23

59 16 0
                                    

Sepuluh menit sudah Maurel dan lainnya menunggu kedatangan polisi. Namun, tidak ada tanda-tanda sama sekali tentang mereka. Maurel merasa kesal sendiri. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Kanaya dan Arsa di dalam sana. Belum lagi Arumi ikut terlibat di sana.

"Rey, lo beneran udah nelpon polisi belum sih?"

"Udah, sabar, rel!"

"Sabar mulu! Adek gua noh di dalem!"

Reygan dan sisanya hanya bisa menghela nafas. Mereka semua tahu bagaimana khawatirnya Maurel dengan keadaan Kanaya di dalam sana. Tapi, mereka tidak mau ambil resiko maju tanpa orang dewasa. Karena jelas sekali, yang mereka lawan adalah orang dewasa. Bahkan salah satunya adalah guru mereka sendiri.

Tak selang semenit, sirine polisi terdengar menggelegar.

"Anjir polisi bego! Kenapa sirinenya di nyalain sih!?" Maurel sudah sangat kesal kali ini. Yerlebih ketika dua orang dewasa di depan sana buru-buru naik ke dalam mobil dan kabur dengan gerak cepat.

"WOY!!" Nasi sudah jadi bubur. Pelaku itu bebas begitu saja tanpa sempat mereka pukuli habis-habisan.

Dengan langkah cepat, Reygan dan Vansa berlari menuju bangunan tua itu. Mencari celah untuk membuka pintu. Disusul dengan yang lainnya bersamaan dengan datangnya polisi.

Di dalam gedung, Arsa masih dengan air matanya yang terjun bebas tak berhenti. Dalam pikirannya, Kanaya dan Arumi mungkin sudah mati karena terlalu lama tenggelam di sana.

"Nay..." suara lirih Arsa yang pupus harapan.
"Bahkan lo belum buka kotak itu, Nay. Lo belum tahu semuanya yang terjadi," pengakuan Arsa bertubi-tubi.

Setelah susah payah membuka pintu, dengan sluruh tenaga yang mereka kerahkan akhirnya pintu itu tumbang dan memperlihatkan Arsa yang terkulai lemas di lantai dengan kaki dan tangan yang di borgol.

"Arsa! Kanaya mana!?" Maurel masih dengan segala emosinya. Laki-laki itu memejamkan mata kala tatapan Arsa berpindah pada kolam yang tenang di depan mereka.

Dengan gerak pasti Maurel terjun ke dalamnya, di susul oleh Vansa dengan kecepatan yang sama. Sementara polisi menggeleda segala ruangan dan mencari bukti, Reygan, Leondi dan Ardi mencoba melepaskan borgol Arsa dengan segera karena tangan laki-laki itu terlihat memerah.

"Nay! Naya bangun, Naya!!" Panggilan itu diabaikan, Kanaya dengan wajahnya yang pucat tertidur sangat pulas. Maurel bahkan tidak berharap apapun tentang adik sepupunya itu.

Di saat semuanya bersedih melihat kondisi Kanaya dan Arumi. Arsa masih dengan sisa sisa tenaganya mencoba menyelamatkan keduanya. Arsa sebisa mungkin melakukan CPR. Ketika melihat Arsa yang tidak menyerah, Vansa melakukan hal yang sama pada arumi sehingga secara bersamaan keduanya mengeluarkan air dari hidung dan mulut mereka.

Kanaya dan Arumi kembali bernafas dengan detak jantung normal. Namun, hanya Arumi yang tersadar sementara Kanaya tetap pada posisinya yang belum sadarkan diri.

"Kak.." suara Arumi lemas sekali.
"Pelan-pelan, rum." Vansa mencoba menenangkan Arumi yang tiba-tiba menangis.

"Bawa dia segera ke rumah sakit. Untuk pelakunya, kami mendapatkan sidik jari di sini. Biar ini jadi urusan kami, ambulans sudah menunggu di depan," jelas salah seorang polisi yang di balas anggukan lemah dari semua anak-anak SMA itu.

•••

Sejak kematian Laskar, Maurel tidak pernah suka dengan atmosfer rumah sakit. Ia selalu merasa sesak kala mencium wewangian khas rumah sakit. Terlebih, rumah sakit ini adalah tempat yang sama dengan rumah sakit yang dulu di tempati Laskar di hari terakhirnya. Maurel merasa seperti kembali ke masa lalu.

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now