30

106 19 6
                                    

Kata orang, Jangan menunggu waktu karena waktu tidak akan menunggu kamu. Sama halnya dengan Kanaya, ia tidak menunggu waktu. Sebaliknya, ia ingin waktu diburu lantas membawanya ke masa depan. Masa yang ia harap, lebih baik dari sekarang.

Berbulan-bulan tinggal di kota Bandung, tidak sepenuhnya membuat Kanaya melupakan Jakarta dan segala kenangannya. Sangat-sangat tidak bisa. Buktinya, pagi-pagi sekali, Kanaya nekat memesan taksi agar ia bisa ke Jakarta, bertemu orang tuanya dan juga kakaknya, Laskar Bramasta.

"Kak, Kanaya dateng, nih. Kakak gimana di sana? Baik, kan?" Pada epitaf laki-laki itu, Kanaya berucap. Sesekali berharap bahwa kakaknya di dalam sana punya cara untuk menjawab pertanyaannya supaya ia tidak bicara sendiri lagi.

"Kak, udah lama tapi kok aku masih ngerasa ada yang belum selesai? Aku masih belum puas sama semua yang orang-orang jahat itu dapatkan, karena lebih dari hukuman, aku masih menunggu maaf mereka. Permintaan maaf yang tulus. Iya sih, dulu Arsa udah mewakilkan maaf itu tapi, aku tetep ngerasa belum puas. Masih ada maaf yang harus aku dengar sebelum aku benar-benar memaafkan diriku sendiri," kata Kanaya. Masih setia menatap pusara kakaknya.

Setelahnya, Kanaya mengadah lantas berdoa. Berharap, doa-doa itu segera dilangitkan agar dapat terdengar dan tersampaikan pada sang kakak.

"Naya pamit, ya kak. Mau jalan-jalan dulu, kapan-kapan Kanaya balik lagi."

•••


Takdir itu lucu, ketika Kanaya tidak ingin bertemu, dengan secara ajaib Chelsea muncul dari balik pohon besar di depan gerbang pemakaman umum tempat kakaknya beristirahat. Perempuan itu terlihat lebih lusuh dari biasanya. Rambutnya yang panjang ia pangkas sampai sebahu, Kanaya hampir tidak mengenali wanita itu, untungnya tatapan mata dingin Chelsea masih membekas diingatan, maka hanya dengan begitu, Kanaya bersedia diajak pergi untuk bicara, sebentar saja katanya.

Di salah satu kafe tidak jauh dari tempat awal pertemuan mereka, Kanaya dan Chelsea duduk saling berhadapan di sana. Saling menatap namun enggan berbicara. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan dan Kanaya terlalu malas menatap wajah perempuan itu lama-lama.

"Nay, lo masih inget gue?" Akhirnya setelah lama diam, Chelsea bersuara. Namun wanita itu masih enggan menatap mata Kanaya.

"Masih," kata Naya. Nada suaranya dingin, perempuan itu terang-terangan menunjukkan kekesalan pada Chelsea. "Kalau ada yang mau diobrolin, mending obrolin sekarang. Gue masih ada urusan," tambahnya.

"Maaf banget kalo gue buang0buang waktu lo. Tapi, Nay, gue cuman mau bilang maaf banget. Maaf. Iya, gue tahu kalo kata maaf gue nggak akan merubah apapun yang telah hilang dari lo. Tapi, gue kehilangan banyak hal, Nay. Gue kehilangan ayah, kakak, dan temen-temen gue pergi setelah mereka berdua dipenjara. Gue beneran sendiri sekarang. Dan semenjak gue tahu semua permasalahan yang ada, gue mau minta maaf," ucap Chelsea. Kalimat panjang itu ditolak mentah-mentah oleh Kanaya. Ia biarkan Chelsea terbawa emosi, bahkan ia tidak peduli jika wanita itu menangis di depannya saat itu juga.

"Lo merasa bersalah karena apa?" Tanya Kanaya.

"Gue merasa bersalah karena perbuatan bokap sama kakak gue. Mereka salah, gue akuin itu."

"Terus, perbuatan lo ke gue? lo nggak merasa bersalah gitu?"

Chelsea seolah baru saja dihantam batu besar. Kepalanya pening seketika saat Kanaya menatap tajam ke arahnya.

"Gue memaafkan kesalahan kakak dan bokap lo tapi, untuk semua yang lo lakuin sama gue. Semua luka dan sakit yang gue rasain karena lo. Itu nggak akan termaafkan dengan mudah. Gue bukan tuhan, Chelsea. Jadi kalo lo berpikir gue langsung kasihan dan memaafkan lo hari ini, maaf, gue nggak bisa." Kanaya kemudian berdiri, ia mendekat pada Chelsea sembari memegang dadanya. "Disini, rasanya masih sakit banget. Nggak tahu kapan sembuhnya." Hanya dengan begitu, Kanaya memilih meninggalkan perempuan itu. Ia biarkan Chelsea merenung disana sampai ia merasa lebih baik.

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now