12

70 17 0
                                    

Dengan langkah gontai Kanaya berjalan menelusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Kakinya masih sakit, dua orang yang menginjaknya tadi sepertinya memakan batu dan kerikil sehingga seberat itu. Rasanya sebentar lagi kaki Kanaya lepas dengan sendirinya.

Dengan sisa-sisa tenaga bersama emosi yang masih meluap, Kanaya mencoba berlari kecil karena dari arahnya ia melihat pengawas ujian sudah masuk di kelasnya.

"Kanaya!" Kanaya berbalik ke belakang hanya untuk mendapatkan Reygan berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.

Setelah sampai di depannya, Reygan menarik napas panjang lalu tersenyum simpul. Laki-laki itu tiba-tiba berjongkok lalu menepuk pundaknya seolah berkata, "Naik, gue gendong sampe kelas!"

Kanaya menautkan alisnya heran. Lalu,  Reygan terkekeh dan betulan berucap, "Naik, Nay!" Lalu tanpa menimang lagi Kanaya naik ke punggung Reygan walau sempat menolak.

Reygan segera berlari bersama Kanaya di pundaknya. Ada sedikit rasa kecewa karena ia telat menolong anak itu. Sejujurnya, Reygan melihat Kanaya diseret oleh teman Chelsea, tapi Maurel sekonyong-konyong menariknya ke kelas tanpa sempat menjelaskan bahwa Naya dalam bahaya.

Di punggung Reygan, Kanaya merasakan kehangatan yang dulu ia rasakan saat bersama kakaknya. Hangat yang mampu menghadirkan rasa nyaman.

Sampai di depan kelas, Naya langsung turun  dan masuk setelah mengucapkan terimakasih pada Reygan. Setelah masuk, dari jendela Kanaya melihat Reygan berlari kembali ke kelasnya.

"Lo dari mana aja sih, Nay? Gue kira lo nggak masuk," tembak Leondi langsung saat Naya baru saja duduk.

"Nay, pipi lo kok kayak lebam gitu? Lo kenapa?" tanya Leondi lagi, Ardi yang dari tadi sibuk menyiapkan segala alat tulis di samping Naya langsung berbalik hanya untuk mendapati pipi wanita itu merah kebiruan. Ardi meringis. Ia menebak, bahwa Kanaya baru saja di tampar oleh seseorang.

"Baik anak-anak, handphone dan tasnya kumpulkan ke depan, di atas meja hanya ada pensil dan pengalas."

Ujian dimulai.

•••

Ujian pertama selesai dengan baik dan tenang. Arsa jadi siswa pertama yang keluar dari kelas. Diikuti oleh Chelsea setelahnya.

"Sa! Arsa tunggu!" Chelsea berteriak berharap Arsa bersedia berbalik dan menunggunya. Tapi, apa yang diharapkan dari laki-laki Itu? Dia hanya berjalan lurus tanpa berbalik sedikitpun, membuat Chelsea merasa sangat kesal.

"Apa yang lo harapkan sih dari Arsa yang jelas-jelas membuat jarak yang luas diantara kalian?" Ini suara Vansa. Laki-laki itu keluar bersama siswa lainnya.

Chelsea berbalik dengan ekspresi cengoh. Ia memutar matanya malas lalu berucap, "Bukan urusan lo!" Dan pergi meninggalkan Vansa yang terkekeh disana.

Di sisi lain SMA Dwirama, Arsa berhenti mendadak saat netranya menemukan Ayah berbincang sangat serius dengan kepala sekolah. Dari jarak yang cukup dekat, Arsa bisa mendengar percakapan antara keduanya. Arsa tidak tahu apa hubungan mereka. Yang jelas, dari cara keduanya berbicara. Hubungan mereka bisa dikatakan cukup dekat. Harusnya Arsa tidak kaget lagi dengan circle pertemanan Ayah yang notabenenya adalah seorang Jaksa senior yang disegani banyak orang. Tapi, tidak pernah terpikir sekalipun bahwa kepala sekolah akan jadi salah satu dari sekian teman Ayah.

"Sekolah ini kembali mendapat predikat sekolah terbaik. Berkat kamu yang selalu membantu saya menyelesaikan segala perkara dan juga telah menyelamatkan anak saya," ucap kepala sekolah pada Raza, ayah Arsa. Dari tempat Arsa berdiri ia bertanya, apa yang telah dilakukan ayah untuk kepsek?

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now