29

67 16 0
                                    

Seminggu di Bandung tidak menghasilkan banyak perubahan, Kanaya masih sering merasa sepi dan sedih. Ia selalu merasa bahwa hidupnya benar-benar sudah tidak berarti.

Untuk sementara, Kanaya memutuskan istirahat dari berbagai kegiatan, termasuk sekolah. Ia butuh melepaskan segala beban dipikirannya. Maka, dengan begitu, tiga hari terakhir dihabiskan Kanaya dengan pergi ke segala tempat yang ia mau, memotret segalanya dengan kamera telepon lalu mengunggahnya di media sosial. Seolah, secara tidak langsung, ia ingin mengabarkan orang-orang terdekatnya bahwa ia baik-baik saja.

"Kak, Kanaya kangen deh sama kakak. Tapi, Kanaya belum bisa ke Jakarta sekarang. Kanaya masih takut, takut kalo nanti Kanaya ketemu dia di sana." Gadis itu memandang langit sore itu, ia memandang indahnya warna biru langit seolah ia sedang menatap wajah kakaknya yang telah lama mati.

Kanaya melanjutkan jalannya, sesekali ia berhenti ketika melihat hal menarik dimatanya. Saking seriusnya ia pada apa yang ingin dipotret, Kanaya sampai tidak melihat motor yang melihat. Membuatnya hampir diserempet kalau-kalau seorang laki-laki tidak menariknya dengan cepat.

"Lo ngak papa, Nay?" Tanya si laki-laki yang rupanya adalah Reygan.

"Rey?" Kanaya spontan mundur karena keterkejutannya.

"Hai, Nay. Long time no see," Kata Reygan. Laki-laki itu tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak dilihat oleh Kanaya.

"Hai, Rey."

•••

Di salah satu kafe, keduanya duduk saling berhadap-hadapan. Tidak ada yang memulai percakapan, mereka membisu. Menikmati hujan yang baru saja menyapa bumi.

"Apa kabar, Nay?" Setelah sekian lama berdiam diri, Reygan memulai pembicaraan.

"Baik, kak. Lo gimana?"

"Gue baik juga, Nay. Oh ya, Maurel sering banget tahu kangen sama lo. Kadang disekolah dia lupa kalo lo udah pindah ke Bandung," ucap Reygan mencoba mencari pembicaraan yang lebih baik.

"Hm, dia kemaren juga nelepon gue, kak. Katanya mau kesini, tapi gue larang."

"Eh, iya. Dia tadinya mau ikut sama gue. Tapi mobilnya nggak muat." Keduanya tertawa, tapi tawa yang hanya sebentar.

Karena suasana yang semakin canggung, Reygan  memanggil pelayan, memesan makanan apa saja yang bisa mereka makan.
"Lo pesen apa, Nay? Gue traktir." Kanaya semoat ragu, namun pada akhirnya dia tersenyum simpul.

"Frappucino, mbak," ucapnya. Setelah keduanya selesai memesan, mereka kembali lagi dalam kebisuan. Keduanya sama-sama bersiteruh dengan suara-suara bisung dikepala. Kanaya yang kebingungan dan Reygan yang lebih bingung lagi.

"Nay, lo tahu nggak, Arsa kemana?" Mendengar nama Arsa disebut, Kanaya sedikit kaget. Tapi, ia mencoba menormalkan ekspresinya agar terlihat baik-baik saja.

"Nggak kak, gue nggak tahu."

"Hmm, gue pikir lo tahu dia dimana," ucap Reygan. Ekspresi wajahnya berubah sendu. "oh, ya, Nay. Habis ini lo kemana?" tanyanya kemudian.

"Nggak kemana-mana sih, kak. Kenapa?" tanya Kanaya, bersamaan dengan pesanan mereka yang baru saja datang.

Sebelum menjawab, Reygan sempat meminum minumannya, lalu, laki-laki itu menghembuskan napasnya. "Ke ranca upas mau nggak? Nggak jauh lo dari sini," katanya.

Kanaya mengernyit keheranan pasalnya, walaupun ia tinggal di Bandung sudah cukup lama, tapi ia sama sekali tidak tahu ranca upas itu di mana. Jadi, Kanaya hanya mengangguk. Toh tidak ada ruginya ke ranca upas bersama Reygan.

•••

Hal yang pertama kali Kanaya dengar ketika tiba di ranca upas setelah perjalanan yang cukup panjang adalah gemuruh ombak. Perempuan itu sempat terpukau melihat bagaimana indahnya matahari di ujung lautan sana yang sudah berubah warna menjadi jingga.

"Bagus, nggak, Nay?" Gadis itu mengangguk.

"Gue nggak tahu ada tempat sebagus ini di Bandung. Wow!" Kanaya benar-benar terpukau. Ia merasa senang, setelah lama di Bandung sendirian, akhirnya ada yang mengajaknya pergi ke tempat se-indah ini. "Makasih ya, kak udah ngajakin gue ke sini," ucap Kanaya.

Sembari menikmati hembusan angin di pinggir pantai, keduanya membicarakam tentang banyak hal random. Apapun itu, tentang SMA DWIRAMA yang sudah lebih baik dengan kepala sekolah yang baru, bicara tentang Arumi yang sudah punya teman baru, Theana dan Arbani yang akhirnya bersama sebab Theana sudah lelah mengejar Vansa, Maurel yang tidak berubah atau Vansa yang mendapatkan beasiswa ke Melbourn.

"Seiring berjalannya waktu, perubahan demi perubahan juga datang ya, kak." Kata Naya masih menikmati hembusan angin.

Sore sudah berubah jadi malam, namun, mereka enggan beranjak. Mereka masih betah, menikmati suara-suara ombak dan angin yang saling menyapa.

"Kapan-kapan kalau lo ke Jakarta jangan lupa kabarin gue ya, Nay. Biar kita ketemu sama yang lain juga. Lo nggak kangen apa sama Leondi? Ardi?"

Kanaya sempat terkekeh, "Gue kangen banget sama mereka berdu kak. Tapi, waktu yang membawa gue ke Bandung. Jadi, kalau ada waktu, gue bakalan main sama mereka kok. Sama Arumi juga kalau bisa."

"Jangan berubah ya, Nay. Lo harus jadi Kanaya yang bisa bahagia seperti dulu, seperti sebelum semua hal buruk terjadi sama lo dan keluarga lo. Bisa kan, Nay?"

"Nggak tahu, kak. Semoga aja bisa."

Malam itu, keduanya larut dalam keheningan. Hening yang membuat mereka nyaman. Nyaman dengan definisi mereka masing-masing.

•••

Sesi curhat author;

Finally! Setelah sekian lama menggalau karena lupa password akun ini, akhirnya aku bisa kembali sama akun ini😭😭 aneh banget nggak nulis. Sampe sempet nulis au karena ngerasa kosong banget. Galau berhari-hari karena mikirin password😭

Tapi, gapapa. Akhirnya aku bisa kembali update setelah cerita ini karatan. Padahal udah banyak yang selesai di draft, cuman emang perlu revisi dan emang dasarnya aku pikun. Jadi, aku sangat-sangat minta maaf🙏🙏 semoga kamu yang baca gak lupa sama alurnya huhu🙂

Anyways, part ini segitu dulu, aku bakalan lanjut besok lagi. See u in the next part bestieee💗💗

Sorry about typo☺️

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now