan bahunya dari remasan yang sangat kuat.

"I--iya, Pak Rusli. Ka--kami benar-benar tidak tahu kalau Al bisa berpikir secara abnormal seperti itu," tambah Rasyid.

Ziva dan Raja mendekat pada yang lainnya.

"Di sini tidak ada apa pun yang bisa kami lihat ataupun kami rasakan," ujar Ziva, melapor.

"Iya!!! Kami sudah tahu!!!" balas Rasyid dan Mika--yang masih terjebak remasan pada bahu dari tangan Rusli yang kekar--sangat kompak.

* * *

TELUH BONEKAWhere stories live. Discover now