PROLOG

1.7K 109 1
                                    

Mika terus mengerang kesakitan sambil memegangi dada kanannya, ketika akhirnya Raja berhasil meraih tubuh pria itu. Para orangtua yang tadi sedang berkumpul di teras rumah Keluarga Kanigara pun kini ikut mendekat untuk melihat keadaan Mika. Mereka semua merasa cemas, karena selama ini Mika belum pernah sama sekali terlihat kesakitan sangat parah seperti yang terjadi kali itu. Ziva segera memeriksa keadaan Mika yang kini tengah dipangku oleh Raja. Santi menangis di pelukan Tari karena merasa khawatir dan takut dengan kondisi Mika saat itu.


"Mik, bilang mana yang sakit Mik? Cepat bilang mana yang sakit?" pinta Ziva, sambil menahan airmatanya,

"Da--dadaku, Ziv. Da--dada ka--kananku," jawab Mika, terbata-bata.

Ziva pun segera menerima sebotol air dari Hani yang baru saja mengambil botol itu dari tasnya. Ziva segera mencoba yang biasa ia lakukan ketika akan meruqyah seseorang. Namun belum sempat hal itu terlaksana, Mika kembali mengerang hebat.

"Mik? Kenapa, Mik? Apakah ada tempat lain yang terasa sakit?" tanya Raja.

"Kepalaku sakit sekali, Ja!!! Sakit!!!"

"Istighfar, Mik. Istighfar," saran Rasyid, sambil ikut duduk di sisi Mika seperti yang Raja lakukan.

"Ayo Mik, istighfar. Astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim," tuntun Alwan, sambil memegangi kepala Mika.

Erangan Mika menjadi agak berkurang saat Alwan membantu memegangi kepala pria itu sambil beristighfar. Mika kembali mencoba bernafas dengan teratur ketika Alwan terus membimbingnya untuk beristighfar.

"A--astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim," lirih Mika.

"Iya, terus Mik. Astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim ... astaghfirullahal 'adzim," bimbing Alwan.

Ziva pun segera mendekat kembali setelah selesai mendoakan air pada botol yang dipegangnya.

"Terus pegang tubuh Mika, khususnya pada tempat yang menurut Mika terasa sakit, sambil beristighfar tanpa berhenti meski aku sedang membantunya minum," pinta Ziva.

Dekapan Tari pada tubuh Santi menjadi semakin erat. Hani juga berusaha menenangkan Santi agar tidak berhenti mendoakan Mika agar selalu baik-baik saja.

"Sabar ya, San. Kami akan berusaha untuk melepaskan Mika dari apa pun yang hendak mengincarnya," bujuk Tari.

"Aku takut terjadi apa-apa padanya, Mbak Tari. Aku takut," ungkap Santi, dengan jujur.

"Kami paham, San. Karena sejujurnya kami juga merasakan rasa takut yang sama seperti yang kamu rasakan. Mika adalah orang yang penting di dalam hidup kami, dan kami juga takut jika terjadi apa-apa padanya. Maka dari itu, kami akan berusaha untuk melepaskan Mika dari semua hal jahat yang berusaha menyakitnya," jelas Hani, agar Santi paham dengan upaya yang mereka lakukan.

Ziva mendekatkan botol ke mulut Mika untuk membantunya minum. Mika berhenti beristighfar sejenak, lalu membaca bismillah sebelum akhirnya meminum air yang Ziva sodorkan padanya. Beberapa saat kemudian, rasa sakit yang tadi dirasakan oleh Mika pada bagian dada kanan dan kepalanya seketika berhenti. Hal itu membuat Mika bisa kembali berpikir jernih seperti biasanya. Ia pun segera bangkit dari posisinya saat itu, lalu menatap ke arah Ziva yang kini benar-benar menangis. Santi segera mendekat dan memeluk Mika dengan erat. Mika membalas pelukan itu selama beberapa saat, lalu kemudian kembali mengarahkan tatapannya kepada Ziva ataupun Raja.

"Aku kenapa, Ziv? Apa yang terjadi padaku barusan? Tolong jelaskan," pinta Mika.

Ziva mencoba mengatur nafasnya sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Mika. Namun Raja paham bahwa saat itu Ziva jelas akan kesulitan jika harus menjawab pertanyaan yang Mika ajukan.

"Mik, apa yang terjadi padamu barusan adalah karena kesalahan kami berdua," jawab Raja, mewakili Ziva.

"Kesalahan kalian berdua? Maksudnya apa? Kalian berbuat salah apa sehingga aku merasakan sakit yang ...."

"Bukan salah Raja atau Ziva, Mik," potong Hani, dengan cepat. "Yang terjadi padamu adalah ulah dari si pengirim hadiah misterius itu. Dia mengancam Raja dan Ziva melalui kita, para sahabat mereka. Dia ingin membuat pernikahan Raja dan Ziva hancur, lalu berharap bahwa mereka akhirnya akan berpisah."

Hani menyodorkan kertas yang tadi dibaca oleh Raja. Mika menerimanya, lalu membaca isi kertas itu bersama dengan Federick dan Faris yang ikut merasa penasaran. Mereka membaca isi surat itu dan mendadak merasa geram. Mika adalah yang paling tidak bisa menahan diri untuk tidak bersikap sinis usai membaca surat tersebut.

"Enggak. Pokoknya kamu dan Ziva tidak boleh merasa terpengaruh dengan ancaman yang diberikan oleh orang itu. Kamu dan Ziva tidak boleh berpisah hanya karena diancam melalui kami," tegas Mika.

"Masalahnya ancaman orang itu baru saja terjadi padamu, Mik. Kamu benar-benar disakiti dari jauh oleh orang itu dan aku bahkan belum tahu dengan cara apa kamu sampai bisa disakiti olehnya. Bagaimana caranya kami tidak akan memikirkan atau menanggapi ancamannya, jika kami baru saja hampir kehilangan kamu?" tanya Ziva, yang sama sekali belum bisa berhenti menangis.

"Itu artinya kami harus membentengi diri agar tidak terkena serangan yang sama dari orang itu, Ziv. Bukan malah kamu dan Raja harus menuruti keinginannya yang memang berharap kalian berpisah. Itu jelas salah, Ziv. Salah besar jika sampai kalian turuti kemauannya," Rasyid ikut berkeras agar Ziva paham.

"Rasyid benar, Ziv. Kamu dan Raja menikah karena saling mencintai. Kalian rukun-rukun saja selama ini dan sama sekali tidak pernah ada pertengkaran di dalam rumah tangga kalian. Akan sangat tidak masuk akal jika akhirnya kalian memutuskan berpisah hanya karena diancam oleh satu orang kurang ajar yang tidak jelas asal-usulnya. Pokoknya aku tidak akan membiarkan kamu dan Raja sampai menyentuh yang namanya jalan perpisahan! Ingat itu baik-baik!" Mika tidak main-main dengan peringatan yang ia berikan.

"Oke ... cukup berdebatnya," lerai Alwan. "Aku adalah satu-satunya orang baru di dalam tim kita, jadi aku sama sekali tidak tahu ada sejarah apa di antara hubungan Raja dan Ziva. Tapi intinya saat ini yang sangat kita butuhkan adalah sebuah gambaran tentang siapa orang misterius itu. Apakah Raja punya saingan sebelum menikahi Ziva? Apakah Ziva pernah menolak seseorang sebelum menikahi Raja?"

Semua orang pun terdiam selama beberapa saat setelah Alwan melerai perdebatan dan mengajukan pertanyaan. Semua tatap mengarah pada Ziva, sehingga Retno dengan segera mendekat pada menantunya dan memeluknya dengan erat.

"Mungkin ini memang sudah saatnya bagi kita untuk bertindak, Sayang. Jadi sebaiknya kamu katakan saja jika memang ada seseorang yang kamu curigai. Kamu jelas tidak mau permasalahan ini menjadi berlarut-larut, bukan? Maka dari itu sebaiknya masalah ini diselesaikan secara terbuka, agar semua anggota timmu juga bisa membantu," bujuk Retno.

"Iya, Nak. Katakan saja. Biar kami semua tahu tentang prediksimu. Biar kami ikut mencari jalan keluar untuk menemukan orang itu," tambah Clarissa, ikut mendukung bujukan Retno.

Tatapan Ziva kini terarah kepada Raja yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Raja terlihat begitu lesu, namun pria itu jelas tidak pernah menginginkan perpisahan dari Ziva. Raja mencintai Ziva begitu dalam dan dia tidak pernah ingin melepaskan Ziva dari hidupnya.

"Satu-satunya yang bisa aku pikirkan saat ini hanya dia. Faisal," ujar Ziva, sambil menahan airmatanya agar tidak kembali luruh.

Ponsel yang tadi dikirim bersama dengan surat mendadak berdering. Alwan dengan cepat meraih ponsel itu dan memberikannya pada Ziva.

"Angkatlah. Tantang dia kalau perlu," saran Alwan, yang kemudian meminum sisa air yang tadi Mika minum.

* * *

TELUH BONEKAWhere stories live. Discover now